Tuesday, March 18, 2008

Skandal BLBI (2)

Batu Sandungan Pemulihan Ekonomi
Selasa, 18 Maret 2008 | 00:17 WIB

tjahja gunawan diredja

Kasus dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia sudah melebar ke mana-mana. Sekarang kasus ini tidak hanya menyangkut masalah ekonomi, tetapi sudah menjadi persoalan politik dan hukum.

Semula persoalan hukum kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) akan dicoba diselesaikan oleh Kejaksaan Agung, tetapi yang terjadi justru menimbulkan masalah hukum baru setelah jaksa Urip Tri Gunawan tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima uang Artalyta Suryani, kerabat pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim.

Saat ini ada kecenderungan kasus BLBI dijadikan sebagai amunisi untuk mendelegitimasi pemegang kekuasaan dan sekaligus sebagai senjata untuk ”menodong” para konglo- merat hitam penerima dana BLBI.

Jika dicermati, penyelesaian kasus ini bukan makin terang, melainkan justru sebaliknya malah bertambah ruwet.

Sangat boleh jadi kasus ini sengaja tidak segera diselesaikan hingga tuntas, tetapi justru dibiarkan menggantung dan suram agar bisa dijadikan ”ATM Bersama” oleh para kelompok kepentingan.

Sementara penafsiran dan pemahaman masyarakat terhadap kasus ini juga beragam, bahkan sebagian ada yang salah kaprah.

Di lingkungan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun masih ada yang tidak bisa membedakan antara program Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan kasus BLBI. Program pemerintah Orde Baru, seperti pemberian kredit usaha tani (KUT) dan program pembangunan Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana (RS/RSS), yang didanai melalui KLBI, pengertian dan pemahamannya disamakan dengan penyaluran dan penggunaan dana BLBI.

Dirancang bersama IMF

BLBI merupakan program BI yang dirancang Pemerintah Indonesia bersama Dana Moneter Internasional (IMF) sebagai tertuang dalam Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP) untuk membantu bank- bank swasta nasional dalam mendapatkan dana likuiditas pada saat krisis moneter menimpa Indonesia sepuluh tahun lalu.

Namun, dana BLBI itu telah disalahgunakan oleh para pemilik bank swasta sehingga merugikan keuangan negara hingga lebih dari Rp 100 triliun. Dana BLBI untuk pertama kalinya disalurkan BI sebesar Rp 23 triliun setelah pemerintah melikuidasi 16 bank umum swasta nasional pada 1 November 2007. Keputusan untuk melikuidasi 16 bank tersebut karena bank-bank itu rekening gironya di BI bersaldo negatif sehingga terpaksa ditutup.

Kinerja bank waktu itu menurun, antara lain juga dipicu oleh penurunan nilai tukar rupiah yang sangat tajam terhadap dollar AS. Pada saat Indonesia dihantam krisis moneter pada pertengahan tahun 1997, kurs mata uang rupiah tidak lagi dikendalikan BI, tetapi diserahkan pada mekanisme pasar.

Drama persoalan BLBI mulai seru setelah pada Desember 1997 atau sebulan setelah keputusan pemerintah melikuidasi 16 bank swasta terjadi kebakaran di Gedung A Bank Indonesia. Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) menduga ada unsur kesengajaan di situ. Ceritanya menjadi seru karena di Gedung BI yang terbakar itu terdapat sebagian besar dokumen dari 16 bank yang dilikuidasi (BDL).

Setelah keputusan likuidasi itu, banyak dokumen bank yang tercecer. Setelah ditutup, baru dokumen 16 bank itu diurusi oleh Tim Likuidasi yang dibentuk BI dan beranggotakan wakil dari masing-masing bank yang bersangkutan. Karena tugasnya, BI kemudian membawa sebagian dokumen itu untuk disimpan di BI sampai akhirnya terbakar.

Pascalikuidasi, dana BLBI terus dikeluarkan oleh BI karena adanya rush terhadap sejumlah bank menyusul menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap bank-bank nasional pada waktu itu. Penarikan uang secara besar-besaran diduga juga dilakukan sendiri oleh para pengusaha yang juga pemilik bank agar BI bisa mengucurkan dana BLBI.

Potensi kerugian negara

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mencatat, total dana BLBI yang dikucurkan BI kepada 48 bank sebesar Rp 144,5 triliun. Berdasarkan hasil audit investigasi BPK, ditemukan adanya penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI tersebut.

BPK menghitungkan potensi kerugian negara akibat penyimpangan tersebut sebesar Rp 138,4 triliun atau 95,78 persen dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun. Oleh pemilik bank, dana BLBI tersebut digunakan untuk membayar dan melunasi modal pinjaman/pinjaman subordinasi.

BLBI juga dipakai untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait dan digunakan untuk transaksi surat berharga. Selain itu, dana BLBI juga digunakan untuk membiayai overhead bank umum dan dipakai untuk membiayai kontrak derivatif baru.

Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri Kwik Kian Gie dalam keterangan tertulisnya menyatakan bahwa kasus BLBI sebenarnya sudah berakhir, yakni ketika BLBI yang merupakan utang dari pemilik bank sudah dibayar oleh pemilik bank itu dengan kepemilikan banknya yang diberikan kepada pemerintah.

Kerugian lebih besar terjadi ketika bank eks milik swasta yang kini menjadi milik pemerintah itu ternyata memberikan kredit kepada pemiliknya saat masih dimiliki mereka. ”Utang ini dibayar dengan aset perusahaan. Ketika diterima, pemerintah menerimanya sebagai pembayaran lunas dengan nilai yang jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil penjualan yang diperoleh ketika menjualnya. Ini tidak ada hubungannya dengan BLBI,” ujar Kwik.

Menurut dia, kerugian lebih besar adalah bank yang menjadi milik pemerintah dinilai tidak sehat dalam bentuk kekurangan capital adequacy ratio (CAR) atau rasio modal dengan aset tertimbang menurut risiko (ATMR), menurut IMF yang mendasarkan diri pada Bank for International Settlement (BIS).

”Untuk menyehatkannya disuntik dengan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (Obligasi Rekap/OR) yang jumlahnya sangat besar, Rp 430 triliun. Beban bunga dari surat utang itu Rp 600 triliun. Lantas, bank ini dijual dengan harga murah. Pembelinya langsung menjual OR kepada publik,” kata Kwik Kian Gie.

Saat ini pemerintah berupaya mencari jalan agar tunggakan BLBI dari para pemegang saham bank eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang sudah berada di luar negeri dapat dilunasi segera. Ini dilakukan untuk memaksimalkan tagihan terhadap delapan pemegang saham yang sedang diproses pemerintah saat ini.

Pengejaran itu dilakukan karena nilai tunggakan yang sudah dijamin aset sitaan Departemen Keuangan jauh lebih kecil ketimbang tagihan yang sudah dibayar secara tunai atau dengan aset. Jika nilai aset yang dijaminkan para obligor masih lebih rendah dari tunggakannya, pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan, akan meminta mereka menyerahkan aset lagi.

”Untuk obligor seperti Omar Putihrai tergolong mudah karena asetnya sudah ada di tangan kami. Namun, yang tergolong berat (penagihannya) adalah Agus Anwar dan Marimutu Sinivasan,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sesudah menghadiri Rapat Koordinasi tentang Persiapan Jawaban Presiden atas Hak Interpelasi DPR mengenai penyelesaian BLBI, Jumat (8/2). Interpelasi DPR digelar pada 12 Februari 2008.

Penagihan terhadap Agus dan Sinivasan tergolong berat karena antara aset yang sudah diserahkan kepada Depkeu dan jumlah tagihannya masih berselisih amat besar. Namun, sambil menunggu proses penagihan itu, Depkeu segera melelang aset- aset pemegang saham yang sudah diserahkan kepada pemerintah dan sudah diketahui nilainya.

Rencananya, pemerintah akan mengupayakan secara maksimal penagihan terhadap kedelapan pemegang saham dan juga akan ditelusuri melalui jalur hukum. Selama ini pemerintah hanya menggunakan jalur perdata dalam mengejar para pemegang saham itu. Akan tetapi, dengan adanya kasus korupsi yang dilakukan aparat kejaksaan, apakah rencana itu akan optimal dilakukan ?

Baru 9,71 persen

Dengan menggunakan perhitungan BPK, tingkat pengembalian tunggakan kepada pemerintah baru mencapai Rp 223,01 miliar atau 9,71 persen dari keseluruhan utang kedelapan pemegang saham sebesar Rp 2,297 triliun. Dalam kaitan ini, DPR menolak hasil perhitungan Depkeu atas besaran tagihan kepada delapan pemegang saham bank eks BPPN senilai Rp 9,3 triliun. Yang dijadikan acuan oleh DPR adalah hasil audit BPK sebesar Rp 2,297 triliun.

Komposisi tunggakan pada setiap pemegang saham adalah pertama, Omar Putihrai berutang Rp 159,1 miliar, tetapi baru menyerahkan aset Rp 158 miliar sehingga tingkat pengembaliannya (recovery rate) mencapai 99 persen.

Kedua, Lidia Muchtar dari utang Rp 189,039 miliar baru menyerahkan aset senilai Rp 561 juta atau 0,3 persen dari tunggakan. Ketiga, Agus Anwar baru menyerahkan aset 11,1 persen atau sebesar Rp 64,3 miliar dari total kewajibannya Rp 577,813 miliar.

Keempat, James Januardy dan Adisaputra Januardy berutang Rp 303 juta, belum menyerahkan aset jaminan. Kelima, Atang Latief menunggak Rp 155,72 miliar. Keenam, Ulung Bursa ditagih Rp 424,65 miliar. Ketujuh, Marimutu Sinivasan berutang Rp 790,557 miliar.

Pemerintah menilai kedelapan pemegang saham tersebut sudah gagal bayar sehingga penagihan atas mereka harus ditambah bunga dan denda. Atas dasar itu, Tim Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham BLBI Depkeu memperhitungkan, jumlah total dana yang harus ditagih sebesar Rp 9,3 triliun.

Pemerintah meminta pertimbangan DPR karena penetapan piutang negara yang nilainya melebihi Rp 100 miliar harus diputuskan DPR. Masalahnya, DPR tidak mau memutuskan tanpa ada audit ulang dari BPK. Nah, kesepakatan pemerintah dan DPR tidak tercapai dan masalah menggantung lagi.

Depkeu sendiri telah menyerahkan berkas penagihan kepada delapan pemegang saham tersebut ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN) pada 2 Januari 2007. Pemerintah juga telah memblokir aset-aset milik delapan orang itu, terutama yang disimpan di Jakarta, Tangerang, dan Lampung. Eksekusi aset baru bisa dilakukan setelah ada keputusan DPR.

Kasus dana BLBI telah menjadi batu sandungan pemulihan ekonomi nasional, dulu, saat ini, dan masa yang akan datang. Skandal BLBI merupakan malapetaka keuangan negara yang kerugiannya tidak terkira dalam sejarah keuangan negara Republik Indonesia. Kerugian itu kini semakin besar karena penanganannya berlarut-larut seperti yang terjadi saat ini.

No comments: