Wednesday, August 15, 2007

Orangnya Itu-Itu Saja


Bila fungsi intermediasi tak kunjung optimal, kambing hitamnya selalu perbankan. Padahal, perbankan punya prinsip universal yang kadang tak bisa dipenuhi dunia usaha. Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk menjembatani keduanya. Berikut pandangan ekonom CIDES Umar Juoro.
-----------

Bagaimana Anda melihat seretnya fungsi intermediasi perbankan?
Sebenarnya intermediasinya sudah jalan. Tapi, memang perbankan lebih selektif dalam memilih alokasi kredit. Mereka lebih menyalurkan pada kredit konsumer, UKM, dan komersial. Sementara kredit investasi untuk korporasi agak susah. Keluarnya besar, jadi butuh pertimbangan yang cermat karena bila macet, masalah yang dihadapi besar juga. Perbankan tidak akan memaksakan hal itu karena hanya berdampak pada peningkatan provisi dan ujung-ujungnya berpotensi memicu kredit macet.

Artinya, risiko kredit investasi di sektor riil masih besar?
Ya. Selain itu, tidak ada pemain baru di sektor riil. Sejak krisis ekonomi 1997 hingga kini, pemainnya masih itu-itu saja. Perbankan sebenarnya sangat aktif mencari nasabah baru. Coba kalau Anda datang pada gathering-nya Bank Mandiri, BNI, atau bank-bank lainnya. Orangnya ya itu-itu saja, berputar-putar, baik UKM-nya maupun pengusaha-pengusaha besarnya. Belum ada peningkatan yang signifikan dalam hal jumlah. Akibatnya, pilihan perbankan juga terbatas. Jadi, di satu sisi ada perusahaan atau perorangan yang kesulitan mendapat pembiayaan, di sisi lain ada yang kebanjiran dana karena sudah dipercaya bank. Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk menciptakan perluasan nasabah dan memperbesar kapasitas mereka yang sudah berhasil. Itu bisa dilakukan dengan peningkatan velocity (kecepatan) peredaran uang.

Bagaimana dengan sektor riil, apa yang harus dilakukan?
Sektor riil sebisa mungkin mendekatkan diri dengan persyaratan yang diajukan bank. Mulai cash flow-nya, ekuitasnya, harus menjangkau persyaratan perbankan. Kalau belum, ya harus konsolidasi terlebih dulu. Perbankan bergerak sesuai prinsip yang universal. Itu tidak bisa diubah-ubah. Jadi harus dipenuhi. Biasanya skimnya 70 berbanding 30. Yang 30 persen dari ekuitas dan 70 persen dari kredit perbankan. Perbankan sendiri juga menyebar risikonya. Mereka masih bergerak di working capital. Jadi pemerintah memang perlu menetapkan prioritas, tidak hanya bermain di sektor regulator tanpa menjadi implementator.

Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan, apakah itu efektif?
Sebenarnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan sektor riil atau proyek yang ada berjalan tuntas. Get things done. Masalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih harus dilihat bagaimana implementasinya. Saat ini, yang diperlukan dunia usaha adalah langkah konkret pemerintah. Contohnya untuk pembangunan jalan tol, problemnya selalu masalah lahan. Bagaimana pemerintah bisa menyelesaikan hal itu. Apakah dengan membawa ke pengadilan seperti di Amerika. Jadi, lahan seluas sekian dengan harga sekian untuk kepentingan pembangunan jalan tol. Atau juga masalah pembangunan pembangkit listrik. Siapa yang mau masuk, kalau investor dari Tiongkok saja minta garansi pemerintah. Menurut saya, tidak bisa hanya menetapkan aturan-aturan dan membiarkan sektor swasta yang melaksanakannya. Pemerintah juga harus turun tangan mengawal kebijakan tersebut. (iwan ungsi)



Bila fungsi intermediasi tak kunjung optimal, kambing hitamnya selalu perbankan. Padahal, perbankan punya prinsip universal yang kadang tak bisa dipenuhi dunia usaha. Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk menjembatani keduanya. Berikut pandangan ekonom CIDES Umar Juoro.
-----------

Bagaimana Anda melihat seretnya fungsi intermediasi perbankan?
Sebenarnya intermediasinya sudah jalan. Tapi, memang perbankan lebih selektif dalam memilih alokasi kredit. Mereka lebih menyalurkan pada kredit konsumer, UKM, dan komersial. Sementara kredit investasi untuk korporasi agak susah. Keluarnya besar, jadi butuh pertimbangan yang cermat karena bila macet, masalah yang dihadapi besar juga. Perbankan tidak akan memaksakan hal itu karena hanya berdampak pada peningkatan provisi dan ujung-ujungnya berpotensi memicu kredit macet.

Artinya, risiko kredit investasi di sektor riil masih besar?
Ya. Selain itu, tidak ada pemain baru di sektor riil. Sejak krisis ekonomi 1997 hingga kini, pemainnya masih itu-itu saja. Perbankan sebenarnya sangat aktif mencari nasabah baru. Coba kalau Anda datang pada gathering-nya Bank Mandiri, BNI, atau bank-bank lainnya. Orangnya ya itu-itu saja, berputar-putar, baik UKM-nya maupun pengusaha-pengusaha besarnya. Belum ada peningkatan yang signifikan dalam hal jumlah. Akibatnya, pilihan perbankan juga terbatas. Jadi, di satu sisi ada perusahaan atau perorangan yang kesulitan mendapat pembiayaan, di sisi lain ada yang kebanjiran dana karena sudah dipercaya bank. Di sinilah pentingnya peran pemerintah untuk menciptakan perluasan nasabah dan memperbesar kapasitas mereka yang sudah berhasil. Itu bisa dilakukan dengan peningkatan velocity (kecepatan) peredaran uang.

Bagaimana dengan sektor riil, apa yang harus dilakukan?
Sektor riil sebisa mungkin mendekatkan diri dengan persyaratan yang diajukan bank. Mulai cash flow-nya, ekuitasnya, harus menjangkau persyaratan perbankan. Kalau belum, ya harus konsolidasi terlebih dulu. Perbankan bergerak sesuai prinsip yang universal. Itu tidak bisa diubah-ubah. Jadi harus dipenuhi. Biasanya skimnya 70 berbanding 30. Yang 30 persen dari ekuitas dan 70 persen dari kredit perbankan. Perbankan sendiri juga menyebar risikonya. Mereka masih bergerak di working capital. Jadi pemerintah memang perlu menetapkan prioritas, tidak hanya bermain di sektor regulator tanpa menjadi implementator.

Pemerintah sudah mengeluarkan paket kebijakan, apakah itu efektif?
Sebenarnya yang perlu dilakukan pemerintah adalah memastikan sektor riil atau proyek yang ada berjalan tuntas. Get things done. Masalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah masih harus dilihat bagaimana implementasinya. Saat ini, yang diperlukan dunia usaha adalah langkah konkret pemerintah. Contohnya untuk pembangunan jalan tol, problemnya selalu masalah lahan. Bagaimana pemerintah bisa menyelesaikan hal itu. Apakah dengan membawa ke pengadilan seperti di Amerika. Jadi, lahan seluas sekian dengan harga sekian untuk kepentingan pembangunan jalan tol. Atau juga masalah pembangunan pembangkit listrik. Siapa yang mau masuk, kalau investor dari Tiongkok saja minta garansi pemerintah. Menurut saya, tidak bisa hanya menetapkan aturan-aturan dan membiarkan sektor swasta yang melaksanakannya. Pemerintah juga harus turun tangan mengawal kebijakan tersebut. (iwan ungsi)

No comments: