Thursday, August 30, 2007

Pangan


Lahan Pertanian Abadi

Khudori

Salah satu persoalan besar bangsa di masa depan adalah bagaimana menjamin ketersediaan pangan yang cukup bagi perut semua warga. Jika KB berhasil, pada 2030 penduduk Indonesia mencapai 425 juta jiwa.

Agar semua perut kenyang, dibutuhkan 59 juta ton beras. Karena luas tanam padi sekarang 11,6 juta hektar, pada saat itu diperlukan tambahan luas tanam baru 11,8 juta hektar. Ini pekerjaan yang mahaberat.

Dewasa ini, lahan pertanian kian sempit dan kelelahan. Keuntungan pertanian on farm belum menjanjikan, produktivitas padi melandai, diversifikasi pangan gagal, jumlah penduduk kian banyak, sementara karena deraan kemiskinan, konversi lahan pertanian berlangsung kian masif. Rentang 1992-2002, laju tahunan konversi lahan baru 110.000 hektar, tetapi empat tahun terakhir melonjak 145.000 hektar per tahun.

Lahan pertanian terancam punah. Menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), pada 2004 luas sawah 8,9 juta hektar: 7,31 juta hektar beririgasi dan 1,45 juta hektar nonirigasi. Dari sawah irigasi yang subur, 3,099 juta hektar hendak dikonversi oleh pemerintah daerah. Dari jumlah itu, 1,67 juta hektar (53,8 persen) merupakan sawah beririgasi di Jawa dan Bali. Jika permintaan itu diluluskan BPN, akan menjadi ancaman serius bagi masa depan bangsa.

Selama ini 56-60 persen produksi padi bertumpu pada sawah-sawah yang subur di Jawa. Didukung irigasi teknis, sawah di Jawa memiliki produktivitas tinggi (51,87 kuintal/hektar) ketimbang di luar Jawa (39,43 kuintal/hektar).

Jika konversi lahan tak terkendali, surplus beras di Jawa tidak akan terjadi. Rawan pangan meruyak. Tenaga kerja di sektor pertanian jobless (kehilangan pekerjaan), jumlah penganggur meningkat. Arus urbanisasi tak terbendung lagi. Ini semua akan membiakkan kerawanan sosial dan masalah baru di kota.

Pertumbuhan ekonomi, transformasi struktur ekonomi dan laju pertambahan penduduk yang tinggi merupakan determinan utama konversi lahan pertanian. Semua itu membutuhkan tapakan lahan. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi juga mendongkrak mutu sosial-ekonomi lahan nonpertanian. Perpaduan antara permintaan dan rente lahan nonpertanian yang terus meningkat inilah yang menyebabkan konversi lahan berjalan masif.

Pertanyaannya, apakah skenario konversi dalam jangka panjang (secara ekonomi dan lingkungan) merupakan pilihan paling efisien? Adakah alternatif lain agar konversi lahan tidak menyebabkan pengorbanan yang lebih tinggi ketimbang manfaat (sesaat)?

Sebagai negara berpenduduk besar, pangan adalah soal hidup-mati. Saat ini kemiskinan masih 37,17 juta jiwa (16,58 persen) dan penderita gizi buruk 2,3 juta jiwa. Konversi lahan membuat ketahanan pangan rapuh, produksi pangan domestik merosot, lalu kita tergantung dari pangan impor. Sebagian besar pasar pangan dunia bersifat oligopoli, pasarnya tipis dan harganya tidak stabil. Bergantung pada pangan impor jelas tidak menguntungkan.

Ditilik dari sisi mana pun, konversi sawah (beririgasi) amat tidak menguntungkan. Menurut Bulog, setiap satu hektar sawah di Jawa dikonversi hilang 4.000 dollar AS untuk membuat kebun beras. Dengan laju konversi 145.000 hektar/tahun, lenyap nilai 580 juta dollar AS dan 1,3 juta ton gabah per tahun.

Kerugian kian besar apabila biaya pemeliharaan sistem irigasi dan rekayasa kelembagaan pendukung diperhitungkan. Menurut Sumaryanto dan Tahlim Sudaryanto dari Pusat Studi Sosial Ekonomi Institut Pertanian Bogor (IPB), investasi mengembangkan ekosistem sawah per hektar Rp 210 juta pada 2005. Ini belum termasuk hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap, penggilingan padi, buruh tani, industri input, dan sektor pedesaan lain.

Sawah terkonversi bersifat irreversible. Pernahkah Anda membayangkan dampak jika seperempat dari luas sawah yang ada sekarang dikonversi? Hampir pasti, suhu udara meningkat, kemungkinan erosi, banjir dan longsor lebih besar, kualitas dan kuantitas air akan berkurang drastis. Demikian juga keindahan alam, bio-diversity dan kebudayaan perdesaan cepat punah, bahkan akan muncul disharmoni kelembagaan sosial di desa.

Dampak berganda konversi itu tidak pernah disadari karena kita hanya menilai sawah sebagai penghasil pangan dan serat (tangible). Padahal, sawah mempunyai multifungsi, yaitu menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan fungsi hidrologis DAS, menurunkan erosi, menyerap tenaga kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan, serta mempertahankan nilai-nilai sosial budaya perdesaan. Fungsi ini tidak bisa dipasarkan (non-marketable) dan tidak mudah dikenali (intangible).

Sudah banyak peraturan dibuat untuk mencegah konversi, tetapi semuanya mandul. Untuk mengatasi ini, penentuan lahan pertanian abadi, seperti diatur RUU Lahan Pertanian Abadi yang dibahas DPR, perlu segera ditunaikan.

Lahan abadi diutamakan pada lahan utama, yakni lahan beririgasi, produktivitas tinggi dan berindeks pertanaman lebih dari dua. Konversi lahan utama tetap dimungkinkan, tetapi dengan kompensasi tinggi. Tanpa ini, konversi akan meruyak karena sawah dinilai terlalu murah (undervalue).

Khudori Peminat Masalah Sosial- Ekonomi Pertanian, Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Jember

No comments: