Saturday, March 15, 2008

Swastanisasi Negara


Jumat, 29 Februari 2008 | 23:59 WIB

Yonky Karman

Harga pangan melambung tak terjangkau rakyat berpenghasilan rendah. Ribuan pekerja industri kecil dan menengah tempe-tahu terkena pemutusan hubungan kerja. Apa yang sebenarnya terjadi pada negara agraris yang seolah tak berdaya? Penjelasan normatif dari pihak pemerintah adalah pengaruh eksternal dan krisis pangan global. Namun, pada dimensi substil, negara kalah berhadapan dengan kekuatan pasar.

Globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan membuat transaksi perdagangan berlangsung menurut standar global. Dengan terbukanya pasar, batas-batas negara-bangsa menjadi nisbi dan negara-bangsa memudar. Diam-diam kedaulatan negara berkembang/miskin digerogoti. Dengan membonceng institusi-institusi keuangan global, kapitalis global mampu memengaruhi kebijakan ekonomi negara berkembang.

Kelemahan negara itu juga dimanfaatkan kapitalis lokal dalam persekutuan dengan kapitalis global. Negara menyerahkan stabilitas komoditas strategis ke tangan importir besar yang dengan leluasa melepas dan menahan ke pasar sesuai dengan kalkulasi keuntungan sebesar-besarnya. Meski swasta bagian dari bangsa, negara-bangsa tersandera kepentingan swasta yang berorientasi profit. Swastanisasi negara berlangsung secara substil di balik proses demokratis (Noreena Hertz, The Silent Takeover, 2003).

Mitos pasar

Doktrin pasar bebas adalah deregulasi sesempurna mungkin dan regulasi seminimal mungkin (laissez-faire). Dosa besar mencampuri proses pasar. Dalam keyakinan fundamentalisme pasar, begitu kompetisi dan efisiensi terjamin, konsumen akan diuntungkan. Pasar dengan sendirinya akan mengatasi masalah-masalah ekonomi dan sosial.

Keyakinan itu ternyata berlebihan. Pasar tidak otomatis efisiensi. Kompetisi bebas tidak otomatis harga turun. Ada kartel di antara para pengusaha yang membuat pasar tidak bebas dan tidak kompetitif. Ditambah informasi asimetris, pasar terdistorsi. Tangan tak terlihat masih kurang panjang untuk menyelamatkan rakyat dari petaka ekonomi. Deregulasi gagal meningkatkan pendapatan masyarakat bawah. Rakyat kecil bermimpi menggapai keadilan sosial.

Tingkat pengangguran meningkat. Tahun 2007, ada 409.890 sarjana Indonesia menganggur dibandingkan dengan 183.629 orang tahun 2006. Kesenjangan ekonomi melebar. Si kaya kian kaya. Si miskin kian miskin. Yang di tengah berjuang untuk tidak terjerembab ke dalam kemiskinan.

Dalam ungkapan Joseph E Stiglitz, globalisasi ekonomi seperti pedang bermata dua, salah satu matanya lebih tajam bagi negara berkembang. Pasar uang dan modal Indonesia amat bergantung pada hot money. Namun, keuntungan yang dihasilkan ketika masuk lebih kecil ketimbang kerugiannya ketika uang itu tiba-tiba keluar.

Pemerintah negara berkembang terpaksa mengikuti perkembangan harga pasar, tidak jarang mencabut subsidi, membuat rakyat menderita. Itulah yang terjadi di Myanmar saat harga BBM naik hingga 500 persen meski negeri itu tertutup. Negara maju mengampanyekan deregulasi untuk negara berkembang sebab akhirnya merekalah yang lebih memetik keuntungan.

Kelemahan dan celah hukum negara berkembang dimanfaatkan kapitalis global. Negara lemah terpaksa menerima produk impor negara kuat yang memproteksi produknya dengan subsidi dan hambatan tarif agar produk impor negara berkembang kehilangan daya saing.

Dalam kemitraan dengan perusahaan transnasional, negara berkembang membayar ongkos dan risiko lebih besar. Lingkungan rusak. Proses pemiskinan rakyat miskin terjadi di area pertambangan yang hasilnya dinikmati perusahaan asing, sementara masyarakat sekitar menderita karena lingkungan yang rusak.

Memperkuat negara

Bagaimana melepaskan diri dari jebakan jejaring pasar global dan melindungi masyarakat yang rentan menjadi korban globalisasi? Apakah kekuatan kapitalisme global tak terbendung? Di mana negara saat rakyat menjerit dan mengharapkan intervensinya? Deregulasi tanpa kontrol menggerogoti kekuatan negara dan membenarkan Darwinisme sosial.

Desentralisasi yang maunya mendekatkan pemerintah dengan rakyat dibuat tidak efektif sebab globalisasi berhasil menjauhkan pemerintah dari rakyat. Kedua kekuatan yang saling bertentangan itu terjadi bersamaan. Namun, pemerintah negara berkembang harus lebih berperan melindungi rakyat dari mata pedang globalisasi yang melukai.

Beberapa negara di Asia Timur tidak terpuruk di era globalisasi karena memberi prioritas kepada rakyat kecil untuk kemudahan akses pendidikan dan layanan kesehatan. Daripada mengemis kepada swasta untuk ikut menstabilkan harga di dalam negeri, pemerintah berperan aktif dalam redistribusi pendapatan nasional. Keseimbangan peran antara pemerintah dan swasta harus selalu diupayakan. Tanggung jawab pemerintahlah untuk memberi wajah sosial kepada kapital swasta.

Untuk itu, negara harus kuat, bukan dalam kategori sosialis-totaliter atau demokrasi pasar bebas, melainkan karena berwibawa. Kewibawaan negara kerap diremehkan karena inkonsistensi dalam penegakan hukum. Korupsi jelas menggerogoti wibawa negara. Rakyat dan dunia sering bertanya mengapa presiden yang relatif bersih dari korupsi tidak membuat gebrakan dalam pemberantasan korupsi.

Setelah pemerintah di jalur konsistensi dan memiliki wibawa, giliran pemerintah ikut membangun kultur bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak semata-mata mengejar keuntungan. Stiglitz membandingkan CEO di negerinya dan di Jepang (Alpine Schadenfreude and the US Economy, The Jakarta Post 5/2).

Ketika dilanda krisis, CEO di AS menikmati bonus berlimpah sebagai hak pribadi. Komisaris korporasi enggan memecat CEO-nya lantaran besarnya bonus dan uang pisah. Di Jepang, CEO bank besar akan minta maaf kepada pegawainya dan negara. Ia menolak pensiun dan bonusnya agar jumlah uang yang besar itu dinikmati mereka yang menderita akibat kegagalan korporasi. Lalu, ia mengundurkan diri.

Lihat betapa parah krisis ekonomi di AS dalam 20 tahun terakhir setelah krisis simpan pinjam (1989) dan Enron/WorldCom (2002). Dunia harus membayar mahal untuk mitos perdagangan bebas yang selama ini menjadi mantra global. Diversifikasi dalam manajemen risiko tidak mampu meredam kerugian ketika risiko-risiko itu saling terkait. Dunia terseret ke dalam resesi global.

Akhirnya, fundamental suatu negara tergantung dari moralitas dalam bisnis, moralitas penegak hukum dan penyelenggara negara, serta moralitas negara itu sendiri.

Yonky Karman Pengajar di STT Jakarta

No comments: