Geger Riyanto
Kapitalisme memiliki sistem pencernaan yang kuat. Ia dapat memanfaatkan perangkat produksinya untuk menyulap segala produk kebudayaan manusia menjadi sesuatu yang ekonomis. Taruhlah celana jins yang dimodifikasi sendiri dengan dipotong, dibordir, dan diwarnai secara bebas (psychedelic) oleh kalangan hippies dan dijadikan atribut kebudayaan mereka. Atribut yang terlekat dengan pesta musik dan gerakan antiperang itu kemudian diiklankan dan diproduksi secara massal oleh perusahaan jins, lalu menjadi tren fashion masyarakat Amerika pada tahun 60-an.
Dalam era masyarakat post-industri—yang banyak dideklarasikan sebagai era postmodernitas—ini, upaya komodifikasi kebudayaan merupakan upaya yang mutlak mesti dilakukan pihak kapitalis untuk memperpanjang usia hidupnya. Sebagaimana sosiolog George Ritzer menegaskan, kapitalisme global bekerja dengan memodifikasi sesuatu yang sifatnya ’nothing’, seperti makanan fastfood pada konteks masyarakat Indonesia, sampai menjadi ’something’ yang dipandang masyarakat luas sebagai hal yang mesti dikonsumsi. Bila tidak demikian, kapitalisme akan loyo alias kehilangan energinya.
Di hadapan strategi produksi massal inilah segala bentuk perlawanan kebudayaan dari kelompok-kelompok dalam masyarakat seperti menjadi tidak berdaya. Dan hal itu tampak pada tulisan Dadang Christanto di harian ini (Kompas, 3/6/2007), yang melihat bagaimana punk yang direpresentasikan oleh band bernama Punkasila telah tercerna oleh sistem kapitalisme. Punk tidak lagi menjadi simbol perlawanan, tetapi tercerna dan menjadi energi yang mengukuhkan kekuatan sang pemegang modal.
Punk belum mati
Sejatinya, punk merupakan sebuah counter-culture yang muncul pada tahun 70-an. Ia diciptakan oleh kalangan anak muda di Inggris yang berasal dari kelas buruh. Dengan kata lain, ia tercipta karena ada pihak yang muak akan kesenjangan yang tercipta melalui sendi-sendi sistem ekonomi yang bekerja.
Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, banyak yang kemudian mendeklarasikan kematian punk sebagai bentuk perlawanan kultural. Pada tahun 70-an, sosiolog Daniel Bell pernah menegaskan bahwa perlawanan yang sifatnya imajiner semacam ini merupakan tindakan yang kekanakan untuk melawan sistem yang berkuasa. Lalu, pada dekade yang sama, Ron E Roberts bahkan mengalkulasikan bahwa punk akan mati hanya berselang beberapa tahun setelah kemunculannya.
Punk kerap dipandang tidak berdaya untuk berdiri di atas kakinya sendiri. Pendiriannya untuk melawan kelas pemegang modal yang aman berada di awang-awang sana, serta terlindungi oleh aparatus negara, memang dapat dianggap terlampau utopis. Namun, sebagai sebuah gerakan counter-culture, logika perlawanan punk tidak seperti itu. Ia tidak berupaya menjungkirbalikkan kelas yang berkuasa dengan strategi revolusi ala revolusi proletar.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh Stuart Hall, logika perlawanan ala subkultur cukup dilakukan pada wilayah imajinasi saja. Meskipun sebelumnya Bell telah menerka hal ini, ia kemudian mengimbuhkan label bahwa perlawanan imajiner sama dengan sesuatu yang kekanakan. Sebaliknya, bagi Hall yang memakai tolok ukur dari komunitas counter-culture itu sendiri, kemenangan yang sejati justru dicapai pada wilayah kepuasan pribadi terlebih dahulu.
Anggapan yang menganalogikan gerakan punk bagai liliput yang pasti gagal dalam menantang kapitalisme dan aparatusnya yang bersosok raksasa, lebih bersandar kepada cara berpikir yang sosiologis, dan yang positivis atau realis. Dan bukannya berarti pandangan ini tidak benar, hanya saja, menurut hemat saya, realitas dapat dipandang dari berbagai sudut. Dan sudut pandang itu ditopang oleh asumsi ontologis yang diyakininya.
Tentu, bagi kalangan punk itu sendiri atau para pengkajinya yang berpikir dengan orientasi post-strukturalis, gerakan perlawanannya lebih pantas dianalogikan sebagai perlawanan Daud terhadap Goliat. Meskipun kemenangan itu belum tercapai, peluangnya selalu berpihak kepada Daud.
Semua ini seperti hidup beragama di masyarakat yang plural. Bila dalam logika keyakinan kita sendiri, mungkin kita menganggap agama yang Tuhan-nya terbunuh sebagai agama yang kalah, tetapi ternyata dalam keyakinan umatnya sendiri, kematian tersebut justru menjadi pembersihan noda bagi umat manusia. Dan tidak ada yang berhak narasi kemenangan yang seperti itu salah.
Nah, sekarang, bila kita memakai tolok ukur yang digariskan komunitas punk itu sendiri, mereka tidak pernah menganggap diri mereka mati selama mereka masih berpegang teguh dan menghidupi filosofinya. Dan sendi-sendi filosofi itu antara lain adalah prinsip DIY (Do It Yourself), prinsip anarkisme, atau antikemapanan dan melawan kekuasaan yang berlaku.
Filosofi ini nyata-nyata masih kuat dihidupi oleh sejumlah komunitas punk. Sebagai contoh, ketika seorang peneliti diajak makan oleh satu komunitas punk di sebuah warteg, mereka mengatakan bahwa mereka tidak suka makan di restoran yang ada di mal. Menurut hemat mereka, pasalnya itu kapitalis.
Lalu, ketika mereka menampilkan permainan musiknya di wilayah komunitasnya sendiri, mereka tidak bermain di atas panggung, aktif berinteraksi dengan para penyaksinya, dan bahkan suka mengganti-ganti posisi personelnya atau posisinya dengan penonton. Ketika sang gitaris mau menyanyi, ya ia ganti posisi jadi penyanyi, dan ketika ada penonton yang tahu lagunya dan mau memainkan gitarnya, ya ia jadi gitarisnya. Jelas saja, komunitas ini menghidupi perlawanannya terhadap hierarki atau sekat-sekat kelas.
Dan juga jelas bahwa band- band punk yang bergabung dengan major label, seperti Punkasila, Superman is Dead (SID), atau Endank Soekamti, dianggap telah menyimpang. Lihat saja, ketika SID menjalin kontrak dengan Sony Music, komunitas itu ramai-ramai mengenakan kaus bertuliskan ”Superman is Dead is Dead.” Dari sudut pandang komunitas punk, band-band itu dapat diibaratkan sebagai pseudo- punk (punk semu).
Bagi komunitas punk yang bermukim kukuh di bawah payung filosofinya, mereka lebih puas dengan rekaman ala indie label dan kaset atau CD rekamannya kemudian mereka edarkan sendiri. Memang, studio yang mereka pakai untuk latihan bermusik dan beraktivitas kerap tidak canggih perlengkapannya. Tidak seperti studio perusahaan rekaman atau band-band yang tenar. Tetapi, justru di situlah seni dari hidup ’nge-punk’.
Meskipun dalam kehidupan sehari-harinya kerap kali anggota komunitas punk mesti masuk dalam sistem kerja kapitalisme agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya, bagi mereka, hal itu tidak disinonimkan dengan kekalahan. Mereka bukanlah pergerakan yang hendak mengegolkan agendanya melalui strategi sosial-politik yang praktis. Perjuangan mereka adalah kehidupan mereka. Dalam prinsipnya, persoalan kalah-menang terletak pada seberapa mampu mereka menghidupi idealismenya.
Tentu ada beberapa pemusik dari aliran ini yang kemudian terserap dan menjadi sari melalui sistem pencernaan kapitalisme, tetapi tidak bisa dinafikan bahwa pada kenyataannya masih banyak di antara mereka yang idealismenya tidak tercerna. Dan mereka yang menghidupinya bagai virus nakal yang hidup dalam usus sistem ekonomi tersebut.
Dari sinilah bisa disimpulkan bahwa sepertinya terlampau cepat untuk mengumumkan kematian punk. Urat nadi komunitas punk masih berdenyut dengan kuat. Lihatlah itu pada setiap kesempatan mereka berkumpul, bernyanyi bersama, mengumandangkan mars-mars mereka tanpa menggubris siapa yang patut jadi subyek perhatian utama. Ah romantisnya.
Geger Riyanto Mahasiswa Sosiologi FISIP UI
No comments:
Post a Comment