Tuesday, August 28, 2007

Tantangan dan Risiko RAPBN 2008

Sunarsip
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal, Departemen Keuangan RI

Pemerintah RI telah menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Penerimaan Negara (RAPBN) 2008 kepada DPR RI tanggal 16 Agustus lalu. RAPBN 2008 ini disusun dalam rangka memenuhi tuntutan dari para stakeholder yang menginginkan APBN lebih rinci, transparan, dan komprehensif agar dapat memberikan informasi yang lengkap dan akurat kepada masyarakat. Dan yang tak kalah penting, RAPBN 2008 ini bisa menunjukkan adanya perbaikan kualitas akuntabilitas publik dalam pengelolaan keuangan negara. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika RAPBN 2008 disusun dengan jumlah halaman yang tebal (408 halaman), lebih tebal dibandingkan RAPBN 2007.

Tantangan
Meski telah disusun sedemikian rupa, sebagian kalangan masih skeptis terhadap RAPBN 2008 ini. Terutama, dalam hal bagaimana angka-angka pada RAPBN 2008 ini betul-betul bisa well implemented sehingga berdampak pada perbaikan bagi kesejahteraan rakyat.

RAPBN 2008 ini memang menghadapi sejumlah tantangan dan risiko. Ketika RAPBN 2008 ini disusun, perekonomian Indonesia belum dihadapkan pada situasi finansial global yang tidak menguntungkan terutama akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat (AS). Namun, ketika RAPBN 2008 diumumkan, muncullah kasus subprime mortgage di AS. Maka, sejumlah pihak kemudian berpendapat RAPBN 2008 ini tidak responsif terhadap situasi yang up to date. Sehingga, muncullah pandangan bahwa target pertumbuhan ekonomi dalam RAPBN 2008 sebesar 6,8 persen tidak realistis.

Namun demikian, penulis melihat bahwa target pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen tetaplah angka yang realistis. Sebab, kalau mencermati RAPBN 2008, sumber-sumber pertumbuhan ekonomi 2008 sesungguhnya lebih banyak didukung oleh faktor domestik (konsumsi, investasi dan ekspor). Pertumbuhan konsumsi rumah tangga di tahun 2008 diperkirakan lebih dari 5 persen dan investasi sebesar 15 persen, merupakan angka di atas rata-rata dalam 10 tahun terakhir.

Kontribusi total konsumsi terhadap pertumbuhan sebelum dan sesudah krisis, yang berada pada kisaran 65 persen menunjukan bahwa peranan konsumsi masih cukup dominan. Dari sisi domestik, optimisme pencapaian sasaran pertumbuhan ekonomi 2008 juga didukung perkembangan ekonomi yang dalam beberapa triwulan terakhir menunjukkan peningkatan. Realisasi pertumbuhan ekonomi triwulan I dan II 2007 masing-masing 5,97 persen dan 6,28 persen, sehingga secara keseluruhan 2007 akan dapat mencapai 6,3 persen.

Tantangan lainnya adalah reformasi perpajakan yang digulirkan tahun ini (melalui amandemen UU Perpajakan) diperkirakan akan menurunkan penerimaan perpajakan tahun 2008. Dalam RUU Pajak Penghasilan (PPh), bila tarif PPh (pribadi dan badan turun 5 persen, penerimaan perpajakan 2008 akan turun Rp 18 triliun. Padahal, RAPBN 2008 menargetkan penerimaan perpajakan sebesar Rp 583,7 triliun (13,6 persen dari PDB), naik 19,1 persen Rp93,8 triliun dari RAPBN-P 2007 sebesar Rp489,9 triliun (12,9 persen dari PDB).

Sementara itu, target penerimaan migas (PPh dan PNBP) 2008 sebesar Rp153,3 triliun naik 7,3 persen (Rp10,4 triliun) dibandingkan RAPBN-P 2007 sebesar Rp142,9 triliun. Asumsi yang digunakan untuk menghitung penerimaan migas 2008 ini adalah ICP sebesar 60 dolar AS per barrel dan lifting minyak sebesar 1.034 MBCD. Berdasarkan pengalaman, realisasi lifting minyak sering tidak sesuai target. Tahun ini, dari target lifting minyak sebesar 1.000 MBCD, realisasinya diperkirakan hanya 0,950 MBCD.

Penerimaan migas 2008 ini juga menghadapi tantangan berupa tingginya cost recovery migas. Tahun 2007, cost recovery migas mencapai 10,37 miliar dolar AS (29 persen dari gross revenue) atau justru naik dibandingkan tahun 2006 yang sekitar 23 persen dari gross revenue. Sementara itu, pengaturan tentang cost recovery ini hanya diatur melalui kontrak, belum ada peraturan perundangannya.

Berbagai hal tersebut, memang akan menjadi tantangan bagi pemerintah. Mungkin akan muncul pertanyaan, mengapa penerimaan perpajakan dan migas dipaksakan pada kisaran sebesar itu, saat di satu sisi terdapat kemungkinan realisasinya tidak tercapai? Pertanyaan seperti ini memang beralasan. Namun, penulis kira, pemerintah melalui RAPBN 2008 ini berupaya ingin membangun optimisme bahwa target tersebut cukup realistis.

Terdapat beberapa alasan yang dapat dikemukakan untuk mendukung argumentasi bahwa penerimaan perpajakan dan migas tersebut dapat dicapai. Di bidang perpajakan, meski dengan adanya amandemen UU Perpajakan berpotensi mengurangi jumlah penerimaan perpajakan, namun kekurangan tersebut optimis dapat ditutupi melalui berbagai upaya ekstensifikasi perpajakan. Di samping itu, insentif perpajakan yang diberikan UU Perpajakan pasca-amandemen secara tidak langsung akan mendorong percepatan ekonomi yang ujungnya meningkatkan basis penerimaan perpajakan.

Sementara itu, meski tren dalam beberapa tahun terakhir lifting hasil minyak kita menurun, namun di tahun 2008 ini ini situasinya akan berbeda. Mulai beroperasinya sejumlah sumur minyak baru, seperti Blok Cepu dan blok minyak lainnya, ditambah masuknya investasi baru di sektor migas yang terjadi di tahun 2007, tentunya akan membuat industri migas di tahun 2008 akan semakin bergairah. Di tambah dengan upaya pemerintah untuk mengatur ketentuan tentang cost recovery agar dapat ditekan, diperkirakan akan mampu meningkatkan basis penerimaan migas.

Sadar risiko
Salah satu semangat lain yang dibawa oleh RAPBN 2008 ini adalah pemerintah ingin menjelaskan kepada masyarakat bahwa kita juga memiliki risiko-risiko yang berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi RAPBN 2008. Melalui RAPBN 2008, pemerintah terlihat ingin mengajak seluruh stakeholder untuk meningkatkan kesadarannya dalam pengelolaan kebijakan fiskal. Hal tersebut antara lain dapat dibaca dengan munculnya bab khusus tentang risiko fiskal dalam RAPBN 2008 yang sebelumnya tidak ada. Pengungkapan risiko fiskal ini diarahkan pada keterbukaan dan kesinambungan fiskal.

Sebagai misal, RAPBN 2008 memiliki risiko terkait dengan utang pemerintah. Risiko utang pemerintah ini antara lain bisa muncul akibat rendahnya peringkat utang ataupun perubahan kurs yang tidak menguntungkan bagi posisi pemerintah. Peringkat utang sangat menentukan biaya utang yang harus dibayar oleh pemerintah. Semakin tinggi peringkat utang yang dimiliki pemerintah, maka akan semakin rendah premi risiko, sehingga akan semakin rendah pula biaya utang pemerintah. Oleh karenanya, memang diperlukan kedisiplinan dalam menjaga kepercayaan pasar uang dan pasar modal serta upaya untuk meningkatkan peringkat utang kita.

Beruntung, pemerintah telah melakukan reprofiling utang pemerintah dari utang luar negeri ke utang dalam negeri sehingga risiko kurs bisa ditekan. Terlebih lagi, defisit APBN dibiayai dengan penerbitan instrumen sukuk (obligasi syariah). Tentu, risiko utang pemerintah akan semakin berkurang. RAPBN 2008 juga memiliki risiko lainnya yang perlu diantisipasi.

Ikhtisar - RAPBN 2008 ini tampil beda dibanding RAPBN tahun-tahun sebelumnya.
- Dalam RAPBN 2008 terdapat uraian yang lebih rinci, transparan, dan komprehensif.
- Banyak kalangan memandang RAPBN tersebut tidak akan well implemented, namun penulis yakin target yang tertuang dalam rancangan tersebut akan tercapai.
- Sebagai tambahan informasi, RAPBN 2008 juga memuat risiko fiskal yang mungkin dihadapi.

No comments: