Saturday, August 18, 2007

Di Balik Produk China Cetak E-mail

Oleh: Rita Pawestri

Beberapa waktu yang lalu pemerintah kita mengumumkan adanya kandungan formalin dalam beberapa produk makanan impor dari China.

Sebelumnya,kandungan zat-zat yang berbahaya juga ditemukan dalam produk kosmetik asal China. Dan ternyata produk-produk yang berbahaya tersebut juga ditemukan di negara lain. Bahkan di antaranya menyandang merek internasional. Ada apa dengan produk China?

Kebijakan Reformasi dan Banjir Produk China

Tidak dipungkiri lagi bahwa sejak kebijakan reformasi dan terbukanya China kepada dunia luar dicanangkan pada akhir tahun 1970an, produk China mulai meluas ke seluruh dunia. Orang mulai mengakui dan terbiasa dengan produk-produk made in China.Tentu, ini karena produk China mampu bersaing dengan produk made in negara lain terutama dalam hal harga.

Tapi dari segi kualitas, produk-produk tersebut masih dipertanyakan kualitasnya. Itulah sebabnya negara-negara lain sempat kebakaran jenggot karena maraknya produk China di seluruh dunia. Menurut Kementrian Perdagangan (MOFCOM) pada 2006, nilai ekspor China meningkat sebesar 26,6 persen dari tahun sebelumnya mencapai USD762 juta menjadi USD197,3 miliar. Sejak masuknya China ke WTO tahun 2001 lalu, nilai ekspor China terus meningkat.

Negaranegara lain mengkhawatirkan banjir produk China ini akan menyedot ribuan bahkan jutaan lapangan kerja di negara mereka. Kini produk China membanjiri tokotoko di seluruh dunia, dari mulai peniti, makanan ringan, hingga elektronik. Padahal, tahun 1980-an produk China di Amerika hanya berupa elektronik sederhana seperti setrika. Namun sekarang hampir semua kebutuhan sehari-hari rakyat Amerika disediakan oleh produk China. Bila dibuat joke, dari mulai bangun tidur sampai mau tidur, semua menggunakan produk made in China.

Dampak Globalisasi

Prinsip ekonomi mengajarkan bahwa untuk menghasilkan output tertentu maka diperlukan biaya minimal atau untuk menghasilkan output maksimal maka diperlukan biaya tertentu. Tapi globalisasi sering kali membuat perusahaan berlomba-lomba berlaku ‘kemaruk’ dengan memanfaatkan biaya seminimal mungkin untuk menghasilkan output semaksimal mungkin.

Globalisasi merupakan satu alasan perusahaan-perusahaan asing untuk berlomba-lomba menciptakan produk murah. Di manapun dan bagaimanapun, yang penting proses produksi bisa menghemat biaya produksi. Itulah yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan China. Namun dengan alasan untuk menciptakan biaya produksi yang murah tersebut hingga kadang-kadang segala macam cara ditempuh.

Tidak masalah bagaimana mendapatkan bahan material, baik legal atau ilegal, termasuk mengabaikan keselamatan kerja, atau hal-hal lain yang seharusnya menjadi standar internasional. Selain itu, beberapa hal yang sering dikesampingkan oleh perusahaanperusahaan China antara lain masalah hal kepemilikan intelektual yang tidak dilindungi.

Ekspor produk bajakan ke negara lain telah menyebabkan kerugian yang sangat besar bagi perusahaanperusahaan internasional. Murahnya produk China disebabkan karena upah buruh yang murah, terutama dalam usaha pemrosesan/ manufaktur dan perakitan. Menurut World Development Index 2001, biaya buruh per pekerja di China dalam industri manufaktur periode 1995–1999 adalah 729 dolar AS atau setara dengan seperempatpuluhnya di AS, atau seperlima belasnya di Korea Selatan, atau seperempatnya di Thailand dan bahkan lebih rendah dari upah di India.

Social Responsibility

Social responsibility atau tanggung jawab sosial menjadi isu serius perusahaan-perusahaan di China dalam beberapa tahun terakhir ini.Tanggung jawab sosial dari perusahaan multinasional ini umumnya tercermin dari rantai pemasok. Sayangnya, tidak semua perusahaan multinasional melakukan hal itu setelah masuk pasar China.

Lagi-lagi alasan globalisasi dan mencari keuntungan besar, sebagian dari mereka melakukan hal-hal yang bertentangan dengan tanggung jawab sosial dan standar etik, seperti termasuk isu menyuap atau menyogok, menghindari pajak, perilaku monopolistik, membayar upah di bawah standar, dan menghasilkan produk yang tidak mengikuti standar. Akibatnya beberapa masalah terjadi.

Dalam sebuah buku berjudul “The Story of Made in China” dikemukakan pada Februari 2005 ditemukan produk yang mengandung sudan Red I pada pengusaha makanan terbesar asal Inggris di China. Kurang dari sebulan kemudian ditemukan beberapa barang celupan di produk beberapa perusahaan modal asing di China. Selama pelaksanaan inspeksi rutin yang dilakukan oleh pemerintah, pada Mei 2005 juga ditemukan Iodin dalam susu bubuk bermerek Nestlé yang melebihi standar nasional China.

Pada Juni tahun yang sama, di Shenzhen juga ditemukan pabrik es krim Häagen Dazs yang tidak memenuhi lisensi kesehatan/kebersihan. Menurut laporan sebuah media masa, produsen tersebut berlokasi di sebuah apartemen dengan tiga kamar di mana workshop-nya terletak di dekat toilet dan es krim tersebut dikirimkan ke lima outlet pengecer es Häagen Dazs di kota Shenzhen.

Selain produk makanan,produk tidak standar juga terjadi pada produk elektronik. Masih pada tahun yang sama di bulan Desember, dari tumpukan 30 kamera digital Sony ditemukan enam model yang bermasalah dengan pengaturan tampilan (image) yang tidak tetap serta alat otomatisasi yang tidak standar. Semua model tersebut dinyatakan tidak berkualifikasi oleh pusat inspeksi pengawasan kualitas kamera nasional China (China national camera quality supervision inspection center).

Kamera tersebut adalah DSC-H1 an DSC-L1 yang diproduksi oleh Shanghai Suoguan Electronics Co. Ltd juga bermasalah dengan gambar yang tidak tetap, dan tingkat ketajaman yang tidak berkualitas.Selain itu produk DSDP 200, DSC-W7, DSC-W5 dan DSC-S90 diproduksi oleh Sony Electronics (Wuxi) Co. Ltd juga mempunyai masalah atas gambar yang tidak tetap dan fungsi otomatis yang tidak berkualitas.

Sementara itu di Indonesia,beberapa waktu yang lalu ditemukan jenis obatobatan, jamu dan juga kosmetik buatan China yang mengandung bahan kimia berbahaya.Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) RI menemukan dari beberapa provinsi di Indonesia selama 2005–2006,terdapat 27 produk kosmetik berbahaya. Dengan demikian, paling tidak ada 1.002 item produk kosmetik yang ditarik dari peredaran yang sebagian besar buatan China. Dalam produk-produk tersebut ditemukan kandungan antara lain zat merkuri (Hg), zat warna rhodamin B, dan hidroquinon yang bisa menyebabkan iritasi (luka pada kulit), bahkan kanker.

Sementara itu dalam beberapa hari terakhir juga ditemukan formalin pada beberapa jenis makanan seperti permen, dan manisan buah plum. Jelas sudah bahwa China perlu menstandarkan lebih lanjut kualitas produk yang dibuat oleh perusahaan modal asing dan venture antara perusahaan China dan perusahaan asing. Jika kita tidak mau kecolongan, maka sikap waspada dan bertindak reaktif dan cepat harus dilakukan baik oleh pemerintah.

BPOM dalam hal ini harus meningkatkan pengawasan terhadap berbagai produk China secara ketat. Hal ini mengingat produk made in China sering kali beredar secara ilegal. Jangan sampai gara-gara produk murah, masyarakat harus menanggung biaya pengobatan yang lebih mahal. (*)

Rita Pawestri
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

No comments: