Wednesday, March 5, 2008

10 Krisis Ekonomi (2)

PERINGATAN YANG DIABAIKAN

Sebelum krisis ekonomi menimpa Indonesia, ECONIT adalah satu-satunya lembaga yang menilai pada November 1996 bahwa ekonomi Indonesia berpotensi mengalami krisis[4]. Lembaga lain seperti Bank Dunia, IMF, International Investment Bank, dll tidak memperkirakan hal tersebut dan malah menyimpulkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangat kuat. Bank Indonesia bahkan secara tegas membantah penilaian ECONIT tersebut.

Dalam Economic Outlook 1996 yang diterbitkan bulan November 1995, ECONIT menyatakan bahwa pembengkakan defisit transaksi berjalan yang mencapai lebih dari dua kali lipat, dari US$ 3,1 miliar pada tahun 1994 menjadi US$ 7,2 miliar pada tahun 1995 merupakan kondisi yang sangat volatile dan merupakan “awan mendung” bagi ekonomi Indonesia. Bayangan “awan mendung” tersebut terutama karena ancaman spekulasi (speculative attack) yang mencari negara-negara yang memiliki struktur ekonomi lemah seperti defisit transaksi berjalan yang besar.

Saat itu diperingatkan bahwa ada tiga karakteristik utama negara yang akan menjadi target spekulasi antara lain: (1) Kurs mata uang yang overvalued, padahal defisit transaksi berjalan sangat besar, (2) Lembaga Keuangan termasuk perbankan yang lemah, (3) Selisih tingkat bunga dalam negeri dan luar negeri yang tinggi. Empat negara ASEAN yaitu Thailand, Indonesia, Filipina dan Malaysia memenuhi ketiga kriteria tersebut, sehingga perlu diambil langkah-langkah antisipatif.

Untuk mengurangi defisit transaksi berjalan dan mengurangi over-valuation rupiah, ECONIT Advisory Group pada akhir November 1995 juga menyarankan agar Bank Indonesia melakukan langkah preemptive terhadap para spekulan dengan melakukan percepatan depresiasi rupiah minimum sebesar 16 persen pada tahun 1996. Sudah tentu langkah-langkah untuk mengurangi over-valuation rupiah tersebut harus dilakukan secara bertahap (gradual) sehingga tidak akan memicu spekulasi berlebihan terhadap mata uang rupiah. Namun saran tersebut diabaikan dan kebijakan yang diambil justru sebaliknya, memperlambat depresiasi rupiah (3.6 persen) pada akhir tahun 1996. Dengan kata lain, kebijakan tersebut semakin memperbesar over-valuation rupiah sehingga ekonomi Indonesia semakin vulnerable.

Peringatan berikutnya diungkapkan dalam Economic Outlook 1997 yang diterbitkan pada tanggal 5 November 1996. ECONIT secara umum menyimpulkan bahwa tahun 1997 adalah Tahun Ketidakpastiaan (A Year of Uncertainty) untuk ekonomi dan corporate sector Indonesia. Disebut “Tahun Ketidakpastian” karena banyak sekali ketidakpastian terhadap berbagai aspek politik dan ekonomi yang mempunyai dampak terhadap kinerja ekonomi Indonesia. Penilaian ECONIT tersebut sangat berbeda dengan assessment IMF, Bank Dunia (Juli 1997) dan investment banks yang masih terus super optimis terhadap perkiraan ekonomi Indonesia tahun 1997.

Sesuai dengan perkiraan tersebut, ECONIT menganjurkan agar sektor swasta melanjutkan konsolidasi usaha dan memperkuat struktur permodalan sehingga dapat mengurangi over-leverage yang berlebihan. Konsolidasi usaha dan penguatan struktur modal sangat diperlukan sebagai antisipasi terhadap berbagai kemungkinan ketidakpastian pada tahun 1997. Pelaku usaha yang mengurangi leverage dengan memperkuat struktur permodalan diperkirakan jauh lebih tahan terhadap gejolak moneter.

Sayangnya, berbagai peringatan tersebut diabaikan. Kekhawatiran ECONIT terhadap “awan mendung” pada tahun 1995 benar-benar berubah menjadi krisis moneter pada awal bulan Agustus tahun 1997. Pada tahun 1998, “awan mendung” malahan telah menghasilkan “hujan batu” yang dampaknya harus ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia.


RESPON KEBIJAKAN SEMAKIN MEMPERPARAH KEADAAN

Krisis mata uang akhirnya memang menjadi sulit untuk dihindari. Sampai bulan Agustus 1997, rupiah telah mengalami depresiasi sekitar 18 persen. Sayangnya, depresiasi nilai tukar rupiah tersebut disambut otoritas moneter dengan panik. Bank Indonesia yang kala itu dipimpin oleh J. Soedradjad Djiwandono justru menerapkan Kebijakan Uang Super Ketat. Dalam Economic Outlook 1998, yang diterbitkan 5 November 1997, ECONIT menyebutnya sebagai “Gebukan KUSUT 97” yang akan menimbulkan krisis baru yang lebih latent dan berbahaya, yaitu krisis likuiditas. Krisis likuiditas sangat jauh lebih berbahaya karena memiliki dampak yang lebih fatal dan lebih luas ke seluruh lapisan masyarakat ketimbang krisis mata uang.

Langkah panik otoritas moneter tersebut semakin memperburuk persepsi pasar terhadap Rupiah. Padahal dalam suasana krisis, faktor psikologis jauh lebih berperan ketimbang faktor-faktor fundamental dalam penentuan kurs mata uang. Dampak dari “Gebukan KUSUT 1997” lebih dahsyat dari “Gebrakan Sumarlin II” tahun 1991 karena Gebrakan Sumarlin hanya mengatur kuantitas pasok uang (fixing the quantity of money) dan membiarkan tingkat bunga menentukan harganya sendiri. Tetapi Gebukan KUSUT 1997 mengatur tiga hal sekaligus, yaitu: mengatur kuantitas pasok uang, menentukan harga uang, dan alokasi siapa yang mendapatkannya (fixing the quantity, prices and distribution of money). Dampak blunder dari triple-fixes seperti itu sungguh berbahaya, seperti yang terjadi pada semester II/1997.

Adalah tidak aneh, jika kemudian rupiah sempat anjlok ke titik terendah pada sesi pagi tanggal 6 Oktober 1997 (Rp 4.000 per US$) yang mencerminkan persepsi negatif pasar terhadap langkah-langkah otoritas moneter. Kurs rupiah yang anjlok terlalu jauh tersebut (over-shoot) merupakan indikasi ketidakpercayaan atau vote of no-confidence terhadap kebijakan-kebijakan moneter yang telah dilakukan.

Bank Dunia, bahkan pemerintah sendiri, menyebut bahwa krisis tersebut sebagai ”krisis kepercayaan". Tetapi sebenarnya penilaian tersebut sebenarnya salah kaprah dan self-destructive karena mengatasi krisis kepercayaan lebih sulit daripada mengatasi krisis finansial atau krisis cash-flow. Krisis finansial bisa cepat diatasi dengan meminjam uang, tetapi krisis kepercayaan belum tentu dapat diatasi dengan meminjam uang. Itu hanya bisa diatasi dengan credible policy-makers dan credible policies. Disitulah pokok masalahnya.

Yang menarik, 10 tahun kemudian J. Soedradjad Djiwandono (Gubernur Bank Indonesia periode 1993-1998) mengakui bahwa kebijakan moneter pada saat itu sebenarnya berlebihan (excessively tight)[5]. Dalam wawancara dengan Majalah InfoBank pertengahan tahun 2007, Djiwandono menyatakan bahwa “pengetatan moneter pada minggu ketiga dan keempat Agustus 1997 memang terlalu berlebihan” (lihat box).

<<>>

No comments: