BI: Tak Perlu Cara Khusus Menahan Keluarnya Uang Panas
Ubud, Kompas - Bukti-bukti memperlihatkan bahwa di banyak negara berkembang, liberalisasi modal, pasar keuangan, tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, bahkan menciptakan ketidakstabilan. India dan China yang pertumbuhan ekonominya tinggi terhindar dari krisis Asia tahun 1997 tanpa melakukan liberalisasi.
Demikian dikatakan Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi tahun 2001, dalam percakapan dengan Kompas di Ubud, Bali, Minggu (12/8) siang. Kepada Stiglitz yang didampingi istrinya, Anya Schiffrin, ditanyakan sistem mana yang lebih baik untuk Indonesia, apakah sistem pasar keuangan terbuka atau tertutup.
Situasi Indonesia lebih mirip China dan India. "Dan, menurut saya, argumen untuk melakukan pembatasan-pembatasan terhadap sistem perbankan, untuk melindungi regulasi yang berdasarkan kehati-hatian, adalah cara terbaik," kata Stiglitz.
Ia menjelaskan, liberalisasi modal, pasar keuangan, merupakan hal yang problematis bagi banyak negara berkembang. Akan tetapi, China dan India menjadi contoh negara yang tidak menjalankan liberalisasi tersebut. Belakangan Dana Moneter Internasional mengakui bukti-bukti yang menunjukkan liberalisasi modal tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi.
Di sektor keuangan, Indonesia menganut sistem yang liberal, seperti rezim devisa bebas, di mana lalu lintas modal keluar-masuk tanpa batasan. Uang-uang panas (hot money) yang hanya berjangka pendek bisa dialirkan pemiliknya masuk untuk mencari imbal hasil yang tinggi, dan bebas keluar lagi jika tidak lagi memberi hasil memadai. Pihak asing juga bebas membeli saham bank, yang merupakan jantung perekonomian. Sistem nilai tukar pun mengambang bebas sehingga nilai tukar bisa berfluktuasi tanpa batas.
Selama beberapa hari terakhir, nilai rupiah terus melemah terhadap mata uang asing karena terjadi guncangan di pasar keuangan Amerika Serikat yang kemudian merambat ke Eropa dan negara-negara Asia. Kondisi itu juga meluas ke pasar saham.
Guncangan pasar keuangan AS dan Eropa memaksa bank-bank sentralnya mengucurkan dana ke pasar uang sampai ratusan miliar dollar AS, hanya dalam dua hari pekan lalu.
"Jika Anda memasuki pasar keuangan yang lebih besar dan lebih kompleks seperti Amerika Serikat, sulit untuk meregulasi pasar. Begitu juga pada negara yang menjadi pusat keuangan seperti Singapura. Tetapi, situasi Indonesia berbeda, lebih mirip India dan China," kata Stiglitz.
Tanggung jawab negara
Mengenai globalisasi dan kemiskinan, Stiglitz mengingatkan bahwa globalisasi tidak otomatis memberikan manfaat ekonomi pada orang miskin. Negara harus mencari tahu kelompok warga negara yang paling terkena dampak negatif globalisasi dan mencari jalan mengatasi dampak itu. Banyak jawaban atas pertanyaan itu, tergantung situasi yang berbeda. Misalnya, kasus petani beras.
Menurut Stiglitz, sangat jelas, petani Indonesia tidak mungkin bersaing dengan Washington (Pemerintah AS yang memberikan kebijakan subsidi). Untuk menangani isu subsidi ini, ada counterfeiling duties (antidumping), menaikkan pajak untuk mengatasi efek subsidi. Jadi, jika AS menyubsidi 50 sen untuk petaninya, Indonesia memberi pajak impor 50 sen, sehingga petani Indonesia dan AS berada pada posisi yang setara.
Kewajiban utama untuk mengurangi kemiskinan, katanya, haruslah ada pada pemerintah. Pemerintah bisa mendorong sektor bisnis untuk ikut mengurangi kemiskinan dengan menciptakan lapangan kerja. Satu contoh, salah satu sumber penciptaan lapangan kerja di banyak negara adalah usaha kecil dan menengah. Mereka biasanya sulit mendapatkan modal atau pinjaman. Pemerintah harus memerhatikan kesulitannya sehingga mereka bisa tumbuh dan menciptakan lapangan kerja.
Di banyak negara, katanya, kita tidak dapat melepaskan sistem kesehatan dan pendidikan kepada swasta. Pemerintah harus mendanai kesehatan dan pendidikan.
Masalah pada kemiskinan adalah tiap orang tidak punya uang. Jadi, pendidikan dan kesehatan untuk orang miskin harus dilakukan negara. Caranya, membuat asuransi untuk orang paling miskin dengan membagi iurannya, mendirikan klinik kesehatan (puskesmas) untuk imunisasi, memperbanyak paramedis, dan memperluas pemakaian obat generik agar tidak dieksploitasi oleh perusahaan multinasional, dan mewajibkan lisensi obat. "Kalau Anda miskin, tentu harus lebih efisien dalam menggunakan uang Anda, tetapi Anda tidak dapat mengasumsikan bahwa orang miskin tidak dapat membayar layanan kesehatan itu," katanya.
Selain itu, juga penting melihat koperasi dan kewirausahaan. Di banyak negara banyak koperasi diambil alih pemerintah dan tidak independen. "Tetapi, ke depan, pengalaman itu jangan membuat kita tidak mau membangun koperasi. Di AS, koperasi pertanian sangat kuat dan perusahaan mentega terbesar di sana dimiliki koperasi," kata Stiglitz.
Untuk masyarakat demokratis, koperasi dapat menjadi sangat penting. Koperasi di Indonesia, misalnya, bisa bekerja sama dengan koperasi internasional sehingga tidak perlu bergantung pada pemerintah.
Tidak ada gunanya
Meskipun gejolak pasar keuangan global telah menyulut larinya dana asing jangka pendek dari Indonesia, menekan indeks harga saham dan nilai tukar rupiah, Bank Indonesia tetap tidak khawatir perekonomian nasional akan terpengaruh signifikan. Bahkan, bank sentral cenderung membiarkan dana asing jangka pendek keluar karena memang relatif banyak bermanfaat.
"Karena itu, kami tidak melihat diperlukan cara-cara khusus untuk menahan dana asing jangka pendek atau hot money tersebut. Yang kami antisipasi bagaimana nilai tukar rupiah tidak terlalu bergejolak akibat pembalikan hot money, yakni dengan melakukan intervensi selama diperlukan. Cadangan devisa kita cukup kuat, saat ini sebesar 52,3 miliar dollar AS," kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Aslim Tadjuddin, Minggu di Jakarta.
Uang panas, katanya, memang membuat rupiah terapresiasi sehingga inflasi yang timbul dari transaksi impor berkurang. Namun di sisi lain, apresiasi rupiah membuat eksportir menjerit. Pada dasarnya, masuknya uang panas yang memanfaatkan tingginya suku bunga di Indonesia hanya menguntungkan investornya sendiri. "Yang kita perlukan dari asing ialah dana jangka panjang dalam bentuk investasi langsung ke sektor riil," kata Aslim.
Aslim juga meyakini kejatuhan harga surat utang yang terjadi di AS, Eropa, dan Jepang tidak akan merembet ke pasar obligasi Indonesia. Alasannya, harga obligasi di negara-negara maju jatuh karena bank-banknya berinvestasi surat utang perumahan di AS yang berisiko tinggi (subprime mortgage securities). "Berdasarkan data, tak ada bank di Indonesia yang memiliki subprime mortgage securities. Jadi kondisinya berbeda," ujar Aslim. (NMP/MH/FAJ)
No comments:
Post a Comment