Wednesday, March 5, 2008

10 TAHUN KRISIS EKONOMI (1)

 

SOLUSI MONETARIS DAN NEOLIBERAL:
“Kerawanan Lama dalam Bungkus Baru”

oleh :
Rizal Ramli dan P.Nuryadin

ECONIT Advisory Group

August 17, 2007


Julukan “East Asian Economic Miracle” yang dianugerahkan Bank Dunia kepada
sejumlah negara Asia ternyata tak cukup ampuh untuk menahan badai krisis
yang menyerang kawasan tersebut sepuluh tahun lalu.

Krisis mata uang yang awalnya menyerang Thailand telah berdampak sangat buruk terhadap ekonomi empat negara Asia yaitu Malaysia, Korea, Indonesia dan Thailand sendiri. Satu hal yang patut disesalkan, Indonesia mengalami kontraksi ekonomi yang jauh lebih parah dibanding negara lainnya. Rentetan krisis harus dilalui Indonesia, mulai dari krisis mata uang, krisis likuiditas dan krisis perbankan serta diikuti dengan kebangkrutan dunia usaha secara umum. Pada tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi hebat sekitar 12.8 persen, termasuk paling tinggi di dunia disamping negara bekas Eropa Timur.

Banyak kalangan birokrasi pemerintah saat itu menyalahkan krisis ekonomi semata-mata sebagai akibat dari faktor eksternal. Namun ungkapan tersebut tidak lebih merupakan cerminan dari sikap kurang bertanggung jawab terhadap krisis dan hanya merupakan upaya untuk mencari kambing hitam. Pada awalnya gejolak yang terjadi memang dipicu oleh krisis Thailand, tetapi perkembangan selanjutnya merupakan akibat kelemahan struktural ekonomi Indonesia dan krisis berkembang menjadi lebih dahsyat akibat kegagalan mengantisipasi serta akumulasi rentetan mis-judgment dan policy errors dari pengambil kebijakan saat itu.

Biaya sosial dan ekonomi yang timbul akibat policy errors tersebut pun amat besar. Selain terjadi peningkatan puluhan juta pengangguran dan kemiskinan, juga terjadi kerusuhan dan penjarahan massal Mei 1998, munculnya biaya rekapitalisasi bank yang mencapai Rp 650 triliun (termasuk BLBI) dan bertambahnya utang puluhan miliar dolar yang masih membebani Indonesia hingga saat ini.

Pahit untuk dikenang. Namun banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari pengalaman buruk tersebut, terlebih dalam konteks perkembangan ekonomi Indonesia yang masih rentan (vulnerable) hingga saat ini.
EKONOMI PRA-KRISIS: TUMBUH MODERAT DENGAN SEJUMLAH KERAWANAN

Beberapa tahun sebelum krisis, ekonomi Indonesia tumbuh pada level moderat. Antara tahun 1989-1996, pertumbuhan GDP (Gross Domestic Product) riil rata-rata sekitar 7.3 persen per tahun. Namun dibalik pertumbuhan moderat tersebut, terdapat sejumlah kelemahan struktural yang sangat beresiko menggoyahkan stabilitas ekonomi nasional. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain:

1. Cross ownership & cross management di sektor finansial

Salah satu kebijakan penting yang memiliki dampak luas, khususnya terhadap sektor finansial Indonesia pada awal dekade 1990-an adalah paket deregulasi finansial Oktober 1988 atau yang lebih dikenal dengan Pakto 88. Salah satu ketentuan penting dalam Pakto 88 adalah kemudahan perizinan pendirian bank yang mensyaratkan modal minimal hanya Rp 100 juta. Kemudahan pendirian bank tersebut tak pelak telah mendorong peningkatan jumlah bank di Indonesia, dari hanya sekitar 111 bank pada tahun 1988 menjadi 240 bank pada tahun 1995, atau meningkat lebih dari dua kali lipat. Peningkatan jumlah bank ini juga sekaligus telah meningkatkan jumlah kredit ke sektor riil yang ikut mendukung pertumbuhan ekonomi moderat pada awal 1990-an.

Namun di sisi lain, kebijakan tersebut memiliki dampak negatif yang sangat berbahaya bagi stabilitas ekonomi nasional. Syarat pendirian bank yang terlalu mudah telah memicu peningkatan jumlah bank-bank yang sangat agresif dan maraknya kepemilikan silang (cross ownership) dan manajemen silang (cross management) di industri keuangan Indonesia. Data tahun 1996 menunjukkan bahwa kebanyakan dari bank-bank besar di Indonesia mempunyai afiliasi dengan bank dan lembaga finansial lainnya. Dengan kata lain konsentrasi kepemilikan di sektor perbankan pada periode sebelum krisis sangat tinggi.

Cross ownership dan cross management di sektor perbankan merupakan salah satu penyebab peningkatan resiko sistemik dan instabilitas ekonomi nasional. Studi ECONIT dan Institut Bankir Indonesia (IBI) tahun 1997 menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan dan manajemen tersebut sangat berbahaya karena besarnya kecenderungan pelanggaran batas maksimum pemberian kredit kepada grup sendiri (legal lending limit) sehingga risiko sistemik sistem perbankan sangat tinggi[1].

Dalam konteks seperti itu, pengawasan eksternal oleh Bank Indonesia menjadi sama sekali tidak efektif karena banyaknya celah (loopholes) yang dapat direkayasa untuk menghindar dari aturan legal lending limit tersebut. Termasuk di antaranya melalui mekanisme pertukaran pinjaman (loan swaps) antar grup bank, penggunaan lembaga pembiayaan (finance companies), pemanfaatan layer of cooperations, dan kepemilikan serta manajemen nominee untuk menghindari aturan batas maksimum pemberian kredit.

2. Rupiah yang overvalued

Resiko lain yang muncul pada ekonomi Indonesia sebelum krisis adalah defisit transaksi berjalan (current account) yang terus meningkat sejak tahun 1980-an. Bahkan dua tahun sebelum krisis, defisit transaksi berjalan semakin mengalami pembengkakan. Pada tahun 1994 misalnya, defisit transaksi berjalan hanya sekitar US$ 3,1 miliar dan meningkat lebih dari dua kali lipat menjadi US$ 7,2 miliar pada tahun 1995. Peningkatan defisit transaksi berjalan tersebut merupakan kondisi yang sangat volatile dan merupakan “awan mendung” bagi ekonomi Indonesia[2]. Dikatakan sebagai “awan mendung” karena negara yang memiliki defisit transaksi berjalan yang tinggi lebih rentan menjadi sasaran serangan spekulatif (speculative attack) baik oleh spekulan domestik maupun international.

Apalagi otoritas moneter saat itu berupaya mempertahankan nilai tukar rupiah yang cenderung tetap (fixed exchange rate system) pada kisaran Rp 2.200 -2.300 per dolar AS. Padahal defisit transaksi berjalan yang berlangsung terus menerus seharusnya diimbangi dengan nilai mata uang yang lebih fleksibel. Dengan kata lain, kebijakan otoritas moneter yang mempertahankan nilai tukar rupiah yang cenderung tetap pada periode sebelum krisis telah berakibat pada rupiah yang overvalued atau lebih kuat dari yang seharusnya. Pada Bulan November 1995, ECONIT memperkirakan bahwa nilai tukar rupiah terhadap dolar AS telah mengalami over valuation minimal sekitar 16 persen[3].

3. Over-leverage Utang luar negeri swasta

Salah satu komponen utama yang memberikan tekanan terhadap defisit neraca pembayaran adalah besarnya beban cicilan utang luar negeri, termasuk utang luar negeri swasta. Secara konservatif, utang luar negeri swasta Indonesia diperkirakan telah mencapai US$ 60 miliar pada tahun 1997, atau sekitar 50 persen dari keseluruhan utang luar negeri Indonesia. Jika diperhitungkan utang berjangka pendek, termasuk promissory notes, commercial papers dan other short-term debt instruments dalam nominasi dollar dan rupiah yang dimiliki oleh pihak asing, maka diperkirakan utang luar negeri swasta mencapai US$ 75 miliar dollar. Dengan demikian, total utang luar negeri Indonesia, termasuk utang pemerintah pada tahun 1997 mencapai US$ 135 miliar.

Jumlah utang sebesar itu sangat tinggi jika dibandingkan dengan batas-batas aman seperti Debt Service Ratio (DSR) yang sudah melebihi 40 persen. Akumulasi utang swasta ketika pemerintah tidak memiliki informasi dan sistem monitoring utang swasta sering menyebabkan permintaan dollar yang serentak pada saat yang bersamaan, sehingga berpotensi menimbulkan gejolak nilai tukar yang sangat membahayakan stabilitas ekonomi nasional. Apalagi pada saat itu kebanyakan utang luar negeri swasta digunakan untuk konsumsi dan investasi pada non-traded sectors seperti untuk tujuan spekulasi di sektor properti dan konsumsi. Tentu berbeda jika akumulasi utang luar negeri tersebut digunakan untuk usaha produktif yang akan menghasilkan devisa.

Sebelumnya - Berikutnya >>

No comments: