Friday, August 24, 2007

Kekeringan dan Kemiskinan Petani

ALI KHOMSAN

Petani mulai merasakan dampak kekeringan. Kerusakan sawah mulai merambah dan akan berdampak serius pada kesejahteraan petani maupun ketahanan pangan nasional.

Kekeringan saat ini mungkin merupakan dampak pemanasan global. Namun, para petani adalah yang paling merasakan akibat kekeringan. Tanpa air yang cukup, sawah segera mengering, puso, dan panen gagal. Kekeringan tetap menjadi ancaman jika program reboisasi tidak segera diintensifkan untuk mengembalikan wilayah resapan air.

Pada tahun 1999/2000, luas kawasan yang masih berhutan di Jawa hanya empat persen. Padahal, luas hutan ideal untuk mendukung keseimbangan ekosistem adalah 30 persen dari luas wilayah. Luasan hutan itu untuk menjamin ketersediaan sumber daya air bagi kehidupan.

Balai Pemantapan Kawasan Hutan Jawa-Madura menggambarkan hutan di Jawa yang luasnya 3.289.131 hektar itu kini keadaannya amat menyedihkan. Hutan Pulau Jawa yang memerlukan rehabilitasi sekitar 1,714 juta hektar (56,7 persen). Kondisi tersebut diperparah oleh meluasnya lahan kritis di luar kawasan hutan yang telah mencapai 9,016 juta hektar. Jadi, di seluruh Jawa kira-kira 84,16 persen lahan daratannya memerlukan rehabilitasi.

Pemerintah diimbau untuk membantu petani dengan bantuan pompa air dan sumur pantek untuk mengatasi krisis air. Tanpa bantuan pemerintah untuk mengatasi kekeringan, nasib petani akan semakin terpuruk.

Ada pemeo yang mengatakan, "kalau ingin hidup tenteram jadilah petani, kalau ingin dihormati jadilah pegawai negeri, dan kalau ingin kaya jadilah pedagang". Tampaknya kini pemeo tersebut sudah tidak sepenuhnya berlaku.

Kehidupan petani jauh dari kesan tenteram dan sejahtera. Petani adalah profesi yang tidak henti dirundung masalah; mulai nilai tukar komoditas yang rendah yang berujung pada kemiskinan, sampai hambatan iklim yang akan membuat nasib petani semakin runyam.

Kesan kuat yang muncul sekarang ini adalah petani merupakan profesi inferior, sementara sektor pertanian identik dengan sektor marjinal. Kesan itu tidak sepenuhnya salah karena data secara umum menunjukkan hal tersebut.

Padahal, pada tahun 1970-an tingkat kesejahteraan petani dan kesejahteraan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun, kini keadaan tidak lagi berpihak pada petani. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian.

Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah. Namun kalau sektor pertanian lebih banyak dijejali dengan petani gurem, sektor pertanian akan menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan.

Dalam periode 10 tahun, antara 1993 dan 2003, jumlah petani gurem yang semula 10,8 juta telah bertambah menjadi 13,7 juta orang. Oleh karena itu, kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi.

Pada tahun 2002 dari total penduduk miskin di Indonesia, lebih dari separuhnya adalah petani yang tinggal di pedesaan. Data persentase penduduk miskin usia 15 tahun ke atas menurut provinsi/kabupaten/kota dan sektor bekerja pada tahun 2003 (BPS, 2004) menunjukkan persentase terbesar penduduk miskin hampir di seluruh kabupaten/provinsi adalah mereka yang bekerja di sektor pertanian.

Salah satu upaya dalam mewujudkan keberdayaan petani dapat dilakukan melalui employment shifting. Beban sektor pertanian dengan jutaan petani gurem harus dikurangi.

Ini berarti industri nasional harus bergerak dengan laju yang lebih cepat, dan investasi harus segera masuk untuk kemudian menyerap tenaga-tenaga kerja. Tanpa employment shifting, yang terjadi adalah bertambahnya kegureman petani yang akan semakin memperlihatkan betapa terpuruknya petani-petani kita.

SDM pertanian di Indonesia memang masih lemah, padahal sejak dulu kita mengklaim sebagai negara agraris. Pada tahun 2001 tenaga kerja nasional yang memiliki gelar sarjana adalah 4,7 persen dan yang berasal dari pertanian hanya 0,3 persen. Sementara itu, disadari pula bahwa tidak semua sarjana pertanian bekerja di sektor pertanian. Jadi, lengkaplah sudah keterpurukan pertanian kita karena tidak didukung oleh tenaga-tenaga yang berkualitas dan kompeten.

Sektor pertanian sebenarnya memegang peranan penting dalam menyumbang devisa bagi negara. Pada tahun 2003 ekspor produk pertanian mencapai 11,1 miliar dollar AS. Ketika sektor lain kalang kabut menghadapi krisis ekonomi 1998, sektor pertanian masih tumbuh meski lambat.

Sektor pertanian sampai tahun 2002 masih menyerap 45 persen tenaga kerja, tetapi pangsanya terhadap PDB semakin menurun. Dengan demikian, hal ini menjadi prediksi bahwa sektor pertanian tidak bisa menjamin kesejahteraan tenaga kerjanya.

Untuk mengantisipasi dampak kekeringan yang berkepanjangan, sudah saatnya kini pemerintah memikirkan tentang perlunya sistem jaminan sosial (social security system) untuk petani. Idealnya, sistem jaminan sosial bukan melulu untuk mengatasi krisis yang bersifat insidental. Sistem ini bersifat langgeng dan terus-menerus untuk seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Cakupan sasaran bisa menjadi lebih besar apabila ada kejadian luar biasa seperti kekeringan.

Selama ini berbagai strategi pengentasan kemiskinan telah dilakukan pemerintah. Namun, efektivitasnya belum teruji manjur mengatasi kemiskinan bangsa ini. Bantuan langsung tunai, dana bantuan operasional sekolah (BOS), jaring pengaman sosial (JPS), sampai kompor gas gratis semuanya ditujukan untuk membantu orang miskin.

Kini, di saat kekeringan merebak dan daya beli petani dipastikan merosot, pemerintah harus segera tanggap merumuskan bantuan untuk keluarga-keluarga petani yang terancam kesejahteraannya. Memberikan keringanan kredit pinjaman atau bantuan langsung tunai dengan mekanisme yang lebih baik kiranya sangat diharapkan petani untuk mencegah nasib yang kian terpuruk.

Ali Khomsan Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor

No comments: