Wednesday, March 5, 2008

Mafia Berkeley : Kegagalan Indonesia Menjadi Negara Besar di Asia (2)



Modus Operandi Mafia Berkeley

Modus operandi utama dari Mafia Berkeley adalah mengabdi kepada kekuasaan apapun konsekuensinya, tidak penting apakah pemerintahan tersebut otoriter, pelanggar hak asasi manusia, ataupun penuh KKN. Tidak ada sikap etis dan moral untuk menolak tawaran jabatan dari pemerintahan yang melanggar prinsip-prinsip demokratis dan keadilan. Dalam banyak kasus, Mafia Berkeley justru menjadi corong public relations di berbagai forum dan media untuk memperlunak dan mempermanis image pemerintahan otoriter dan represif.

Efektifitas media relations Mafia Berkeley terutama dilakukan dengan memberikan akses khusus, dalam bentuk bocoran informasi dan dokumen-dokumen rahasia kepada satu media harian dan satu media mingguan terkemuka. Diskriminasi akses informasi tersebut merupakan tindakan tidak fair dalam kompetisi pers di Indonesia. Kedua media tersebut memilik pandangan yang sangat liberal dalam bidang politik dan sosial, tetapi sangat konservatif dalam bidang ekonomi: bagaikan partai Demokrat di Amerika dalam bidang politik dan sosial, tetapi bagaikan partai Konservatif di Amerika dalam bidang ekonomi.

Pola rekruitmen Mafia Berkeley dilakukan dengan mengandalkan prinsip utama loyalitas dan feodalisme, diatas kriteria profesionalisme. Dengan prinsip utama tersebut, kepatuhan dan loyalitas anggota, murid dan cucu-murid Mafia Berkeley dapat terus dipertahankan. Kaderisasi kemudian dilanjutkan dengan memberikan kesempatan akademis di Amerika sehingga terjadi sinkronisasi dan kesamaan cara berpikir. Patut dicatat bahwa karakter anggota dan murid-murid Mafia Berkeley sangat berbeda dengan generasi pejuang kemerdekaan Indonesia seperti Hatta, Syahrir, Ali Sostroamidjojo dkk. yang semangat nasionalismenya justru semakin kuat ketika mendapat kesempatan belajar di luar negeri. Mereka juga menarik pelajaran dari sisi positif kehidupan politik dan sosial Barat dan sekaligus memahami ekses negatif dari sistem kapitalisme Barat. Sangat berbeda dengan Hatta dkk, kader-kader Mafia Berkeley yang memang “diprogram” untuk menjadi alat kepentingan global justru semakin melecehkan arti penting semangat nasionalisme dan kemandirian. Kader-kader Mafia Berkeley ini kemudian diberikan kesempatan untuk menjadi Ketua Depertemen, Dekan, ketua lembaga penelitian ekonomi, dsb. Penunjukan jabatan struktural akademis tersebut biasanya diberikan kepada kader yang lebih loyal dan patuh, dan bukan yang paling mampu secara akademik ataupun profesional. Sebagai kompensasi loyalitas, kader-kader Mafia direkayasa untuk menjadi komisaris BUMN-BUMN, walaupun terbukti kinerja BUMN selama nyaris 40 tahun dibawah pengaruh Mafia Berkeley tidak pernah menunjukkan kinerja yang menonjol. Di samping itu para kader diberikan berbagai bonus dalam bentuk perjalanan ke luar negeri, keanggotaan di berbagai komite dengan kompensasi finansial. Dengan struktur dan skala pendapatan yang berkali lipat lebih tinggi dari pegawai negeri dan ABRI, kader Mafia Berkeley merasa dirinya sangat elitis sehingga tidak memiliki empati terhadap nasib pegawai-negeri, ABRI, dan rakyat biasa.

Lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol dan menjadi instrumen Mafia Berkeley dikelola dengan prinsip loyalitas, feodalisme dan kepatuhan. Sumber pembiayaan utama dari lembaga-lembaga yang dikontrol Mafia Berkeley terutama berasal dari hibah dari IMF, Bank Dunia, USAID dan lembaga-lembaga kreditor internasional lainnya. Tidak aneh jika hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan yang dikeluarkan oleh lembaga penelitian dan akademik tersebut, biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia dan policy papers USAID. Inilah salah satu mekanisme sosialisasi publik dari rekomendasi dan kebijakan Washington Konsensus/IMF-Bank Dunia. Elit politik dan masyarakat awam sering terkecoh karena diberikan kesan bahwa hasil penelitian tersebut sekan-akan independen dan netral.

Untuk memperkuat images di dalam maupun di luar negeri, Mafia Berkeley melalui lembaga-lembaga yang dikontrolnya, termasuk Departemen Teknis, biasanya memperkerjakan banyak konsultan asing yang dibiayai anggaran non-budgeter atau pinjaman/hibah dari IMF, Bank Dunia dan USAID. Para konsultan ini kemudian menjadi mesin public relation yang terus-menerus memuji kehebatan Mafia Berkeley dalam bentuk penulisan buku, artikel maupun wawancara di media massa. Inilah yang menjelaskan mengapa Mafia Berkeley mampu bertahan dan mengendalikan kebijakan ekonomi Indonesia selama hampir 40 tahun, meskipun kebijakan Mafia Berkeley telah menyebabkan krisis ekonomi paling buruk sepanjang sejarah Indonesia, ketimpangan distribusi pendapatan yang sangat besar, serta sektor finansial dan struktur industri yang sangat rapuh. Biasanya pemimpin politik negara yang kurang paham dengan modus operandi Mafia Berkeley, sering terpengaruh oleh opini-opini “bayaran” seperti itu, yang kemudian biasanya dikutip ulang oleh media harian dan mingguan yang merupakan kolaborator Mafia Berkeley. Mesin public relation Mafia Berkeley menciptakan propaganda, media yang menjadi kolaborator Mafia Berkeley kemudian mempublikasikannya, lembaga riset domestik dan konsultan asing mengamininya dan pemimpin politik pun akhirnya ikut terpengaruh.

Jika ada kebijakan Presiden atau menteri lainnya, yang bukan anggota Mafia Berkeley, yang menyimpang dari arahan Washington Konsensus/IMF–Bank Dunia, USAID, anggota-anggota Mafia dengan cepat melaporkan kepada perwakilan IMF–Bank Dunia, USAID untuk dikritik di laporan-laporan resmi lembaga-lembaga kreditor. Kritik-kritik tersebut kemudian dipublikasikan di kedua media kolaborator dalam negeri. Untuk menjaga agar arah strategis kebijakan ekonomi Indonesia sejalan dengan arahan IMF–Bank Dunia-USAID, Mafia Berkeley menyepakati penyusunan undang-undang atau peraturan pemerintah dikaitkan dengan pinjaman utang luar negeri. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia dijamin menjadi sub-ordinasi kepentingan global sehingga berbagai potensi Indonesia untuk menjadi negara besar di Asia tidak akan pernah terealisasikan. Mekanisme mengaitkan utang luar negeri dengan penyusunan Undang-undang dan Peraturan Pemerintah juga memungkinkan adanya intervensi kepentingan global terhadap kedaulatan ekonomi dan politik Indonesia.

Menjadi pertanyaan apakah Mafia Berkeley masih relevan dengan tantangan yang dihadapi Indonesa saat ini? Sampai saat ini murid dan cucu murid Mafia Berkeley masih terus menjejali Indonesia dengan kebijakan Neoliberal ala Washington Consensus. Padahal perlu dicatat bahwa dalam satu dekade terakhir, Bank Dunia dan IMF –yang merupakan “Tuan” dari kebijakan ekonomi neoliberal— telah mengakui berbagai kesalahannya dan telah melakukan sejumlah koreksi terhadap kebijakan mereka selama ini. Dalam berbagai kesempatan, Bank Dunia dan IMF menyatakan bahwa liberalisasi keuangan yang terlalu cepat telah meningkatkan kemungkinan suatu negara terkena krisis. Dalam publikasi terakhir Bank Dunia tentang ekonomi Asia Timur (An East Asian Renaissance: Ideas for Growth, 2007), Bank Dunia juga mengakui bahwa pemerintah harus mengambil suatu tindakan untuk mengoreksi ketidaksempurnaan pasar, terutama dengan berupaya meningkatkan skala industri domestik. Dengan kata lain, menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar dianggap bukan lagi merupakan pendekatan yang tepat dalam kebijakan ekonomi. Namun Mafia Berkeley dan kroninya masih terus saja menggunakan pemahaman atau semboyan lama bahwa kegagalan pemerintah lebih buruk daripada kegagalan pasar, dan dengan menyerahkan semuanya kepada mekanisme pasar, mereka juga seakan-akan telah melindungi negara dari kepentingan dan intervensi pihak-pihak tertentu. Padahal fakta sesungguhnya adalah Mafia Berkeley merupakan representasi dari kepentingan ekonomi dan finansial “Tuan” mereka di Washington.

Selain itu, kemungkinan keberhasilan murid dan cucu murid Mafia Berkeley untuk membawa Indonesia mengejar ketertinggalan dari negara Asia lainnya, juga sangat kecil karena modus operandi Mafia yang berlandaskan prinsip subordinasi dan kepatuhan global, sangat tidak cocok dengan iklim Indonesia yang demokratis pasca kejatuhan Soeharto. Mayoritas murid dan cucu-murid Mafia Berkeley juga tidak memiliki kemampuan leadership dan implementasi yang tangguh karena terbiasa didukung oleh kekuatan otoriter dan perlindungan terus-menerus dari kekuatan global. Padahal tantangan utama kebijakan ekonomi di era demokratis ini adalah leadership yang kuat dan kemampuan persuasi berlandaskan fakta. Pemimpin dituntut mampu mendemonstrasikan kepada rakyat dan DPR bahwa pilihan kebijakan ekonomi benar-benar memiliki keberpihakan kepada rakyat dan kepentingan nasional, bukan lagi dengan metode paksaan melalui penerapan berbagai peraturan layaknya era otoriter.

Jakarta, 6 Juni 2006

* ) Mantan Menteri Perekonomian

No comments: