Thursday, August 16, 2007

Menggagas "Ekonomi Pasar Sosial Terbuka"

Sulastomo

Salah satu perubahan penting Undang-Undang Dasar 1945 adalah bergesernya pendekatan mewujudkan cita-cita untuk apa negara ini didirikan.

Bab XIV Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 semula berjudul "Kesejahteraan Sosial". Sedangkan judul yang baru adalah "Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial". Implikasinya, terbuka peluang perubahan kebijakan yang lebih bersandar pada pendekatan ekonomi dalam mewujudkan kesejahteraan.

Perubahan ini dilandasi pemikiran untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Bahwa pendekatan ekonomi yang berorientasi pertumbuhan lebih menjanjikan terwujudnya kesejahteraan rakyat. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah wujud kesejahteraan itu seperti apa? Benarkah pendekatan ekonomi lebih mendekatkan wujud kesejahteraan yang berkeadilan sesuai yang dicita-citakan bersama? Sebaliknya, benarkah pendekatan kesejahteraan tidak mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi?

Perdebatan ini akhirnya kembali pada perdebatan lama, antara pertumbuhan dan pemerataan, antara makmur dulu atau adil dulu. Keduanya digambarkan sebagai terpisah, seolah ada dikotomi di antara keduanya.

Pertumbuhan yang terbagi

Ketika lebih mengedepankan pendekatan ekonomi, kita tidak mungkin lepas dari kebijakan perekonomian global, yang dalam hal ini didominasi prinsip- prinsip ekonomi pasar (bebas) dan pengaruh lembaga-lembaga internasional, seperti IMF, Bank Dunia, dan WTO.

Implikasinya, dalil-dalil ekonomi pasar dipercaya sebagai satu-satunya jalan, serta yang terpenting adalah pertumbuhan ekonomi, persaingan bebas, dan daya saing sumber daya manusia. Tidak seluruhnya salah, tetapi harus ada yang dikoreksi jika kita konsisten dengan wujud kesejahteraan yang dicita-citakan, yaitu berkeadilan sosial.

Orientasi kebijakan ekonomi seperti itu ternyata melahirkan pertumbuhan yang tidak seimbang. Wujudnya, justru adanya kesenjangan yang semakin melebar, semakin jauh dari cita-cita keadilan sosial, baik internal di suatu negara, regional, maupun global. Benar ada pertumbuhan ekonomi, tetapi pertumbuhan itu tidak didistribusikan secara merata. Ada pertumbuhan, tetapi jumlah masyarakat miskin semakin meningkat.

Di Indonesia, dari 36 juta jiwa (2005), menjadi 60 juta jiwa (2006), dan 76 juta jiwa (2007). Kesenjangan sosial juga semakin meningkat, antara lain tampak dari belanja kesehatan tenaga kerja di Indonesia yang bergerak dari angka Rp 8.000/kapita/bulan sampai ke Rp 800.000/kapita/bulan. Kesenjangan yang begitu lebar itu (1:100) masih akan semakin lebar kalau kita menghitung belanja kesehatan masyarakat miskin yang hanya Rp 5.000/kapita/bulan. Gambaran yang sama juga terjadi antar-negara, regional, dan juga global. Mengapa?

Persoalan pokok adalah, dapatkah kita merumuskan kebijakan perekonomian dengan pertumbuhan yang terbagi (shared-growth?) Hal ini hanya mungkin terjadi kalau kita menerapkan pendekatan kesejahteraan. Bahwa setiap kebijakan ekonomi diarahkan untuk peningkatan kesejahteraan sebagian besar orang, bukan perorangan. Dengan pendekatan seperti itu, pertumbuhan dan pemerataan serta kemakmuran dan keadilan sosial dapat diwujudkan. Tidak perlu ada dikotomi.

Inilah sebenarnya yang telah dilihat oleh pendiri bangsa ini. Bahwa perekonomian diletakkan di bawah Bab Kesejahteraan Sosial. Tujuannya adalah meletakkan kesejahteraan rakyat sebagai titik sentral perhatian kebijakan ekonomi. Wujudnya, menurut pendiri bangsa ini, adalah badan usaha milik negara (BUMN), swasta, dan koperasi. Ke mana ketiganya (mestinya) diarahkan?

Pengakuan terhadap keberadaan BUMN mengindikasikan bahwa Indonesia mengakui peran negara sebagai regulator dan penyelenggara perekonomian. Namun, dengan pengakuan terhadap keberadaan swasta, berarti tidak seluruh usaha diselenggarakan oleh negara. Wajar kalau ada kebijakan yang mengatur bidang usaha kedua lembaga itu agar terjadi persaingan yang sehat. Bidang usaha apa yang harus ditangani negara dan bidang usaha apa yang harus diserahkan ke swasta?

Bidang usaha yang terkait hajat hidup orang banyak dan sumber daya alam kiranya dapat disepakati sebagai tugas negara/BUMN, misalnya kesehatan, transportasi rakyat, pertambangan, dan sumber daya alam. Namun, tidak berarti bidang usaha ini tertutup seluruhnya bagi swasta. Hal-hal yang terkait dengan " kenyamanan", yang tidak terkait dengan kebutuhan medik/kesehatan, misalnya perawatan rumah sakit yang mewah, dapat diserahkan kepada swasta. Demikian juga di bidang transportasi.

Sebaliknya, yang terkait dengan kebutuhan medik/kesehatan rakyat dan juga transportasi rakyat justru terbuka peluang untuk subsidi. Logikanya, kalau kebutuhan medik dan transportasi rakyat diserahkan pada mekanisme pasar, niscaya akan menjadi beban yang berat bagi sebagian besar rakyat Indonesia. BUMN yang lain bisa diprivatisasikan atau dijual. Tentu semua itu tidak sekali jadi, bahkan harus dinamis, sesuai dengan perkembangan waktu.

Mengabdi

Namun, usaha swasta pun juga harus mengabdi pada peningkatan kesejahteraan rakyat, mewujudkan pertumbuhan yang terbagi. Karena itu, bentuk usaha seperti itu, meskipun swasta, dilandasi kepemilikan bersama, bukan perorangan. Bentuknya adalah koperasi. Inilah makna demokrasi ekonomi, di mana alat produksi, proses produksi, dan keuntungannya dapat dinikmati bersama-sama. Pertumbuhan ekonomi akan terbagi sehingga peluang terwujudnya keadilan sosial lebih lebar. Dalam kaitan ini, upaya mengangkat pengusaha menengah dan kecil (medium and small enterprises) adalah keliru kalau tidak diwadahi koperasi. Demikian juga dalam ekonomi kerakyatan, koperasi selayaknya menjadi ciri utama.

Permasalahan pokok mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan sosial adalah, apakah cita-cita itu masih relevan dengan perkembangan zaman, dengan perkembangan globalisasi, keterbukaan yang tidak terelakkan itu? Apakah pendekatan kesejahteraan yang dilandasi "kebersamaan" masih relevan di era globalisasi yang lebih didominasi prinsip "individualisme"? Mampukah "kebersamaan" bersaing di era globalisasi, di era perekonomian yang sangat terbuka? Setidaknya ada beberapa alasan yang mendukung gagasan itu masih relevan.

Pertama, persaingan kolektif (kebersamaan) ternyata memiliki daya saing yang lebih besar dibandingkan dengan perorangan (individualisme). Hal ini ditunjukkan oleh daya saing perekonomian negara-negara Skandinavia dan juga Jepang. Orang Jepang, tulis mantan Duta Besar Jepang di Brasil, Ichiro Kawasaki, secara perorangan tidak efisien. Namun, 20 orang Jepang yang bekerja sama, tidak ada bangsa lain yang mampu menandingi (dari buku Japan, Unmasked).

Kedua, pertumbuhan yang terbagi, yang akan melahirkan keadilan sosial, akan menjamin dunia yang lebih "aman". Sebaliknya, pertumbuhan ekonomi yang tidak terbagi akan melahirkan kesenjangan ekonomi yang semakin lebar, internal dan antar-negara/bangsa, yang bisa mengancam perdamaian dunia.

Pendekatan kesejahteraan, di alam ekonomi pasar yang sangat terbuka itu, dengan tetap menempatkan negara sebagai regulator sekaligus penyelenggara perekonomian secara terbatas, barangkali tepat dinamakan "ekonomi pasar sosial terbuka".

Mewujudkan kesejahteraan rakyat yang berkeadilan sosial, sebagaimana sila kelima Pancasila.

Sulastomo Koordinator Gerakan Jalan Lurus

No comments: