|
Kembali, Bank
Pada pertengahan tahun lalu masih bertengger pada posisi 12,5 persen. Sekarang telah mencapai posisi 8,25 persen dari 8,5 persen setelah BI mengubahnya pada 14 Juli lalu. Penurunan SBI sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi bank, dan selanjutnya diharapkan mampu mendorong investasi untuk menggerakkan sektor riil. Menggeliatnya sektor riil pada gilirannya diharapkan bisa mengurangi tingginya angka pengangguran dan kemiskinan saat ini.
Kondusif
Kinerja sektor finansial seperti pasar modal, pasar obligasi, dan perbankan perlahan-lahan mulai membaik. Dari ketiga sektor finansial tersebut, hanya sektor perbankan yang belum berjalan normal. Pasar modal mulai menggeliat ditunjukkan tingginya indeks harga saham gabungan (IHSG) hingga di atas Rp2.000. Sedangkan pasar surat utang negara (SUN) yang sangat diminati masyarakat, ditunjukkan selalu kelebihan permintaan (oversubcribed) pada setiap peluncuran perdana SUN.
Persoalan mendasar yang dihadapi perbankan saat ini adalah belum berjalannya fungsi intermediasi perbankan. Padahal, perbankan sangat diharapkan mendukung investasi untuk menggerakkan sektor riil. Saat ini, kita membutuhkan investasi Rp958 triliun untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 6–6,5 persen. Dari angka itu, pemerintah hanya mampu melakukan investasi sebesar Rp120 triliun, baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Sisanya sebesar Rp838 triliun diharapkan dari sektor swasta, baik itu dalam bentuk PMA maupun PMDN. Bank
Kinerja Perbankan
Namun, tren penurunan SBI sejak awal tahun ini belum mampu menggenjot perbankan untuk mengoptimalkan penyaluran kredit perbankan. Berdasarkan data BI per April, dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihimpun perbankan nasional sebesar Rp1.299,8 triliun, baru sebesar Rp855,4 triliun disalurkan dalam bentuk kredit. Dengan demikian, loan deposit ratio (LDR) baru sebesar 65,81 persen.
Padahal, idealnya adalah 70 persen. Masih rendahnya LDR ini, sesuatu yang wajar saat ini ketika return investasi di sektor finansial masih lebih besar dari return dari sektor riil. Perbankan tentu akan lebih suka menanamkan dana pihak ketiga di sektor finansial seperti SBI daripada dalam bentuk kredit investasi yang merupakan basis kerja utama bank komersial. Sebagai bukti, saat ini jumlah DPK yang tidak disalurkan dalam bentuk kredit sebesar Rp344,4 triliun (per April) dan sebesar Rp238 triliun dana perbankan diparkir dalam bentuk SBI.
Dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 6–6,5 persen, pertumbuhan kredit perbankan diharapkan sebesar 18–20 persen. Pada awal kuartal I/2007 ini, ada tren kenaikan kredit perbankan. Jika pada Januari terjadi penurunan kredit sebesar Rp15,4 triliun, pada Februari lalu terjadi kenaikan kredit sebesar Rp8 triliun. Kemudian pada Maret, naik lagi menjadi Rp16,7 triliun, namun pada April 2007 ini sedikit melambat hanya sebesar Rp12,4 triliun. Bank komersial masih trauma adanya kredit macet.
Perbankan masih terfokus penyaluran kredit yang berisiko rendah, yaitu kredit konsumtif. Namun, kebijakan ini seharusnya bersifat temporer. Dengan membaikkan kinerja ekonomi makro, seharusnya kredit diarahkan kepada kredit investasi.
Untuk itu, perbankan seharusnya mau menurunkan suku bunga kreditnya. Rata-rata, suku bunga deposito jangka waktu satu bulan sebesar 7,6 persen, sedangkan suku bunga kredit rata-ratanya di atas 13 persen sampai 17 persen. Penurunan suku bunga kredit ini tidak bisa ditawar-tawar agar fungsi intermediasi perbankan kembali berjalan normal. Apalagi, sekarang ada alternatif sumber pembiayaan seperti hot money maupun pasar obligasi. Bahkan, suku bunga pasar obligasi jauh lebih murah dibandingkan dengan suku bunga kredit. Rata-rata bunga obligasi sebesar 8–12 persen dengan jangka waktu 1–5 tahun.
Peran Bank BUMN
Tidak berfungsinya kebijakan moneter ekspansif yang bersamaan dengan mandulnya kebijakan fiskal melalui anggaran pemerintah dalam mendorong investasi, seharusnya menyadarkan pemerintah untuk mencari solusi secepatnya agar persoalan pengangguran dan kemiskinan bisa segera diatasi, daripada pemerintah bermain angka tentang data kemiskinan yang akhirnya menimbulkan pro dan kontra belakangan ini. Melihat kompleksitas permasalahan yang ada, seharusnya ada pihak yang mampu memecah kebekuan ini.
Bank-bank BUMN selayaknya menjadi pionir dalam menormalkan kembali fungsi intermediasi bank. Pemerintah yang masih mempunyai kendali terhadap bank BUMN memiliki kewenangan penuh untuk mendorong bank-bank BUMN menyalurkan kredit investasi. Jika saat ini bank-bank BUMN masih terfokus pada kredit investasi, seharusnya pemerintah melalui BI membatasinya dan meminta bank BUMN meningkatkan penyaluran kredit ke sektor produktif.
Bahkan, kalau perlu dengan peraturan, tidak sekadar imbauan (moral suasion). Bank BUMN ini masih merupakan pilihan utama bagi para pengusaha. Survei yang dilakukan Masyarakat Profesional Madani terhadap para pelaku usaha di kawasan Jakarta dan sekitarnya pada Mei–Juni 2007 menunjukkan bahwa 54 persen responden memilih bank BUMN sebagai sumber pembiayaan usahanya.
Selain itu, bank BUMN ini cukup strategis karena merupakan kelompok bank yang mendominasi industri perbankan nasional dengan pangsa sekitar 40 persen dan memiliki cabang-cabang yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. (*)
Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FE Universitas Islam
No comments:
Post a Comment