Monday, March 10, 2008

Analisis Danareksa


ETF dan Pasar Modal
Senin, 10 Maret 2008 | 01:41 WIB

Oleh Ernawan Salimsyah

Sejak 18 Desember 2007, pilihan efek untuk berinvestasi bagi investor di Bursa Efek Indonesia semakin bervariasi dengan dicatatkannya dan diperdagangkannya dua reksa dana. Efek reksa dana berjenis seperti ini dikenal sebagai exchange traded fund atau ETF. Peluncuran dua ETF ini, mengacu pada indeks LQ45 dan SUN, telah menandai dimulainya sejarah industri ETF di Indonesia.

ETF didefinisikan sebagai suatu efek reksa dana (RD) berbentuk kontrak investasi kolektif dan unit penyertaannya (UP) diperdagangkan di bursa efek. Tujuan investasi ETF adalah memberikan kinerja imbal hasil yang merefleksikan kelipatan kinerja imbal hasil dari suatu indeks tertentu yang menjadi acuan ETF.

Jadi, ETF adalah suatu efek yang memiliki sifat-sifat gabungan antara efek RD, khususnya efek RD indeks, dan efek saham. Di Amerika Serikat, ETF yang pertama kali diluncurkan adalah ETF yang mengacu pada S&P500, dirilis tahun 1993.

Di kawasan Asia terdapat beberapa negara yang telah memiliki industri ETF yang berkembang dengan baik, di antaranya: Jepang pada tahun 1995 (Nikkei225), Hongkong tahun 1999 (Tracker Fund of Hongkong), Singapura tahun 2002 (Straits Times), dan China pada tahun 2005 (SSE50). Saat ini industri ETF dunia telah menerbitkan 1.000 ETF lebih dengan aset lebih dari 700 miliar dollar AS. Lebih dari 70 persen aset itu masih terkonsentrasi di AS.

Sementara 30 persen sisanya tersebar di kawasan Eropa dan Asia Pasifik. Khususnya di kawasan Asia Tenggara, industri ETF di Singapura telah memiliki aset lebih dari 1 miliar dollar AS dalam kurun waktu lima tahun.

Dengan memerhatikan valuasi relatif antara pasar saham Singapura dan Indonesia selama lima tahun terakhir dan prospeknya pada tahun-tahun mendatang, penulis berpendapat bahwa pasar saham Indonesia tidak kalah menarik valuasinya dari pasar saham Singapura.

Maka, penulis optimistis bahwa industri ETF Indonesia pun berpotensi tumbuh hingga lebih dari 1 miliar dollar AS dalam lima tahun ke depan.

Sejumlah manfaat

Bagi investor yang berinvestasi menggunakan ETF terdapat sejumlah manfaat. Pertama, profesionalisme. Umumnya manajer investasi (MI) ETF adalah MI dengan keahlian dan pengalaman yang solid di industri RD konvensional dan indeks.

Kedua, diversifikasi dan transparansi. ETF diinvestasikan pada sejumlah efek, baik secara sampling maupun replikasi keseluruhan, dari suatu indeks acuan (baik indeks pasar maupun sektoral) sehingga ETF memberikan diversifikasi risiko tak sistematik yang ideal dan memberikan tingkat transparansi informasi isi yang tinggi.

Ketiga, ETF tidak memerlukan margin seperti pada Futures, dan ETF juga tidak memiliki tanggal maturity seperti pada Option dan Futures.

Manfaat terakhir tetapi tidak kalah pentingnya adalah modal awal yang rendah.

Di sisi lain, ETF pun memiliki kelemahan, antara lain: ETF dapat diperdagangkan dengan harga yang lebih rendah atau tinggi dari nilai aktiva bersihnya. ETF juga dapat menimbulkan biaya transaksi perdagangan yang tinggi jika selisih antara harga penawaran dan permintaan sangat lebar karena tidak adanya likuiditas ETF.

Bagi pasar modal Indonesia, adanya ETF, selain akan dapat memperkuat basis investor domestik dengan cakupan yang lebih luas, juga akan dapat menarik modal asing untuk masuk lebih besar lagi ke Indonesia.

