Mungkin ini kali pertama seorang petinggi ekonomi mengakui ada yang keliru dengan mekanisme subsidi Indonesia.
Menteri Boediono menyatakan, skema subsidi pangan tidak efektif. Padahal, subsidi bertujuan mengurangi beban masyarakat akibat lonjakan harga komoditas pangan. Lebih baik subsidi diberikan langsung (tunai) kepada warga yang menjadi target (Kompas, 6/3/2008).
Pernyataan itu terasa penting sekaligus mencuatkan pertanyaan besar, apa yang keliru dengan skema subsidi? Subsidi komoditas tidak lain adalah bentuk campur tangan pemerintah terhadap mekanisme pasar.
Empat cara dilakukan: regulasi (standar makanan dan obat-obatan), pendanaan (subsidi dan perpajakan), produksi (penyediaan barang publik seperti keamanan dan pertahanan), dan transfer pendapatan (tunjangan perumahan di Inggris). Ada dua alasan pemerintah turun tangan mengintervensi pasar, efisiensi dan keadilan sosial (Barr, 1999).
”Low take up rate”
Namun, rencana efisiensi dan keadilan sosial belum tentu membuahkan hasil baik. Di lapangan, penyaluran subsidi dapat mengalami dua macam deviasi.
Pertama, deviasi-ke-atas, yaitu banyak pihak yang tidak berhak ternyata menerima subsidi. Kedua, deviasi-ke-bawah, yaitu terlalu banyak yang berhak menerima ternyata tidak menerima. Ini yang disebut low take up rate, yaitu jumlah penerima yang menjadi sasaran lebih rendah dari yang direncanakan (AB Atkinson, 1993). Hal itu terjadi karena kurangnya informasi warga maupun karena alasan yang lebih dalam: program itu menimbulkan stigma bagi penerimanya.
Selain itu, ada dua kelemahan lain dari subsidi komoditas/produsen. Pertama, sumber dana yang ada lebih banyak jatuh ke tangan intermediaries daripada untuk para penerima yang menjadi sasaran. Kedua, subsidi dalam bentuk barang dapat mengganggu mekanisme pasar (crowding out effect). Ini terjadi pada program pangan murah yang menyebabkan harga produk tertentu jatuh harganya. Akibatnya, kaum produsen lokal/petani dirugikan karena harga jual produknya lebih rendah dari harga jual pasar (market-clearing).
Simak meninggalnya Daeng Basse (27) dan anak balitanya, Fahril (4), akibat diare dan kekurangan pangan di Makassar. Basri, suami Daeng Basse, adalah tukang becak berpenghasilan Rp 10.000 per hari. Dilaporkan, mereka hanya makan bubur tawar untuk mengisi perut lapar (Kompas, 3/3/2008).
Di sisi lain, raskin, askeskin, dan PKH telah disediakan pemerintah pusat. Bahkan, Pemkot Makassar menyediakan fasilitas puskesmas dan pustu gratis. Entah mengapa, keluarga itu gagal mengakses aneka fasilitas pemerintah itu.
Kemungkinan besar, program raskin, askeskin (jamkesmas), dan PKH mengalami kasus deviasi-ke-bawah atau take up rate yang rendah. Mereka yang layak menerima hidup di luar ”jaring jaminan sosial”. Jika benar, kasus Daeng Basse adalah tragedi sosial yang dapat dicegah. Subsidi langsung layak menjadi pilihan.
Subsidi tunai
Gagasan subsidi (tunai) langsung Menteri Boediono sebenarnya bukan barang baru. Nenek moyang subsidi langsung tunai ini dapat dilacak ke belakang pada Thomas Paine. Thomas Paine, bapak kemerdekaan AS, pernah mengusulkan gagasan ”jaminan pendapatan untuk semua” (basic income) sebagai wujud prinsip ”warisan untuk semua”. Dalam bukunya, The Rights of Man (1796) dan Agrarian Justice (1800), Paine menganjurkan sebuah National Fund. Dari dana itu, tiap warga negara laki-laki dan perempuan menerima ”hibah” 15 pound saat berusia 21 tahun. Mereka yang di atas 50 tahun diberi dana pensiun 10 pound tiap tahun.
Di zaman modern, jejak-jejak Paine dapat ditemukan di hampir semua negara OECD. Di berbagai negara maju, subsidi langsung berupa ”jaminan pendapatan minimum” diadakan sejak 1970-an dan 1980-an, seperti revenue minimum d’insertion (Perancis), Bijstand (Belanda), Socialhilfe (Jerman), dan Minimex (Belgia).
Tidak terbatas di Eropa, gagasan Paine merambat ke Amerika. Di sana, Prof Bruce Ackerman dan Prof Anne Alstot, guru besar hukum Universitas Yale, mengusulkan Stakeholder Grant atau ”Hibah Warga”. Hibah ini diberikan kepada semua warga yang telah berusia 21 tahun tanpa catatan kriminal. Disalurkan secara tunai lumpsum sekali sebesar 80.000 dollar.
Skema ini mirip beasiswa GI Bill pasca-PD II, yang berjasa melahirkan tokoh-tokoh penting AS, antara lain John Rawls, filsuf modern dari Universitas Harvard, dan Prof George Kahin dari Universitas Cornell, yang membela perjuangan kemerdekaan Indonesia di Amerika.
Belajar dari kasus Daeng Basse di Makassar, dua hal mendesak harus dilakukan pemerintah dan DPR : (i) menyusun evaluasi menyeluruh atas efektivitas skema subsidi, hasilnya dilaporkan kepada DPR dan publik; (ii) memulai skema subsidi langsung dalam bentuk tunai kepada warga yang memerlukan. Indonesia perlu cepat bertindak sebelum kasus-kasus Basse lain bermunculan.
Sugeng Bahagijo Associate Director Perkumpulan Prakarsa
No comments:
Post a Comment