Selasa, 4 Maret 2008 | 02:27 WIB
Jakarta, Kompas - Indonesia kehilangan sumber pinjaman sangat lunak dari skema Asosiasi Pembangunan Internasional atau IDA, Bank Dunia, karena telah digolongkan sebagai negara yang berpendapatan menengah. IDA hanya diberikan kepada negara berpenghasilan rendah.
Ketentuan itu diterapkan mulai Juni 2008. Dengan demikian, setelah Juni tidak ada lagi proyek-proyek pemerintah yang bisa dibiayai utang luar negeri berbiaya sangat murah.
Pinjaman IDA biasanya digunakan untuk mendukung proyek-proyek berbasis masyarakat dan pemberantasan kemiskinan, antara lain perpustakaan dan program antikorupsi.
”Beberapa waktu lalu Indonesia masih diperbolehkan mendapatkan pinjaman dari IDA karena masih dianggap sebagai negara yang sedang dalam masa transisi, yaitu dari negara berpenghasilan rendah ke menengah,” ujar Sekretaris Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Syahrial Loetan di Jakarta, Senin (3/3).
Menurut Koordinator Koalisi Antiutang Kusfialdi, menetapkan Indonesia sebagai negara mapan hanya alasan Bank Dunia. Sebab, pinjaman lunak tidak lagi menguntungkan Bank Dunia.
Ketetapan Bank Dunia menghentikan IDA bagi Indonesia, kata Kusfialdi, akan memberikan legitimasi bagi Menteri Keuangan untuk memburu utang komersial yang berbunga tinggi. ”Padahal tindakan ini akan menambah parah beban fiskal pada masa depan,” ujar Kusfialdi.
Penghasilan rendah
Syahrial menjelaskan bahwa skema pinjaman IDA hanya untuk negara-negara berpenghasilan di bawah 830 dollar AS per kapita per tahun. Indonesia sudah lama dianggap sebagai negara dengan penghasilan lebih dari 1.600 dollar AS per kapita per tahun.
”Dengan demikian, aturan mainnya tidak memperbolehkan Indonesia memperoleh pinjaman IDA lagi,” ujar Syahrial.
IDA dikenal sebagai pinjaman sangat lunak karena beban bunganya nyaris 0 persen. Pinjaman IDA biasanya diberikan dengan jangka waktu 35 tahun, masa tenggang 10 tahun, dan tingkat suku bunga tetap 0,75 persen per tahun.
Bank Dunia juga memberikan pinjaman dengan skema International Bank for Reconstruction and Development (IBRD). IBRD diberikan dengan jangka waktu 20 tahun, masa tenggang lima tahun, dan tingkat suku bunga LIBOR (suku bunga antarbank London) ditambah margin yang ditetapkan mengambang atau tetap.
Jenis pinjaman yang serupa dengan IDA diberikan oleh Bank Kerja Sama Internasional Jepang (JBIC), dengan masa jatuh tempo 30 tahun, masa tenggang 10 tahun, dan bunga 1,5 persen per tahun.
Ada juga pinjaman dari Bank Pembangunan Asia (ADB), yakni OCR (ordinary capital resources). Jangka waktu OCR 15 tahun, masa tenggang tiga tahun, dan suku bunga berbasis LIBOR plus margin 50 basis poin.
”Indonesia masih bisa memanfaatkan dana murah lain yang diberikan bilateral, antara lain dari Jepang dan Jerman. Namun, biasanya, tendernya dilakukan dengan pemasok mereka sendiri,” ujar Syahrial.
Menurut Dirjen Pengelolaan Utang Departemen Keuangan Rahmat Waluyanto, Bank Dunia memiliki kriteria untuk menentukan jenis pinjamannya, yakni berdasarkan kategori negara.
Kategori ini menetapkan posisi sebuah negara pada skala 1-5. Indonesia ada di skala tiga. ”Pada skala itu Indonesia sudah dinilai tidak layak lagi menjadi penerima pinjaman IDA,” ujarnya.
Ia menjelaskan, IDA hanya diberikan kepada negara dengan skala 1-2. ”Penilaian itu didasarkan pada PDB (produk domestik bruto) negara bersangkutan,” katanya. (OIN)
No comments:
Post a Comment