Ini dapat terjadi karena ETF menawarkan kemudahan bagi investor asing untuk memperoleh atau mengurangi exposure pasar modal Indonesia dengan satu kali eksekusi saja.

Selama ini investor asing yang menginginkan exposure pasar modal Indonesia hanya dapat mendekatinya dengan berinvestasi pada saham emiten-emiten berkapitalisasi besar di Bursa Efek Indonesia (BEI).

Akibatnya, banyak investor asing potensial yang enggan memulai atau bahkan memaksimalkan alokasi investasinya di Indonesia karena mereka khawatir akan exposure berlebihan atas risiko mikro emiten-emiten berkapitalisasi besar tersebut.

Lebih jauh lagi, meskipun nantinya modal asing akan masuk lebih besar ke pasar modal Indonesia, financial inflation pada efek-efek di pasar modal Indonesia tetap masih akan dapat diminimalkan.

Hal ini dapat terjadi karena yang dibeli oleh investor adalah ETF-nya, maka tekanan beli pada efek-efek underlying-nya secara langsung menjadi berkurang. Efek-efek tersebut hanya akan mengalami kenaikan harga seiring dengan kondisi kinerja fundamental yang wajar dari emitennya, bukan karena likuiditas yang berlebihan.

Sebaliknya, pada saat terjadi tekanan jual ETF oleh investor asing karena mereka ingin mengurangi exposure atas pasar modal Indonesia, koreksi dalam pun dapat diminimalkan karena adanya basis investor domestik dengan cakupan yang luas.

Merekalah yang akan masuk untuk membeli jika harga ETF yang ditawarkan di bursa sudah cukup menarik dibandingkan dengan nilai aktiva bersihnya. Jadi, MI tidak perlu menjual efek-efek underlying dari ETF itu dan fluktuasi pasar yang tidak wajar pun dapat dihindari.

Menyadari begitu strategisnya potensi peran ETF di pasar modal Indonesia pada masa yang akan datang, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan sejak Desember 2006 menerbitkan peraturan Nomor IV.B.3 mengenai ”reksa dana berbentuk kontrak investasi kolektif yang unit penyertaannya diperdagangkan di bursa efek”.

Seiring dengan penerbitan peraturan itu, BEI pun mendukung dengan memberikan kemudahan dalam proses pencatatan dan perdagangan ETF. Namun sangat disayangkan, hingga akhir Desember 2007 hanya empat MI yang mendaftarkan rencana penerbitan ETF ke Bapepam-LK. Bahkan, hingga saat ini baru dua ETF yang diperdagangkan di BEI, itu pun dengan volume perdagangan harian yang rendah.

Ada sejumlah kendala yang menghalangi pertumbuhan industri ETF di Indonesia. Pertama, mayoritas MI berpandangan bahwa transaksi ETF lebih kompleks jika dibandingkan dengan RD konvensional tetapi imbal jasa pengelolaannya hanya sepertiga dari imbal jasa pengelolaan RD konvensional.

Kedua, mayoritas anggota bursa hanya bersedia menjadi perantara pedagang ETF dan enggan menjadi dealer partisipan ETF karena mereka berpandangan terlalu besarnya risiko likuiditas yang dihadapi.

Terakhir, investor institusi (asuransi, dana pensiun, dan perusahaan lainnya) serta ritel enggan berinvestasi pada ETF karena pemahaman mereka yang sangat minim mengenai konsep dasar ETF.

Investor institusi juga khawatir dianggap melanggar peraturan investasi di industri mereka masing-masing jika berinvestasi menggunakan ETF.

Guna mengatasi kendala itu, agar industri ETF tumbuh cepat, mutlak adanya sosialisasi peraturan dan konsep ETF kepada investor. Namun itu saja belum cukup. Pemberian insentif perpajakan atas penjualan aset ETF, dividen atau kupon yang diperoleh ETF, dan penjualan UP ETF akan sangat membantu tumbuhnya industri ini.

Ernawan Salimsyah Portfolio Manager Danareksa Investment Management

No comments: