Wednesday, August 22, 2007

EPA dan Habitus Baru Hubungan RI-Jepang

Bambang Wibawarta

Penandatanganan Persetujuan Kemitraan Ekonomi RI-Jepang, 20 Agustus 2007, amat berarti bagi kedua negara.

Di tengah kondisi politik dalam negeri Jepang yang kurang menguntungkan pemerintahan Abe, momen ini diharapkan menjadi pemulih kepercayaan masyarakat. Langkah-langkah simpatik Abe menjadi pelipur masalah dalam negeri, seperti sistem pensiun, skandal anggota kabinet, dan Menhan yang keseleo lidah. Ke dalam, Abe dan beberapa menteri tidak mengambil bonus musim panas tahun ini, sedangkan ke luar, keputusan untuk tidak mengunjungi Kuil Yasukuni mengurangi konflik, khusunya dengan Korea dan China.

Jepang sudah memiliki pengalaman dengan persetujuan kemitraan ekonomi (EPA), dan Indonesia merupakan negara ke-8 bagi Jepang. Sebaliknya bagi Indonesia, hubungan kemitraan ini merupakan pengalaman pertama sehingga Pemerintah Indonesia terlihat amat berhati-hati.

Pengamanan pasokan energi memberi nuansa amat kental bagi Jepang. Dari data statistik tahun 2005, ekspor tertinggi Jepang ke Indonesia (29,6 persen) adalah mesin, sedangkan ekspor terbesar Indonesia ke Jepang terkait energi seperti LNG, minyak mentah, dan batu bara (51,6 persen). Dengan EPA, Indonesia lebih dulu menginformasikan dan mendiskusikan dengan Jepang jika ingin mengeluarkan kebijakan baru terkait masalah energi.

Selain ekonomi, banyak hal yang bisa membuat kedua negara menjalin hubungan erat dan saling membantu dalam menyelesaikan masalah internasional, misalnya penyelesaian Korea Utara dan hubungan Islam-Barat.

Habitus baru dan kendala

Tahun 2008 merupakan tahun ke-50 hubungan diplomatik RI-Jepang. Penandatangan EPA diharapkan menjadi babak baru hubungan RI-Jepang, khususnya di bidang ekonomi. Karena itu, diharapkan tercipta habitus baru, dengan sikap dan mentalitas baru. Alasannya, selama Orde Baru hubungan RI-Jepang banyak diisi basa-basi dan slogan manis di permukaan. Ke depan, Indonesia diharapkan tidak sekadar menjadi pemasok energi dan bahan baku atau sekadar pasar bagi produk Jepang, meski Jepang adalah investor terbesar di Indonesia juga pemberi bantuan terbesar.

Ungkapan PM Fukuda Takeo saat pertemuan puncak Jepang- ASEAN tahun 1977, dengan doktrin heart to heart understanding, secara historis memiliki arti penting dalam merekat hubungan yang sempat renggang, seperti peristiwa Malari. Ungkapan sejenis heart to heart talks pernah diungkap Presiden Soekarno, tahun 1963 (Yomiuri, 27/9/1963). Hubungan kedua negara kini bergesar kepada "kemitraan strategis" yang seharusnya mengedepankan kesetaraan.

Jepang amat berkepentingan dalam jaminan pasokan energi, sedangkan Indonesia mengharapkan investasi lebih besar yang akhir-akhir ini kian menurun, ketenagakerjaan, dan capacity building. Dengan EPA, Indonesia hampir pasti memperpanjang suplai gas ke Jepang yang kontraknya habis 2010 karena jaminan ini menjadi salah satu syarat yang ditetapkan Jepang. Indonesia menjadi penyuplai 24 persen kebutuhan gas Jepang.

Tenaga kerja Indonesia

Dalam hal ketenagakerjaan, Jepang bersedia menerima tenaga perawat Indonesia sesuai standar kualifikasi yang ditetapkan Jepang. Namun, pengiriman perawat bukan hal mudah. Sebelumnya Jepang berpengalaman menerima perawat dari Filipina (2004) dan Thailand (2005). Untuk memenuhi kualifikasi itu tidaklah mudah. Kemampuan bahasa Jepang menjadi persyaratan berat yang harus dipenuhi perawat asing yang akan bekerja di Jepang. Selain itu masalah agama, budaya, peraturan ketenagakerjaan, dan ujian yang tidak mudah bagi orang asing akan menjadi kendala besar. Selain itu adanya isu terorisme dan kejahatan yang dilakukan warga asing seperti sering diberitakan media Jepang menjadi masalah lain.

Rendahnya angka kelahiran dan usia harapan hidup yang amat tinggi memicu munculnya masalah tenaga kerja. Tingginya jumlah lansia di Jepang memberi harapan dalam hal tenaga perawat. Menurut penelitian, jumlah penduduk Jepang akan berkurang 21,8 juta jiwa pada 2050 dan 32 persen dari seluruh jumlah penduduk adalah lansia, yakni yang berusia di atas 65 tahun.

Program magang

Untuk kebutuhan industri khusus, Jepang memberlakukan program magang bagi warga asing. Beberapa kalangan berpendapat jika Jepang mengambil banyak tenaga kerja potensial dari luar negeri, itu akan mengurangi kesempatan bekerja warga Jepang sendiri. Karena itu, tenaga kerja asing khusus ditujukan untuk pekerjaan yang sering disebut jenis "3K", kitsui (kasar), kitanai (kotor), dan kiken (bahaya).

EPA bukan hanya menjual barang. Masalah terpenting, bagaimana agar Jepang menjamin produk Indonesia masuk pasar Jepang seperti Indonesia menjamin pasokan gas alam ke Jepang. Misalnya, membantu Indonesia mencapai standar Jepang yang tinggi, seperti keamanan pangan dan hambatan nontarif lainnya.

EPA harus dijadikan momen penting dan konsistensi pelaksanaannya harus dipelihara. Kemitraan yang setara menjadi tuntutan lazim hubungan RI-Jepang, dan EPA harus dibuktikan bukan sebagai panoptisasi, namun bentuk kemitraan yang dapat saling mengawasi dalam kesetaraan. Diharapkan, EPA bukan seperti membuka kotak pandora tanpa tahu cara menutupnya kembali.

Bambang Wibawarta Direktur Eksekutif Pusat Studi Jepang UI

No comments: