Oleh: Dr. Rainer Adam*
Laporan Bank Dunia yang terbit baru-baru ini ‘Doing Business 2007’ merupakan kabar buruk bagi rakyat Indonesia dan tidak pula menambah poin bagi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Bukan pula berarti bahwa rakyat jelata Indonesia belum tahu soal ini. Bagi mereka, sangat jelas terasa bahwa perekonomian negeri mereka semakin terpuruk. Secara efektif daya beli mereka berkurang dibandingkan tahun lalu. Sebagian merupakan akibat dicabutnya subsidi BBM. Namun selain itu kenaikan harga beras di penghujung musim panas memaksa orang merogoh kocek lebih banyak untuk membeli makanan. Akibatnya uang di kantong mereka berkurang.
Beberapa koran mencoba mempermanis pil pahit tersebut. Media Indonesia, misalnya, melaporkan pada tanggal 7 September diterbitkannya studi di atas dengan judul ‘Indonesia relatif sehat’. Tak perlu diragukan lagi bahwa dibandingkan negara-negara tetangganya perekonomian Indonesia tidak memiliki daya saing. Posisi negara republik kepulauan ini makin merosot dari daftar urutan 175 negara. Sekedar bersikap adil, studi di atas hanya mencakup upaya reformasi hingga Januari 2006. Akibatnya semua langkah perbaikan yang dilakukan sesudahnya tidak diperhitungkan dan oleh sebab itu tidak dimasukkan ke dalam penilaian tersebut. Tetapi, langkah reformasi apa saja kah yang telah dilakukan selama enam bulan terakhir ini? Perubahan Undang-undang Perburuhan, misalnya, - sesuatu yang teramat penting bagi terciptanya lapangan kerja baru dan pengurangan ongkos tenaga kerja – ditunda untuk batas waktu yang tidak ditentukan. Belum lama ini kita mendengar adanya rencana untuk memformulasikan ulang peraturan-peraturan yang ada terkait dengan interpretasi terhadap undang-undang. Suatu gebrakan high-profile untuk membujuk investor asing menanamkan modalnya pada proyek-proyek infrastruktur gagal total. Bahkan investasi asing langsing atau foreign direct investment (FDI) mengalami penurunan 40 persen. Tanda-tanda kesehatan ekonomi seperti apa lagi yang Anda harapkan?
Hanya dalam satu daru sepuluh bidang yang diteliti dalam Doing Business Survey[1] tersebut Indonesia memperlihatkan hasil positif. Proses memulai suatu usaha lebih di permudah dan waktu prosesnya berkurang dari 151 hari menjadi 97 hari saja. Di bidang-bidang lain kemajuan yang dicapai tampak tidak signifikan. Proses memperoleh lisensi, pendaftaran tanah hak milik serta proses penutupan usaha justru malah menjadi lebih mahal. Pemenang tahun ini, yakni negara-negara yang gencar melakukan proses reformasi, adalah: Georgia, Romania, Mexico, China, Peru, Perancis, Kroasia, Guatemala, Ghana dan Tanzania. Kesemua negeri tersebut memperlihatkan kemajuan signifikan paling sedikit dalam tiga bidang penilaian. Pecundangnya dapat dilihat di urutan terbawah daftar tersebut: Republik Demokrasi Congo, Timor-Leste, Guinea Bissau dan Chad. Sedangkan negara-negara yang memperlihatkan reformasi negatif adalah: Palau, Swaziland, Eritrea, Bolivia, Zimbabwe, Belarusia, Venezuela, Sri Lanka dan Uzbekistan.
Penerima manfaat dari langkah reformasi tersebur adalah rakyat di negeri yang melakukan reformasi. Dalam dunia modern yang saling terkait dan mengglobal, yang diam saja akan semakin tertinggal. Inilah yang terjadi dengan Indonesia. Pemerintah-pemerintah lain bersemangat melakukan reformasi demi kepentingan warganya, sementara Indonesia hanya melakukan perubahan yang sangat kecil. Para investor, misalnya, dengan sangat hati-hati mengamati negara mana yang memperlihatkan kecenderungan perubahan tersebut yang menjadikan negerinya menarik untuk relokasi. Sungguh suatu kesalahan jika kita berpikir bahwa ketiadaan investasi asing langsung di Indonesia adalah akibat masalah marketing dan promosi. Meningkatnya upaya-upaya pemerintah serta lobi-lobi yang dilakukannya tidak akan ada gunanya. Pertemuan puncak para pengusaha dan kunjungan-kunjungan promosi akan menjadi tidak ada gunanya apabila perubahan drastis belum dilakukan. Indonesia menderita bukan karena para investor tidak memahami keuntungan yang mungkin akan mereka raup dengan melakukan bisnis di negeri tersebut. Mereka sepenuhnya paham situasi yang ada dan justru itulah sebabnya mereka enggan menghampiri. Indonesia menderita karena di mata kebanyakan investor tidak ada langkah reformasi yang signifikan yang dilakukan Indonesia.
Tetapi kabar buruk yang sebsungguhnya bagi rakyat Indonesia adalah bahwa menurut hasil temuan survey tersebut kesepuluh negara pelaku reformasi ekonomi utama melakukan langkah reformasinya pada 15 bulan pertama sejak dibentuknya suatu pemerintahan baru. Pada Januari 2006, 15 bulan pertama pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono terlampaui, dan hampir tidak ada langkah reformasi yang signifikan terjadi menurut ukuran survey Doing Business. Apabila hal ini hendak diberlakukan pula di Indonesia, rakyat indonesia terpaksa harus menunggu terbentuknya pemerintahan baru setelah pilpres 2009. Itu baru kabar buruk bagi semua orang. Sayangnya, periode legislatif di Indonesia adalah lima tahun; seandainya empat tahun tentu tahun 2007 masih membawa setitik harapan. Paling lambat memasuki awal 2008 anggota koalisi longgar pemerintahan saat ini akan mulai menyibukkan diri dengan persiapan menjelang pemilu berikutnya, yang tak tak terelakkan lagi akan diwarnai dengan pertikaian di tingkat internal partai, sehingga adalah realistis bila kita tidak berharap ada langkah reformasi ekonomi lanjutan.
Presiden Yudhoyono masih memiliki peluang tipis tapi ia harus menunjukkan keberaniannya sekarang juga dan tidak boleh menunggu lagi. Reshuffle kabinet seperti yang dirumorkan saja mungkin tidak cukup untuk menyalakan mesin perekonomian. Indonesia harus mau belajar bersaing lebih dari sekedar menekan ongkos tenaga kerja dan eksploitasi sumberdaya alam saja. Para investor tidak memnginginkan insentif pajak khusus ataupun keistimewaan lainnya. Yang mereka harapkan adalah sistem perpajakan yang sederhana dan adil, transparansi dan prosedur-prosedur yang tidak rumit. Apa yang mesti dilakukan bukanlah merupakan suatu rahasia: lakukan reformasi pada kerangka turan ekonomi; lakukan deregulasi dan penyederhanaan pada undang-undang dan prosedur-prosedur (terkait dengan pengurusan izin-izin, rekrutmen tenaga kerja, dsb.), kurangi bea masuk dan hilangkan hambatan-hambatan perdagangan. Aparat pemerintah pun akan diuntungkan dengan reformasi seperti itu. Aturan yang sederhana dan norma-norma yang jelas akan mengurangi kesempatan pihak administrasi untuk melakukan interpretasi yang semena-mena terhadap peraturan, suatu strategi pencarian rente yang diuntungkan oleh ambiguitas sebagian besar regulasi yang ada saat ini. Langkah ini akan memungkinkan presiden mengurangi korupsi dan pada saat yang bersamaan melakukan reformasi terhadap pegawai negeri, suatu kesempatan menciptakan situasi menang-menang yang mestinya tidak boleh dilewatkan begitu saja oleh pimpinan negara manapun. Satu-satunya yang diperlukan adalah keteguhan hati dan tangan besi untuk memotong semua “potongan daging liar” yang tidak perlu.
*Dr. Rainer Adam adalah Resident Representative Friedrich Naumann Stiftung - Indonesia.
No comments:
Post a Comment