Erisa Habsjah
Industri perusahaan pembiayaan Indonesia setahun belakangan ini diwarnai persaingan ketat sesama perusahaan pembiayaan maupun dengan perbankan. Persaingan memicu longgarnya persyaratan kredit— termasuk pembebasan uang muka—dan kemungkinan penurunan sikap kehati-hatian dalam seleksi calon debitor.
Jika kondisi ini berlanjut, tidak mustahil krisis utang serupa subprime mortgage di Amerika Serikat terjadi pula di sini.
Berdasarkan data Bank Indonesia, pertumbuhan piutang pembiayaan secara total mencapai Rp 92,7 triliun pada 2006, atau meningkat rata-rata 21 persen per tahun sejak 2000.
Pada bulan Juni 2007, total piutang pembiayaan mencapai Rp 98 triliun, meningkat 44 persen dari nilai piutang pembiayaan untuk periode yang sama tahun sebelumnya.
Tahun 2000, jumlah perusahaan pembiayaan 245. Krisis ekonomi mendorong terjadinya seleksi alamiah. Sampai Juni 2007, tinggal 194 perusahaan pembiayaan yang aktif dan melapor ke BI secara on-line.
Peraturan dan pengawasan pemerintah yang semakin ketat ikut pula menyeleksi perusahaan. Pada tahun 2006, Departemen Keuangan membekukan kegiatan usaha 22 perusahaan yang tidak mengikuti ketentuan.
Tingkat kesehatan industri ini pun tampak semakin baik. Salah satu indikator utamanya adalah kualitas aset karena aset yang baik menyediakan sumber pendapatan dan arus kas yang berkesinambungan.
Perbaikan signifikan tercermin dalam kenaikan rasio aset lancar terhadap total aset produktif hingga 97 persen pada tahun 2005 dibandingkan 71 persen pada 2000.
Melonjaknya suku bunga pada akhir 2005 yang menyebabkan menurunnya daya beli masyarakat diduga terjadi peningkatan kredit bermasalah tahun 2006. Indikatornya, penurunan proporsi aset lancar perusahaan pembiayaan menjadi 96 persen di Juni 2006 dan proporsi kredit macet meningkat menjadi 3 persen pada periode tersebut.
Namun, mengacu pada laporan keuangan beberapa perusahaan pembiayaan, dengan menurunnya tingkat suku bunga, kualitas aset mulai pulih, ditandai tren penurunan kredit macet selama semester I-2007.
Peran regulator
Perbaikan kualitas aset tidak terlepas dari peran Depkeu maupun BI yang bahu-membahu menyehatkan sektor perbankan dan pembiayaan.
Sejauh ini penyediaan dana dari bank memang masih mendominasi sumber pendanaan perusahaan pembiayaan. Mengacu data BI per Mei 2007, pinjaman dari bank mencapai 50 persen. Penerbitan obligasi 11 persen, sisanya pendanaan dari modal dan pinjaman lainnya.
Karena bank memegang peran penting dalam pendanaan perusahaan pembiayaan, maka ketentuan yang mengatur perusahaan pembiayaan tidak bisa dipisahkan dari peraturan perbankan.
Salah satu ketentuan perbankan yang mengatur perusahaan pembiayaan adalah penilaian kualitas aset bank dan anak perusahaannya (termasuk perusahaan pembiayaan afiliasi) yang tertuang dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/6/2006.
Dalam ketentuan ini, bank wajib melakukan penilaian kualitas aset dan membentuk provisi untuk seluruh aset anak perusahaan minimal sesuai dengan ketentuan BI yang berlaku.
Saat ini, beberapa perusahaan pembiayaan dimiliki bank sehingga penilaian aset dan provisinya diharuskan mengikuti peraturan perbankan. Kriteria penilaian aktiva dan provisi yang berbeda antara peraturan perbankan dan yang sebelumnya diadopsi menyebabkan adanya penyesuaian kebijakan provisi oleh beberapa perusahaan pembiayaan belakangan ini.
Walaupun kebijakan provisi perbankan ini menyebabkan laba beberapa perusahaan pembiayaan tergerus untuk jangka pendek, namun untuk jangka panjang kebijakan ini diharapkan mendorong pertumbuhan industri pembiayaan menjadi lebih sehat.
Selain itu, untuk mendukung fungsi pengawasan, BI mengimplementasikan program Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang merupakan kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh dan memberikan arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan dalam beberapa tahun ke depan.
Salah satu pilar API adalah pengembangan infrastruktur perbankan yang meliputi pengembangan sistem informasi debitor (SID). Bukan hanya debitor bank, tetapi juga debitor lembaga keuangan non-bank.
Dalam kaitan itu, BI mengharuskan perusahaan pembiayaan yang terafiliasi dengan bank atau yang penyaluran kreditnya melalui metode penerusan (channeling) untuk melaporkan informasi debitornya kepada BI.
Sentralisasi data debitor mempermudah pengawasan BI terhadap bank dan debitornya sehingga kualitas aset dapat ditingkatkan dan kredit macet dapat dihindari.
Prinsip ini kemudian dituangkan oleh BI dalam PBI No 7/3/2005 dan perubahannya dalam PBI No 8/13/2006. Intinya, mendorong bank menerapkan sistem mirroring dengan perusahaan pembiayaan terkait atau yang pemberian kreditnya dilakukan dengan channeling kepada nasabah (end-user).
Sistem "mirroring"
Sistem mirroring adalah penyamaan catatan pembukuan antara perusahaan pembiayaan dan bank pemilik perusahaan bersangkutan. Sistem ini membuat perusahaan pembiayaan melakukan pembukuan secara online dengan bank untuk kemudian dilaporkan ke BI secara bulanan sehingga BI dapat mengawasi kinerja bank sekaligus perusahaan pembiayaan dan nasabahnya (end user).
Sistem ini juga bertujuan agar pengurus bank secara tepat waktu dapat mengidentifikasi penyaluran kredit kepada perusahaan pembiayaan.
Data penyediaan dana yang akurat dan tepat waktu sangat dibutuhkan dalam penentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan penghitungan risiko kredit yang ditanggung bank akibat dari penyediaan dana melalui channeling.
Dalam sistem channeling, risiko penyaluran kredit menjadi tanggungan bank sehingga debitor perusahaan pembiayaan otomatis menjadi debitor bank. Sistem mirroring memungkinkan BI dapat mengawasi penyaluran dana kepada debitor perusahaan pembiayaan, khususnya yang melalui metode channeling.
Sistem mirroring pada akhirnya mendukung pengembangan SID. Dengan adanya SID, sejarah kredit debitor dapat ditelusuri sehingga kemungkinan debitor lolos dari pengawasan BI dan kreditor semakin kecil. Hal ini otomatis akan membantu menurunkan tingkat NPL dan meningkatkan kualitas aset.
Pelaksanaan sistem mirroring tentu saja tidak mudah karena membutuhkan infrastruktur teknologi informasi yang tak sederhana dan waktu persiapan dan penyesuaian yang tidak singkat.
Selain itu, definisi sistem mirroring belum terlampau jelas, apakah harus benar-benar real time atau masih memperbolehkan adanya lag-time.
Terlepas dari kesulitan pengimplementasian sistem mirroring, peraturan ini semestinya berdampak positif pada industri pembiayaan dan sektor keuangan pada umumnya karena akan mendorong penerapan prinsip kehati-hatian dan transparansi.
Dengan sistem ini debitor yang melalaikan kewajibannya dapat diminimalisasi karena data debitor yang terpusat di BI dapat digunakan untuk menyeleksi calon debitor perusahaan pembiayaan.
Dengan penjelasan di atas, terdapat paling tidak tiga faktor pendukung optimisme industri pembiayaan Indonesia. Pertama, prospek industri pembiayaan masih menjanjikan, sejalan percepatan pertumbuhan ekonomi beberapa tahun mendatang. Kedua, secara alamiah kualitas aset industri ini membaik. Ketiga, regulator aktif membangun kerangka pengawasan yang lebih baik dan efektif.
Erisa Habsjah Analis Surat Hutang- Danareksa Sekuritas
No comments:
Post a Comment