Friday, August 24, 2007

Paculah Ekonomi Daerah


Tak Bisa Dipahami Tingkat Kemiskinan Tinggi, tetapi Dana Ditaruh di Bank

Jakarta, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai simpanan pemerintah daerah di perbankan yang mencapai Rp 96 triliun sebagai ironi di tengah keperluan dana yang besar untuk pembangunan. Pemerintah daerah diharuskan memanfaatkan dana itu untuk mendorong lebih cepat perekonomian di daerah.

"Di tengah-tengah keperluan modal finansial yang besar untuk kepentingan pembangunan infrastruktur, serta untuk kepentingan berbagai usaha sektor riil, terdapat dana yang parkir atau menganggur dalam jumlah yang besar," ujar Presiden Yudhoyono saat memberikan keterangan di hadapan Sidang Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kamis (23/8).

Menurut Presiden, pada awal triwulan II tahun ini, posisi total simpanan seluruh pemerintah daerah (pemda) di Indonesia yang ditempatkan di perbankan sekitar Rp 96 triliun.

Sebagian besar simpanan pemda biasanya ditempatkan di bank pembangunan daerah (BPD) masing-masing.

Sebagai bagian dari manajemen portofolionya, dana pihak ketiga yang belum terpakai, termasuk dana pemda, disimpan dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang bunganya dibayar Bank Indonesia. Hingga pertengahan Agustus 2007, simpanan semua BPD dalam bentuk SBI sekitar Rp 50 triliun.

Presiden menginstruksikan agar pemda memanfaatkan dana tersebut untuk pembangunan di daerah. "Kalau tidak, kita berada dalam posisi yang merugi. Rakyat juga akan kecewa karena mereka tahu bahwa pemdanya bisa berbuat lebih banyak lagi untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan mereka," papar Presiden.

Presiden menilai rendahnya pemanfaatan dana oleh pemda terkait adanya hambatan dalam penyusunan dan pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hambatan tersebut menyebabkan terlambatnya pengesahan APBD di beberapa daerah sehingga akhirnya pelaksanaan program peningkatan kesejahteraan rakyat di setiap daerah juga terlambat.

Untuk itu, Presiden meminta dilakukan konsultasi dan koordinasi antara gubernur, bupati, wali kota dengan menteri dan para pejabat pemerintah pusat agar tidak ada keraguan dan ketakutan pejabat di daerah menggunakan dana APBD-nya.

"Lembaga BPKP juga dapat memberikan asistensi dan konsultasi agar tidak ada kekeliruan dalam pengelolaan dana," kata Presiden.

Terkait rendahnya penyerapan anggaran, Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita meminta pemerintah pusat dan pemda memperbaiki pengelolaan keuangan negara dan sistem penganggarannya agar lebih efektif dan efisien lagi.

Langkah tersebut untuk menghindari penyerapan anggaran yang sangat rendah pada semester I-2007, dan penggunaan anggaran yang besar dalam waktu sangat singkat pada semester II.

"Ini bisa menghasilkan kualitas pekerjaan yang rendah dan merangsang penyalahgunaan anggaran karena ingin cepat dihabiskan," kata Ginandjar.

Pakar ekonomi daerah yang juga Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pemerintah pusat dan pemda sama-sama berkontribusi atas rendahnya penyerapan dana oleh pemda.

Menurut Bambang, sejumlah pemda selalu terlambat dalam mengesahkan APBD-nya, rata-rata enam bulan. "Bahkan ada daerah yang APBD-nya baru disahkan setelah tahun fiskal APBD tersebut berjalan sembilan bulan," katanya.

Di sisi lain, dana perimbangan, terutama dana bagi hasil, telah dikirim pemerintah pusat tepat waktu. Terkait pemerintah pusat, Bambang menilai aturan pencairan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran terlalu rumit.

Ketua Asosiasi Bank Pembangunan Daerah Winny E Hasan menjelaskan, besarnya dana pemda di bank terjadi karena proses persetujuan APBD cukup panjang.

Setelah APBD disetujui, proyek pun harus ditenderkan terlebih dahulu sehingga juga butuh waktu. Setelah ditentukan pemenangnya, pemenang tender harus mengurus bank garansi atau modal kerja ke bank yang biasanya memerlukan waktu beberapa minggu.

Dikritik Menkeu

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengkritik sikap sejumlah pejabat pemda dalam urusan anggaran. Menurut dia, ada pemerintah daerah yang anggarannya surplus, tetapi pejabatnya masih minta uang. Sebaliknya, ada yang mengaku defisit, tetapi simpanannya di bank ternyata besar.

Menurut Menkeu, jika suatu daerah yang memiliki kebutuhan pembangunan sangat besar tetapi anggarannya tetap ditanamkan di perbankan, itu berarti ada persoalan dalam perencanaan anggaran.

"Sungguh tidak bisa dipahami kalau daerah tersebut tingkat kemiskinannya tinggi, infrastrukturnya jelek, tapi dananya ditaruh di bank," ujarnya.

Menkeu juga mengatakan, untuk daerah yang memang sarana infrastruktur, pendidikan, dan kesehatannya bagus, penggunaan anggaran biasanya akan lebih hemat sehingga surplus anggaran harus dijaga dengan baik. "Mungkin daerah yang surplus anggarannya perlu fund manager (pengelola dana)," katanya.

Daerah yang mencatat surplus antara lain Kalimantan Timur sebesar Rp 2,5 triliun, sedangkan daerah yang defisit antara lain DKI Jakarta sebesar Rp 2,7 triliun, Jawa Tengah Rp 23,9 miliar, dan Irjabar Rp 150 miliar.

"Uang itu kan dikumpulkan dari masyarakat dalam bentuk pajak, seharusnya dikembalikan lagi ke masyarakat," ujarnya. (FAJ/HAR/JOE)

No comments: