fuad bawazir / rmnews.com
KONTROVERSI angka statistik kemiskinan kembali mencuat setelah BPS mengumumkan penurunan angka penduduk miskin dari Maret 2006 ke Maret 2007, dari 39,30 juta (17,75%) menjadi 37,17 juta (16,58%) atau turun 2.130.000 orang. Angka ini diperoleh setelah BPS menaikkan garis kemiskinan 9,67% dari Rp 151.997/kapita/bulan ke Rp166.697 atau dari Rp 5.066/hari menjadi Rp 5.556/hari.
Angka rupiah diatas adalah angka pengeluaran/belanja, yang belum tentu ditopang pendapatannya sendiri. Artinya, bisa saja untuk membiayai pengeluarannya yang hanya Rp5.556 itu, si miskin mendapatkannya dari sedekah, zakat, infaq, mengemis, utang, bantuan kerabat, dan atau bantuan pemerintah.
Para ekonom yang meragukan akurasi data BPS mengemukakan segudang argumentasi baik kualitatif maupun kuantitatif. Mereka mempersoalkan parameter BPS, pertumbuhan ekonomi 2006 yang hanya 5,5%, kegagalan program Raskin dari yang seharusnya 20 kg/bulan/keluarga tetapi ternyata hanya 5,8 kg dan dari harga Rp 1.000/kg tetapi yang dibayar Rp 1.650/kg.
Inflasi harga sembako yang berarti menekan pendapatan riil orang miskin lebih besar dari pendapatan penduduk lainnya. Upah riil kelompok miskin seperti buruh bangunan, pembantu rumah tangga dan buruh industri yang rata-rata turun lebih dari 1%. Nilai tukar petani yang merupakan kelompok terbesar penduduk juga menurun. Bantuan Langsung Tunai yang dihapuskan juga dipercayai telah menambah jumlah orang miskin. Pendek kata, mereka sampai pada kesimpulan bahwa daya beli rakyat menurun dan karena itu tidak logis bila jumlah penduduk miskin berkurang. Apalagi batas angka kemiskinan itu rentan sekali, yaitu sedikit saja angkanya dinaikkan, jumlah penduduk miskin secara statistik akan meningkat tajam. Hal ini bisa dipahami mengingat betapa sulitnya hidup dengan Rp 166.697 per bulan. Angka ini lebih tepat disebut super miskin, karena mereka yang hidup dengan Rp 166.697 dekat dengan kematian. Demikianlah perdebatan terus berlangsung, BPS tersinggung, ekonom merasa dibohongi.
Tingkat pemerataan pendapatan (apalagi kekayaan) antara si kaya dan si miskin juga memburuk. Konon meski miskin pendapatan, kita berhasil memperkaya dan meratakan kebohongan. Rakyat sudah rutin dibohongi. Presiden pun dibohongi dengan karcis kereta api yang katanya sudah elektronik padahal belum, atau ganti rugi korban lumpur Lapindo yang ternyata seret, atau kebohongan di Istana tentang jumlah wajib pajak (WP) 10 juta padahal baru 3 jutaan, atau yang terima dana DKP tapi menyangkal, dan seterusnya. Kalau benar kebohongan memang sudah membudaya dari atas ke bawah vice versa dan dari kanan ke kiri vice versa, maka para ekonom tidak perlu gusar pada angka statistik BPS.
Perdebatan di atas sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja kehidupan rakyat sehari-hari terlihat membaik dan kinerja pemerintah bagus sehingga kredibilitasnya terjaga. Memang sulit mempercayai angka BPS karena kita semakin sering melihat rakyat miskin antri minyak tanah.
Dari pada main sabun, pemerintah sebaiknya menggunakan saja angka pengeluaran hidup $2/hari karena selain lebih realistis, juga mengikuti standar kemiskinan dunia. Pengeluaran $2/hari atau Rp 18.000 juga masih di bawah upah minimum yang memilukan. Dengan angka $2 ini jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 110 juta orang (50%) dan pemerintah akan lebih layak dan berani bernegoisasi dengan para kreditor untuk meminta keringanan utang.
Pemerintah SBY sebenarnya menerima warisan orang miskin versi BPS dari pemerintah Megawati (2004) sebesar 36,10 juta dan kini 2007 menjadi 37,17 juta orang atau “berhasil” menambah 1 juta orang miskin. Artinya, setelah memerintah 2,5 tahun, Pemerintah SBY-JK belum berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin.***
KONTROVERSI angka statistik kemiskinan kembali mencuat setelah BPS mengumumkan penurunan angka penduduk miskin dari Maret 2006 ke Maret 2007, dari 39,30 juta (17,75%) menjadi 37,17 juta (16,58%) atau turun 2.130.000 orang. Angka ini diperoleh setelah BPS menaikkan garis kemiskinan 9,67% dari Rp 151.997/kapita/bulan ke Rp166.697 atau dari Rp 5.066/hari menjadi Rp 5.556/hari.
Angka rupiah diatas adalah angka pengeluaran/belanja, yang belum tentu ditopang pendapatannya sendiri. Artinya, bisa saja untuk membiayai pengeluarannya yang hanya Rp5.556 itu, si miskin mendapatkannya dari sedekah, zakat, infaq, mengemis, utang, bantuan kerabat, dan atau bantuan pemerintah.
Para ekonom yang meragukan akurasi data BPS mengemukakan segudang argumentasi baik kualitatif maupun kuantitatif. Mereka mempersoalkan parameter BPS, pertumbuhan ekonomi 2006 yang hanya 5,5%, kegagalan program Raskin dari yang seharusnya 20 kg/bulan/keluarga tetapi ternyata hanya 5,8 kg dan dari harga Rp 1.000/kg tetapi yang dibayar Rp 1.650/kg.
Inflasi harga sembako yang berarti menekan pendapatan riil orang miskin lebih besar dari pendapatan penduduk lainnya. Upah riil kelompok miskin seperti buruh bangunan, pembantu rumah tangga dan buruh industri yang rata-rata turun lebih dari 1%. Nilai tukar petani yang merupakan kelompok terbesar penduduk juga menurun. Bantuan Langsung Tunai yang dihapuskan juga dipercayai telah menambah jumlah orang miskin. Pendek kata, mereka sampai pada kesimpulan bahwa daya beli rakyat menurun dan karena itu tidak logis bila jumlah penduduk miskin berkurang. Apalagi batas angka kemiskinan itu rentan sekali, yaitu sedikit saja angkanya dinaikkan, jumlah penduduk miskin secara statistik akan meningkat tajam. Hal ini bisa dipahami mengingat betapa sulitnya hidup dengan Rp 166.697 per bulan. Angka ini lebih tepat disebut super miskin, karena mereka yang hidup dengan Rp 166.697 dekat dengan kematian. Demikianlah perdebatan terus berlangsung, BPS tersinggung, ekonom merasa dibohongi.
Tingkat pemerataan pendapatan (apalagi kekayaan) antara si kaya dan si miskin juga memburuk. Konon meski miskin pendapatan, kita berhasil memperkaya dan meratakan kebohongan. Rakyat sudah rutin dibohongi. Presiden pun dibohongi dengan karcis kereta api yang katanya sudah elektronik padahal belum, atau ganti rugi korban lumpur Lapindo yang ternyata seret, atau kebohongan di Istana tentang jumlah wajib pajak (WP) 10 juta padahal baru 3 jutaan, atau yang terima dana DKP tapi menyangkal, dan seterusnya. Kalau benar kebohongan memang sudah membudaya dari atas ke bawah vice versa dan dari kanan ke kiri vice versa, maka para ekonom tidak perlu gusar pada angka statistik BPS.
Perdebatan di atas sebenarnya tidak perlu terjadi kalau saja kehidupan rakyat sehari-hari terlihat membaik dan kinerja pemerintah bagus sehingga kredibilitasnya terjaga. Memang sulit mempercayai angka BPS karena kita semakin sering melihat rakyat miskin antri minyak tanah.
Dari pada main sabun, pemerintah sebaiknya menggunakan saja angka pengeluaran hidup $2/hari karena selain lebih realistis, juga mengikuti standar kemiskinan dunia. Pengeluaran $2/hari atau Rp 18.000 juga masih di bawah upah minimum yang memilukan. Dengan angka $2 ini jumlah penduduk miskin Indonesia sekitar 110 juta orang (50%) dan pemerintah akan lebih layak dan berani bernegoisasi dengan para kreditor untuk meminta keringanan utang.
Pemerintah SBY sebenarnya menerima warisan orang miskin versi BPS dari pemerintah Megawati (2004) sebesar 36,10 juta dan kini 2007 menjadi 37,17 juta orang atau “berhasil” menambah 1 juta orang miskin. Artinya, setelah memerintah 2,5 tahun, Pemerintah SBY-JK belum berhasil mengurangi jumlah penduduk miskin.***
No comments:
Post a Comment