Pada akhir 2007, total aset perbankan syariah berhasil mencapai Rp 36,5 triliun, sedikit lebih tinggi dari perkiraan Karim Business Consulting yang mematok angka Rp 35 triliun. Ini adalah pertumbuhan tertinggi yang pernah dibukukan oleh industri perbankan syariah, yaitu mendekati Rp 10 triliun dibandingkan dengan pencapaian pada 2006.
Prestasi lain yang dicatat perbankan syariah pada triwulan IV 2007 adalah penurunan non performing financing (NPF) pada triwulan IV 2007 hingga mencapai level 4,05 persen per Desember 2007, setelah pada tiga triwulan sebelumnya terjadi tren kenaikan NPF. Penurunan NPF di akhir 2007 merupakan pertanda baik untuk membuka lembaran baru di awal 2008.
Penurunan tingkat pembiayaan bermasalah pada Desember 2007 ditunjang oleh semakin berkurangnya nominal pembiayaan bermasalah (kolektibilitas 3 sampai dengan 5) dari Rp 1,5 triliun pada November 2007 menjadi Rp 1,1 triliun pada Desember 2007 serta peningkatan ekspansi pembiayaan dari Rp 26,5 triliun pada November 2007 menjadi Rp 27,9 triliun pada Desember 2007.
Pada 2008, Karim Business Consulting memperkirakan total aset perbankan syariah akan mencapai Rp 50 triliun bila industri bertumbuh normal. Ini berarti akan ada peningkatan sekitar Rp 15 triliun pada 2008, suatu kenaikan angka yang belum pernah dicapai sejak 1992. Itu pun telah memasukkan asumsi adanya beberapa unit usaha syariah (UUS) dan bank umum syariah (BUS) baru di tahun ini.
Dari Rp 15 triliun tersebut, separuh di antaranya diperkirakan akan disumbangkan oleh dua bank syariah terbesar yaitu Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat masing-masing Rp 4 triliun dan Rp 3 triliun, sedangkan Bank Mega Syariah menyumbangkan tambahan aset sebesar Rp 1 triliun. Pada 2007, kedua bank ini menguasai 64,47 persen pangsa pasar perbankan syariah, yang bila ditambah dengan Bank Mega Syariah, maka ketiga bank umum syariah menguasai 71,58 persen pangsa pasar.
Pada 2007 itu, UUS yang berkantor pusat di Jakarta menguasai 23,74 persen pangsa pasar, sedangkan UUS yang berkantor pusat di luar Jakarta menguasai 4,68 persen pangsa pasar. Tiga pemain besar dalam kategori UUS adalah BNI Syariah, BRI Syariah, dan Bank Niaga Syariah yang menguasai 12,91 persen pangsa pasar. Bila memasukkan Bank BTN, Bank Danamon, Bank Permata, dan Bank Bukopin maka tujuh besar UUS bank tersebut menguasai 20,87 persen pangsa pasar.
Bank pembangunan daerah (BPD) yang menawarkan produk dan jasa berdasarkan prinsip syariah juga semakin berkembang pada 2007. Terdapat empat BPD yang mulai membuka layanan syariah pada 2007 yakni BPD DIY, Bank Jatim, Bank Sulsel, dan Bank Nagari. Keempat BPD ini melengkapi 10 BPD lainnya (Bank Jabar, Bank DKI, Bank Riau, Bank Sumut, BPD Aceh, Bank Kalsel, BPD NTB, Bank Kalbar, Bank Sumsel, dan Bank Kaltim). Keseluruhan BPD tersebut menguasai 5,64 persen pangsa pasar, dengan tiga besar BPD yang memiliki pangsa terbesar yakni Bank Jabar, Bank DKI, dan BPD Aceh.
Dengan total aset UUS per 2007 yang baru mencapai Rp 10,4 triliun, mampukah mereka menyumbangkan kenaikan aset Rp 7,5 triliun pada 2008 untuk mencapai total aset industri perbankan Rp 50 triliun? UUS yang berkantor pusat di Jakarta diperkirakan mampu menyumbang tambahan Rp 6,2 triliun, sedangkan yang berkantor pusat di luar Jakarta mampu menyumbangkan tambahan Rp 800 miliar. Total kontribusi bank pembangunan daerah dalam peningkatan Rp 15 triliun tersebut diperkirakan mencapai Rp 1 triliun.
Program Akselerasi Bank Indonesia menargetkan 5 persen dari pangsa perbankan nasional yang ekuivalen dengan Rp 91,57 triliun di akhir 2008. Dapatkah target tersebut tercapai? Target akselerasi tersebut akan dapat tercapai dengan beberapa persyaratan, antara lain: Pertama, segera diterbitkannya PSAK dan PAPSI baru yang mengatur tentang pembiayaan murabahah. Kedua, segera diterbitkannya instrumen investasi syariah yang kompetitif untuk menyerap ekses likuiditas perbankan syariah, misalnya SBI Syariah dan SBSN (Surat Berharga Syariah Negara). Ketiga, strategi inovasi dan sinergi perbankan syariah.
Pertama, penerbitan PSAK dan PAPSI baru yang mengatur tentang pembiayaan murabahah diperlukan sebagai tambahan dari PSAK dan PAPSI yang telah mengatur tentang transaksi murabahah. Hal ini diperlukan sebagai solusi jangka pendek sebelum disempurnakannya kebijakan PPN sehingga tidak ada pajak berganda terkait transaksi murabahah. Penerbitan PSAK dan PAPSI baru terkait pembiayaan murabahah ini merupakan langkah taktis yang bisa dilakukan secara langsung oleh industri perbankan syariah sebelum diterbitkannya solusi yang lebih komprehensif melalui kebijakan/undang-undang baru yang mengatur PPN atas transaksi syariah.
Ketidakpastian tentang PPN murabahah merupakan salah satu sumber yang menahan laju ekspansi pembiayaan bank syariah. Terbitnya PSAK baru di akhir 2007 merupakan langkah maju dari IAI, namun masih menyisakan pekerjaan rumah karena dalam PSAK tersebut diterangkan bahwa transaksi murabahah adalah transaksi jual beli, sehingga isu terkait PPN murabahah ini belum bisa dituntaskan. Problem ketidakpastian PPN murabahah ini juga menyebabkan investor dari luar negeri menjadi kurang berminat berinvestasi syariah di Indonesia.
Kedua, penerbitan instrumen investasi syariah yang kompetitif untuk menyerap ekses likuiditas perbankan syariah. Instrumen ini bisa diterbitkan oleh Bank Indonesia, pemerintah, maupun pihak swasta. Terbitnya SBI Syariah dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) merupakan instrumen investasi yang diperlukan untuk memacu perkembangan perbankan syariah. Instrumen Sertifikat Wadiah bank Indonesia (SWBI) dengan tingkat return yang relatif menyebabkan perbankan syariah tidak memiliki banyak pilihan instrumen investasi yang kompetitif ketika terjadi ekses likuiditas, sehingga ekspansi penghimpunan dana menjadi tertahan.
Keberadaan SBI Syariah dengan tingkat return yang setara atau mendekati tingkat bunga SBI konvesional akan menjadi pilihan instrumen investasi yang menarik ketika masih diperlukannya waktu analisis sebelum penyaluran pembiayaan yang prudent dan berkualitas. Ketersediaan SBI Syariah, SBSN, dan instrumen investasi yang kompetitif lainnya akan membuat bank syariah bersemangat untuk menghimpun dana pihak ketiga yang pada gilirannya diharapkan mampu menggenjot perkembangan aset perbankan syariah. Pembahasan secara intensif RUU SBSN dan RUU Perbankan Syariah di bulan Januari 2008 merupakan sinyal positif bagi pengembangan perbankan syariah.
Ketiga, strategi inovasi dan sinergi perbankan syariah diperlukan untuk menjawab kebutuhan masyarakat terhadap perbankan syariah. Proses sosialisasi secara masif perlu dilanjutkan dan diikuti dengan inovasi dan sinergi perbankan syariah. Masyarakat yang sudah tahu keberadaan bank syariah, akan beranjak untuk tertarik dan mencoba produk dan layanan syariah. Pada titik inilah, bank syariah tidak bisa sekadar menonjolkan aspek kesyariahannya, namun perlu diikuti dengan aksesibilitas yang mudah, fasilitas/produk yang beragam dan kompetitif, serta kualitas pelayanan yang prima.
Aksesibilitas, fasilitas, dan kualitas pelayanan menjadi hal penting agar masyarakat menjadi semakin tertarik dan bangga dengan bank syariah yang tidak sekadar khas dengan karakteristik syariahnya. Apabila ketiga hal tersebut tidak dapat disediakan oleh bank syariah, maka masyarakat menemukan kekecewaan karena keterbatasan bank syariah, timbul persepsi buruk, dan akhirnya menjadi kampanye negatif terkait keberadaan bank syariah. Strategi inovasi dan sinergi akan memacu bank syariah untuk mengombinasikan pendalaman terhadap kebutuhan nasabah serta keluasan solusi yang bisa ditawarkan dengan mengerahkan segala sumber daya yang dimiliki.
Dengan berbagai upaya tersebut, akankah target 5 persen akselerasi perbankan syariah tercapai? Dalam suatu hadits Qudsi, Allah SWT berfirman, ''Aku (Allah SWT) akan beserta prasangka hamba-Ku.'' Tekad, keyakinan, dan kepasrahan perlu kita pupuk serta ikuti dengan kerja keras dan kerja cerdas. Ingatlah kisah Siti Hajar yang ditinggal Nabi Ibrahim bersama bayi Ismail di tengah padang pasir. Beliau yakin dan pasrah, yang diikuti ikhtiar berlari dari bukit Shafa dan Marwah, yang akhirnya keluarlah air zamzam dari kaki Ismail yang tetap bermanfaat dan abadi sampai dengan sekarang.
Siapakah lagi yang akan memiliki keyakinan dan ikhtiar untuk pengembangan perbankan syariah? Jawabannya adalah siapa lagi kalau bukan kita sebagai stake-holders perbankan syariah. Membulatkan tekad dan keyakinan, meluruskan niat, menyempurnakan ikhtiar adalah tugas kita, sedangkan hasil adalah urusan dan hak Allah SWT. Man jadda wa jada, jika kita bersungguh-sungguh, maka kita akan bisa.
No comments:
Post a Comment