Wednesday, August 15, 2007

Angka-Angka dan Kemiskinan


Oleh Leak Koestiya
Semisal nilai huruf-huruf ini adalah sebagai berikut:
A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1718 19 20 21 22 23 24 25 26

Maka, kita pun bisa menghitung nilai kata-kata berikut:
H A R D W O R K (kerja keras)
8 1 18 4 23 15 18 11 = 98
K N O W L E D G E (pengetahuan)
11 14 15 23 12 5 4 7 5 = 96
L O B B Y I N G (pendekatan)
12 15 2 2 25 9 14 7 = 86
L U C K (keberuntungan)
12 2 13 11 = 47

Kata-kata penuh nilai tersebut terselip di antara tumpukan spam yang masuk ke alamat e-mail saya. Pengirimnya adalah teman lama yang sekarang bekerja entah di mana. Biasanya, e-mail-e-mail seperti itu memang sering kurang jelas asal-usulnya. Karena itu, agak sulit merunut orisinalitas sebuah e-mail.

Sebuah surat elektronik biasanya datang dari mailist lain, lalu disebarkan lagi ke alamat e-mail teman-teman yang lain lagi. Maksud si teman yang mengirim, tentu iseng saja.

Lewat e-mail, memang kita sering mendapatkan berbagai jenis keisengan begitu rupa. Gambar porno, puisi lucu, atau gosip politik segala macam bisa saja tiba-tiba berjubel di mailbox kita. Menariknya, sebagai sebuah keisengan, isi e-mail di atas punya nilai "baru". Terutama bagi saya yang baru membukanya.

Saya baru tahu, untuk mendapatkan keberhasilan sebuah usaha, hard work (kerja keras) punya bobot nilai yang sangat tinggi. Padahal, pikiran saya sebelumnya, untuk mencapai suatu keberhasilan, kita perlu kerja keras, knowledge, lobby, dan mesti punya keberuntungan. Berapa bobot nilai dari urutan kata-kata itu, saya tak tahu.

Saya hanya berpikir: perlu kerja keras, perlu pengetahuan, perlu pendekatan, dan sebuah keberuntungan. Risikonya, saya bisa memosisikan kerja keras setara dengan luck (keberuntungan). Sesuatu yang saya anggap cuma sama-sama "perlu" saja.

Menunggu keberuntungan dan bekerja keras merupakan dua hal yang saya asumsikan bisa dilakoni. Misalnya, sambil jalan-jalan. Sebuah ritual yang digemari begitu banyak orang.

Siapa tahu, saat jalan-jalan di mall, saya ketemu dompet yang terjatuh. Setelah dibuka, itu dompet ternyata berisi lembaran uang dolar yang masih baru-baru dan banyak jumlahnya. Atau, mungkin ketemu berlian yang tercecer di lorong-lorong plaza dan seterusnya. Siapa tahu, toh namanya juga keberuntungan. Dan, unsur "kerja keras" dalam hal ini juga sudah saya penuhi.

Bukankah untuk sampai ke mall saya telah melewati jalanan macet? Bukankah setelah sampai di mall saya harus berputar-putar mencari tempat parkir yang kadang susahnya minta ampun? Bukankah setiap parkir saya harus membayar? Bukankah sebelum masuk pintu mall harus lulus screening metal detector oleh petugas keamanan antiteror?

Pertanyaannya, kenapa hidup saya tetap begini-begini saja dan penduduk miskin Indonesia tetap begitu banyak jumlahnya?
***
Seperti rilis terbaru yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tahun ini, pemerintah telah berhasil mengentas 2,13 juta jiwa penduduk Indonesia. Sebuah angka yang menyiratkan prestasi yang tidak main-main.

Tapi, celakanya, meski 2,13 juta jiwa telah tak lagi berstatus miskin, yang miskin tetap sangat banyak! Yaitu, 37,17 juta jiwa. Celaka berikutnya, konon jumlah penduduk yang mentas dari kemiskinan itu pun sudah di-mark up pula. Jadi, jumlah saudara-saudara kita yang miskin tentu bisa lebih membengkak.

Menurut Imam Sugema, ekonom dari ITB yang tergabung dalam Tim Indonesia Bersatu, menurunnya jumlah penduduk miskin Indonesia kali ini tak lebih disebabkan adanya intervensi pemerintah. Bentuk intervensi itu adalah pemanggilan sejumlah petinggi BPS oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebelum data soal angka kemiskinan dirilis ke publik pada 2 Juli lalu.

Terhadap prasangka yang kurang baik itu, Deputi Bidang Statistik Sosial Arizal Ahnaf menampik. Penduduk yang dikategorikan miskin adalah mereka yang berada di bawah garis kemiskinan menurut penetapan BPS. Garis kemiskinan pada Maret 2007 naik 9,67 persen, yakni Rp 151.997 per kapita per bulan pada Maret tahun lalu menjadi Rp 166,697. Karena itu, penduduk miskin adalah mereka yang konsumsi per bulannya kurang dari Rp 166.697 per bulan.

Terhadap data dan angka tersebut, boleh saja kita merasa asing kurang begitu paham. Sebab, yang dipahami rakyat adalah kerja keras sudah tak kurang-kurang, menunggu keberuntungan juga sudah capek. Tapi, kenapa rakyat miskin di negeri ini masih berjubel-jubel?

Usut punya usut, ternyata bapak-bapak kita yang duduk di posisi-posisi penting masih banyak yang berpegangan pada satu kata kunci lainnya. Nah, nilai kata kunci itu ternyata jauh lebih tinggi dibandingkan hard work, knowledge, luck, dan lain-lain. Yaitu, K O R U P S I = 109. Hitunglah kalau Anda kurang yakin.
Rakyat miskin? Hehe, gasak terus, Mang... (leak@jawapos.com)

No comments: