Sunday, March 2, 2008

gejolak pasar global




Hari demi Hari, Kantong Terkuras
 
Simon Saragih

”Korban krisis moniter,” demikian tulisan dalam bentuk yang sederhana di gerobak penjaja mi ayam di jalan sekitar Kalimalang, Jakarta Timur. Sebuah tulisan yang sungguh memilukan hati. Seorang perantau di Jakarta telah meninggalkan dagangannya dan telah kembali ke desanya.

Sudah jelas maksudnya adalah moneter bukan moniter. Namun, seseorang itu, entah siapa pun dia, telah menjadi korban dari kenaikan harga-harga setelah krisis ekonomi, dimulai dari krisis rupiah pada tahun 1997 lalu.

Sepuluh tahun krisis berlalu, pada Juli 2007 kembali dunia didera krisis. Kali ini pemicunya adalah bursa saham di AS akibat kekacauan ekonomi AS.

Berdasarkan penelitian yang dicermati Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), krisis Juli dipicu kebangkrutan perbankan Eropa akibat kucuran kredit yang terjerat di sektor perumahan AS. Karena itu, bank-bank sentral mengucurkan suntikan dana ke lembaga perbankan.

Setelah itu krisis dianggap bisa teredam. ”Akan tetapi, gejolak muncul lagi, bahkan stabilitas tak bisa bertahan lama,” demikian laporan OECD pada September 2007. Kini yang muncul bukan sekadar kejatuhan harga- harga saham. ”Pasti ada yang salah dengan sistem keuangan global,” demikian OECD.

Masalahnya, setelah gejolak harga saham pada Juli 2007, ketahuan ekonomi AS sudah terancam resesi. Sektor perumahan yang menjadi penopang kebangkitan ekonomi AS sejak tahun 2001 telah terjun bebas.

IMF pun memperingatkan bahwa pada tahun 2007 ini pertumbuhan perekonomian AS global akan turun. Dengan penurunan kegiatan ekonomi, permintaan komoditas pun seharusnya turun. Namun, harga-harga komoditas malah naik.

Harga minyak mentah ringan mencapai 103,05 dollar AS per barrel di New York Mercantile Exchange, Jumat (29/2).

Kurs euro mencatatkan rekor tertinggi di bursa-bursa valuta asing di Eropa, yakni 1,5239 dollar AS per satu euro, Jumat.

Harga emas sekitar 976,32 dollar AS per ons, Jumat.

Harga perak mencapai harga rekor senilai 19,845 per ons, Kamis di New York.

Gandum mencatatkan harga rekor terbaru di Chicago, AS, sekitar 12,45 dollar AS per bushel.

”Sebagai ekonom sulit bagi saya menjelaskan semua ini. Saya tak mengerti fundamental di balik ini semua,” kata Dan Basse, Presiden AgResource, perusahaan yang bergerak di bidang riset sektor pertanian.

Menggasak komoditas

Basse tidak perlu heran. Para pelaku pasar, pengelola dana-dana investasi milik orang kaya sedang kelimpungan. Mereka bermain di sektor komoditas setelah instrumen investasi yang biasa sudah tak menguntungkan.

Untuk memaksimalkan keuntungan, bahkan untuk menutupi kerugian yang sempat terjadi, para fund managers mencari jenis investasi lain, yakni komoditas. ”Komoditas telah menjadi saran setelah investasi baru,” kata Victor Shum, analis energi Purvin and Gertz di Singapura.

Mereka berada dalam posisi sebagai pembeli komoditas walau secara nyata mereka tak membutuhkan semua itu. ”Orang-orang bertanya ke mana mereka hendak menempatkan uangnya,” kata Shawn Rubin, penasihat senior dari Smith Barney. ”Karena itu, setiap orang kini mengincar komoditas.”

Tujuannya hanya meraih keuntungan dari kenaikan harga di bursa. Berita di harian The Guardian, edisi Jumat (29/2), membuktikan hal itu.

Seorang pialang buruk dan tak bermoral (rogue trader) asal AS kedapatan bermain di pasar komoditas hingga melampaui batas risiko yang bisa ditanggung perusahaan tempat ia bekerja, MF Global. Perusahaan ini rugi 141,5 juta dollar AS karena memasang taruhan tinggi pada harga gandum, yang ternyata tak sesuai harapan. Evan Dooley, pedagang nakal itu, ketahuan bertindak terlalu jauh oleh pengelola Chicago Board of Trade.

Greg Wagner, analis senior dari AgResource, mengatakan, permainan pedagang ini telah membuka misteri di balik kenaikan harga komoditas.

Pedagang nakal bukan hanya Dooley. Dekade 1990-an ada Nick Leeson yang membangkrutkan Baring Bank Plc (Inggris).

Pada awal tahun 2008 ini, ada pedagang dari Societe Generale Bank (Perancis) bernama Jerome Kerviel, yang juga memainkan dana-dana SocGen di sekor perumahan AS.

Bisakah permainan seperti ini terus berlanjut? Laporan Cameron Hanover mengatakan, pendongkrakan harga tak akan bisa bertahan.

Shum memperingatkan akan terjadi koreksi walau belum tahu kapan. Masalahnya bukan itu lagi, yakni hal seperti ini tak bertahan. Walau akan terjadi koreksi harga, kerugian konsumen dunia sudah sempat bermunculan. Hari demi hari kantong terkuras. Bagaimana menghentikannya?

No comments: