Saturday, March 15, 2008

Resesi Amerika dan Ekonomi Indonesia


Jumat, 14 Maret 2008 | 01:55 WIB

Oleh Juda Agung

Ekonomi Amerika tampaknya sudah di depan gerbang resesi. Bahkan, beberapa analis hampir pada kesimpulan yang lebih jauh dari itu, yaitu munculnya bahaya ”stagflasi” seperti Amerika pada era 1970-an. Skenario decoupling yang banyak dikemukakan oleh para analis, termasuk IMF pada tahun lalu, tampaknya tidak lagi berlaku.

Yang terjadi justru sebaliknya, sebuah skenario recoupling ketika pelemahan ekonomi Amerika akan berimbas pada negara industri lainnya dan negara emerging sehingga semakin memperburuk prospek ekonomi global. Bagaimana kita menyikapi agar momentum perekonomian kita tetap terjaga?

Skenario ekonomi AS

Krisis keuangan yang awalnya dipicu oleh subprime mortgage dalam dinamikanya yang sangat kompleks telah menguak berbagai kelemahan sistem keuangan Amerika. Nouriel Roubini, ekonom dari New York University, secara sinikal mengatakan, krisis yang sekarang terjadi bahkan telah menjadikan sistem keuangan Amerika menjadi subprime.

Skala krisis yang besar telah merambah sektor-sektor keuangan lainnya, seperti kartu kredit dan kredit kendaraan bermotor. Sejumlah indikator bahkan menunjukkan bahwa sektor konstruksi komersial juga mulai terimbas, yang dalam satu tahun terakhir ini relatif masih bertahan. Skenario terburuk memperkirakan, total kerugian dari krisis keuangan di Amerika mencapai 1.000 miliar dollar AS, sekitar tiga kali Produk Domestik Bruto (PDB) kita.

Membaca baris demi baris laporan Bernanke di Kongres Amerika, 27 Februari 2008, kita ditunjukkan pesimisme serupa. Modal perbankan terus tertekan, pasar perumahan terus menurun, penyaluran kredit semakin tersumbat (credit crunch), dunia usaha pun mulai kena dampaknya. Fed memangkas prediksi ekonominya menjadi 1,5 persen pada tahun 2008 dengan peluang risiko yang lebih buruk. Peluang terjadinya resesi meningkat dan peluang resesi mendekati angka 50/50.

Teorinya, resesi akan menurunkan inflasi. Namun, laporan Bernanke itu menunjukkan arah yang sebaliknya. Dengan inflasi tahunan mencapai 4,3 persen pada bulan Januari, spekulasi dari berbagai kalangan akan risiko ”stagflasi” mulai beredar walaupun Fed masih melihat akselerasi inflasi ini bersifat sementara, sehingga pada bulan Maret kemungkinan besar Fed Fund masih terus diturunkan lagi 50 bps.

Namun, ancaman inflasi ini menambah ketidakpastian sampai kapan penurunan suku bunga ini akan berlangsung, karena apabila ekspektasi inflasi terus meningkat, terbuka kemungkinan Fed akan menghentikan untuk sementara penurunan suku bunga atau bahkan menaikkan kembali suku bunga Fed Fund.

Tidak boleh lengah

Indonesia patut bersyukur, berbagai perbaikan fundamental di sektor perbankan, moneter, fiskal, dan neraca pembayaran yang telah kita lakukan semenjak krisis menjadikan daya tahan ekonomi kita terhadap gejolak eksternal relatif lebih baik. Ketergantungan ekspor kita pada Amerika, Eropa, dan Jepang juga relatif rendah, yaitu sekitar 7 persen terhadap PDB. Elastisitas pertumbuhan kita terhadap penurunan pertumbuhan negara maju tersebut juga tidak terlalu signifikan.

Namun, kita tidak boleh lengah, second round effect dari pelemahan ekonomi negara maju perlu diantisipasi mengingat perdagangan intra-Asia juga terkena dampaknya jika ekspor Asia ke negara-negara tersebut mengalami penurunan. Lebih dari itu, gejolak eksternal yang sedang terjadi dewasa ini terus bergerak secara dinamis dan simultan.

Ketika krisis keuangan global belum usai, kita telah dikejutkan dengan melonjaknya harga komoditas, baik energi maupun pangan, yang mendorong kenaikan inflasi dari sisi suplai. Apabila hal ini kemudian mendorong kenaikan ekspektasi inflasi, BI mau tidak mau harus merespons dengan kenaikan suku bunga. Perbedaan siklus kebijakan moneter kita dengan negara maju yang kelihatannya masih cenderung mengendurkan suku bunga akan meningkatkan selisih suku bunga dalam dan luar negeri dan bisa diperkirakan akan membanjirnya arus modal jangka pendek secara besar-besaran ke pasar domestik. Kondisi ini semakin membuat komplikasi bagi kebijakan moneter untuk mengendalikan inflasi.

Momentum pertumbuhan

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana respons kebijakan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang sudah mulai bergulir ini. Jawabannya tentu saja perekonomian domestik harus lebih digerakkan untuk mengimbangi penurunan permintaan eksternal.

Namun, ruang gerak bagi kebijakan moneter untuk stimulus tampaknya semakin terbatas akibat meningkatnya inflasi akhir-akhir ini. Untungnya, penurunan suku bunga yang telah terjadi dalam setahun terakhir diharapkan akan mulai memberikan dampak positif pada permintaan agregat melalui peningkatan kredit yang saat ini telah tumbuh sekitar 25 persen. Ruang bagi stimulus fiskal juga tampaknya terbatas karena pembengkakan subsidi BBM akibat kenaikan harga minyak dunia telah membatasi ruang gerak fiskal untuk melakukan kebijakan counter-cyclical.

Menghadapi pemilu, sulit mengharapkan adanya penyesuaian harga BBM. Dalam kondisi sulit ini, kebijakan pemerintah untuk melakukan penghematan pengeluaran adalah sebuah langkah yang tepat, paling tidak untuk sementara dapat menahan agar defisit anggaran tidak membengkak sehingga dapat mengurangi kepercayaan pasar.

Namun, ke depan, reformasi fiskal untuk memastikan pemerintah memiliki keleluasaan melakukan kebijakan yang counter- cyclical menjadi sangat krusial. Yang lebih penting lagi, untuk menghindari terjadinya persoalan-persoalan yang terus berulang setiap terjadinya kenaikan harga komoditas, reformasi struktural di bidang energi dan pangan menjadi sebuah keniscayaan.

Juda Agung Advisor pada Executive Director IMF, Washington DC

No comments: