Tuesday, August 14, 2007

Presiden dan Politik Anggaran

Didik Rachbini / Kompas

Seperti biasa, pada 16 Agustus 2007 Presiden akan menyampaikan nota keuangan, mengantar RAPBN 2008.

Pidato rutin ini tidak hanya berarti seremonial untuk mengingatkan masalah penting, kebangsaan kita, tetapi juga perlu disimak makna substansial politik anggaran yang disampaikan Presiden.

Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, adakah perubahan struktur politik anggaran? Apakah kebijakan anggaran bisa dirancang untuk menjadi lokomotif perekonomian, mengingat penerimaan pajak dan nonpajak masih bisa ditingkatkan?

Politik alokasi anggaran

Jawaban atas berbagai pertanyaan itu ada pada politik alokasi anggaran. Bagaimana sisi belanja atau pengeluaran harus ditetapkan lebih produktif untuk perekonomian, terutama untuk belanja modal, dan infrastruktur publik, yang lebih besar dan meluas. Jadi, tidak ada pilihan dan hanya membiarkan anggaran belanja habis untuk pengeluaran dan belanja rutin, habis tanpa bekas kegiatan produktifnya.

Rencana anggaran itu akan diajukan pemerintah kepada DPR dengan pagu yang sudah jelas untuk tiap departemen dan lembaga, termasuk jenis-jenis belanja barang atau modal. Jika politik dan kebijakan anggaran itu dipandang sebagai rutinitas, tidak ada perubahan berarti atas alokasi anggaran itu. Aspek belanja APBN akan tetap berat pada pengeluaran rutin, yang tidak masuk sektor produktif.

Artinya, politik anggaran tetap menempatkan pengeluaran besar yang rutin, sebagai jebakan laten seperti biasanya. Kondisi ini merupakan turunan kebijakan sebelumnya dan belum diubah secara substansial. Jika politik anggaran hendak menempatkan APBN sebagai lokomotif, perubahan substansial amat mendesak dilakukan, terutama pada pengeluaran rutin yang bermakna hampir setengah sia-sia.

Anggaran bisa bermakna sebagai lokomotif ekonomi atau setidaknya salah satu lokomotif ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tidak maksimal, tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi tidak bisa dilepaskan dari beban anggaran. Kini ekonomi baru beranjak dari pertumbuhan rendah ke moderat dan sulit naik lebih tinggi lagi jika beban APBN tetap berat.

Politik anggaran sebenarnya terletak pada alokasi anggaran itu. Kini kesadaran kolektif politik anggaran masih pragmatis dan mengikuti irama kepentingan jangka pendek, minus strategi besar dan lebih berjangka panjang. Anggaran mengidap penyakit kritis yang laten dan perlu dipecahkan hanya dengan cara kolektif.

Pembangunan infrastruktur

Selama lebih dari dua tahun, pemerintah mengalami hambatan untuk melakukan investasi publik, terutama dalam pembangunan infrastruktur. Kinerja pembangunan infrastruktur—jalan, jalan tol, listrik, dan lainnya—jauh dari memadai. Pemerintah baru akan mengatasinya dengan mengurangi belanja barang dan mengalihkan ke belanja modal. Namun, pertambahan belanja modal masih maksimal daripada potensi anggaran itu sendiri.

Atas kendala itu, banyak peluang investasi tidak bisa optimal dimanfaatkan, bahkan sering menemukan kendala karena masalah infrastruktur. Dalam usaha menumbuhkan ekonomi, pembangunan infrastruktur perlu dilakukan, terutama untuk jalan, pasar, listrik, telekomunikasi, pelabuhan, bandara, dan sebagainya.

Masalah utama persoalan itu ialah kendala di APBN karena beban pengeluaran rutin yang amat besar. Pembangunan dan investasi infrastruktur publik dari sektor pemerintah lemah dan jauh dari memadai jika dibandingkan dengan kebutuhan, yang besar di seluruh Indonesia.

Investasi infrastruktur sebenarnya dilakukan dua pihak, yaitu pemerintah dan swasta, agar kebutuhan untuk menopang pembangunan ekonomi tercukupi. Namun, peran pemerintah, dalam hal ini APBN, masih dipandang sebelah mata sehingga tidak mungkin swasta akan masuk jika investasi publik tidak memeloporinya. Karena kebijakan pemerintah lamban, swasta, selain tidak mendapat sinyal positif, juga tidak mempunyai keyakinan bahwa pemerintah serius dalam mengelola pembangunan infrastruktur ini.

Beberapa strategi

Ada beberapa strategi yang harus dilakukan untuk memecahkan kendala krusial pada APBN. Strategi itu bersifat kolektif, melibatkan pemerintah, DPR, dan masyarakat.

Pertama, pemerintah pusat dan daerah yang kurang jeli atau tidak proporsional dalam mengatur belanja atau pengeluaran pemerintah. Belanja daerah dan belanja pusat terjebak dalam pragmatisme sehingga kurang berhasil membangun pengeluaran, yang memiliki dampak besar terhadap ekonomi produktif.

Daerah masih sulit dikoordinasikan karena 400 daerah tingkat II dan 33 daerah tingkat I melakukan belanja "seenaknya" tanpa pertimbangan matang. Dua pertiga belanja daerah habis untuk belanja rutin barang dan pegawai. Pengeluaran ini cermin inefisiensi dan cenderung kurang produktif. Belanja daerah sulit terwujud untuk menjadi infrastruktur yang konkret, yang dapat menunjang pembangunan ekonomi di daerah. Inilah masalah khusus yang harus diselesaikan pemerintah daerah.

Belanja daerah 2007 sekitar Rp 252 triliun. Anggaran ini sebenarnya cukup banyak untuk menghasilkan infrastruktur penunjang pembangunan. Jika separuh anggaran itu dipakai untuk membangun infrastruktur, pembangunan daerah bisa berlangsung baik. Namun, kenyataannya desentralisasi anggaran mengidap sisi lemah karena habis untuk belanja rutin.

Kedua, belanja pemerintah pusat. Selama ini pemerintah pusat membuat anggaran yang tidak efektif dan efisien sehingga pembangunan infrastruktur mengalami kemandekan. Lobi di pasar politik antara pemerintah dan DPR belum menghasilkan struktur optimal. Pemerintah menyadari kesalahan ini bahwa belanja modal untuk infrastruktur amat penting dalam rangka menopang ekonomi.

Pada tahun mendatang, pemerintah berniat mengalokasikan anggaran untuk investasi publik yang lebih besar menjadi lebih dari Rp 100 triliun, tetapi rencana itu belum dibahas di komisi-komisi di DPR.

Namun, jumlah ini sebenarnya belum berarti signifikan karena setiap tahun Indonesia membutuhkan belanja infrastruktur dari pemerintah ataupun swasta lebih dari Rp 1.000 triliun. Untuk mencapai target itu, pemerintah memerlukan peran swasta dan BUMN untuk mengeluarkan belanja infrastruktur lebih besar. Fokus swasta kepada infrastruktur komersial, sedangkan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur yang tidak komersial.

Masalah ketiga, belanja subsidi yang dari tahun ke tahun jumlahnya amat besar dan terus meningkat. Pada tahun 2007, jumlah subsidi sekitar Rp 105 triliun. Sekitar Rp 75 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak, sisanya Rp 30 triliun untuk subsidi PLN, juga karena memakai bahan bakar minyak yang disubsidi.

Masalah keempat, beban pembayaran utang luar dan dalam negeri yang hampir mencapai Rp 180 triliun. Pemecahan masalah utang amat diperlukan agar ada relaksasi anggaran.

Didik Rachbini Ekonom

No comments: