Wednesday, March 5, 2008

Krisis Ekonomi (3)


IMF MASUK: AWAL MALAPETAKA BARU


Merasa tidak mampu dan tidak percaya diri menyelesaikan krisis yang ada, sejumlah pejabat pemerintah akhirnya memunculkan wacana untuk meminta pertolongan IMF. Bahkan banyak media massa dalam dan luar negeri yang saat itu memuat saran-saran agar Indonesia segera meminta pinjaman pada International Monetary Fund (IMF). Menurut saran-saran tersebut, pinjaman dari IMF diperlukan Indonesia untuk memulihkan krisis moneter yang saat ini terjadi.

Dalam Econit’s Public Policy Review (EPPR) 8 Oktober 1997, ECONIT secara tegas memperingatkan bahwa mengundang IMF hanya akan menjerumuskan Indonesia ke jurang krisis yang lebih parah. Dalam EPPR tersebut, ECONIT menganalogikan Indonesia ibarat orang sakit. Indonesia memang masih menghadapi sejumlah penyakit sehingga memerlukan perawatan di rumah sakit, baik karena adanya berbagai resiko ekonomi maupun akumulasi mis-judgment dan policy errors di bidang keuangan dan moneter. Tetapi dibandingkan Meksiko dan Thailand, fundamental ekonomi Indonesia jauh lebih baik sehingga Indonesia tidak memerlukan perawatan di bagian gawat darurat (ICU). Hanya negara-negara yang ekonominya sangat parah, yang status sakitnya sudah gawat darurat, yang memerlukan pinjaman IMF seperti halnya negara-negara Latin Amerika (1980-an), Meksiko (1995) dan Thailand (1997).

Pada minggu kedua Oktober 1997, ECONIT memetakan tahapan krisis yang dilalui Indonesia menjadi empat tahapan. Kondisi Indonesia saat itu sebetulnya masih dalam awal tahap tiga (lihat Gambar-1). Masih banyak langkah dan cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan krisis tersebut tanpa meminta pinjaman IMF.

Ketika itu, ECONIT juga menyampaikan ada dua kemungkinan kenapa Indonesia disarankan untuk meminta pinjaman IMF, meski kondisi Indonesia saat ini belum memerlukan perawatan gawat darurat tersebut.

Kemungkinan Pertama, pihak-pihak yang mengajukan saran-saran seperti itu (Widjoyo, dkk) dengan sengaja ingin menjerumuskan Indonesia ke dalam tahapan yang jauh lebih berbahaya, kemorosotan ekonomi lebih dalam, dan mempunyai implikasi sosial-politik yang sangat luas. Sejalan dengan pikiran seperti ini, usulan untuk membiarkan terjadinya cross-default, supaya kapok, menunjukkan sikap yang picik dan tidak negarawan, karena jika terjadi cross-default, maka ekonomi Indonesia akan dijerumuskan untuk minta pinjaman IMF. Seperti diketahui, cross-default akan mengakibatkan capital-outflow dadakan dalam jumlah besar, sehingga untuk menariknya kembali diperlukan pinjaman dari IMF.

Kemungkinan Kedua, pihak-pihak yang menyarankan keterlibatan IMF tersebut tidak memahami konsekuensi dan pengalaman historis dari negara-negara yang pernah meminta pinjaman IMF. Jelas pemberi saran-saran tersebut tidak memiliki pemahaman yang memadai terhadap berbagai kasus manca-negara yang pernah meminta pinjaman IMF [“Structuralist Macroeconomics”, Lance Taylor (1981)]. Mereka tidak menyadari bahwa pinjaman IMF tersebut mempunyai dampak negatif yang sangat luas, dalam bentuk penurunan pertumbuhan ekonomi yang sangat drastis, penurunan daya beli masyarakat dan konsumsi, dan peningkatan kemiskinan. IMF bukanlah “Dewa Penyelamat”, tetapi “Dewa Amputasi” yang akan melakukan amputasi di ruang gawat darurat dan kemudian memaksa si penderita melakukan diet yang ketat dengan konsekuensi berjangka panjang. Padahal seharusnya pasien tersebut tidak perlu diamputasi![6]

Dengan turbulensi ekonomi yang terjadi di Indonesia, kreditor-kreditor internasional mengalami kerugian akibat nilai Rupiah yang anjlok dan ketidakmampuan pengutang domestik untuk membayar cicilan utang. Penggunaan pinjaman IMF untuk menyelesaikan masalah ketidakmampuan pengutang Indonesia dalam membayar hutang tersebut justru hanya akan menguntungkan pihak kreditor dari lembaga-lembaga keuangan internasional. Sementara dalam jangka panjang, rakyat Indonesialah yang harus membayar pinjaman IMF tersebut dalam bentuk kontraksi aggregate demand dalam negeri yang berlebihan. Hanya dengan kontraksi aggregate demand tersebut kita bisa memperoleh surplus finansial sehingga dalam jangka panjang dapat membayar kembali kewajiban kepada IMF[7].

Dalam kaitan tersebut, menjadi pertanyaan :”Saran-saran untuk menerima IMF tersebut sebenarnya berpihak kepada kreditor luar negeri atau kepada kepentingan masyarakat Indonesia?” Kontraksi moneter jelas akan membantu menyelamatkan sejumlah kreditor dari kerugian akan tetapi kontraksi tersebut akan mempunyai dampak yang luas terhadap penurunan daya beli masyarakat, pergeseran pola kepemilikan asset diantara berbagai kelompok di masyarakat dan akan mempercepat laju 'penggusuran ekonomis' golongan pengusaha menengah dan lemah. Kontraksi moneter yang berlanjut akan mengakibatkan banyak perusahaan skala menengah kebawah mengalami kesulitan likuiditas dan memperbesar tingkat kebangkrutan mereka.

Sesungguhnya pemerintah sudah mulai melakukan beberapa langkah yang positif untuk memulihkan krisis moneter yang terjadi saat ini. Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, atas perintah Presiden Soeharto, padahal sudah pernah meminta kepada corporate borrowers yang tidak di-hedged untuk melakukan queueing (24 September, 1997). Tetapi sayangnya Mafia Berkeley justru dengan sengaja mengabaikan perintah untuk mengkoordinasikan corporate borrowers yang belum di-hedged untuk mengantri. Tidak aneh, jika peminjam swasta yang tidak di-hedged dan jatuh-tempo beramai-ramai membeli dollar pada awal Oktober 1997, sehingga rupiah anjlok tajam[8].

Seandainya ada beberapa corporate borrowers yang mengalami kesulitan untuk memperpanjang pinjamannya, pemerintah sebenarnya dapat membantu dengan membentuk komite negosiasi yang terdiri dari kalangan swasta, untuk mengusahakan agar pinjaman-pinjaman tersebut dikonversikan menjadi equity (debt to equity conversion/swap). Dengan cara debt to equity swap ini, maka masalah (i) pinjaman swasta yang berlebihan (over-leverage) dapat dikurangi, (ii) struktur modal perusahaan dapat lebih kuat dan (iii) besar kemungkinan bisa terjadi perbaikan manajemen di perusahaan-perusahaan Indonesia karena adanya keterlibatan asing dalam manajemen.

Masih banyaknya alternatif yang tersedia menunjukkan bahwa saran-saran untuk meminta pinjaman kepada IMF tersebut terlalu terburu-buru bahkan terkesan menunjukkan rasa percaya diri yang rendah dan tidak decisive. Di dalam suasana krisis, baik dalam bidang politik, militer ataupun ekonomi, yang diperlukan adalah tindakan-tindakan decisive. Kualitas dari leadership diuji dan ditentukan dalam mengatasi krisis.

Berdasarkan pengalaman di negara lain, banyak dari pasien IMF hanya sembuh sementara, untuk kemudian krisis kambuh kembali sehingga menjadi pasien IMF kambuhan (repeated patients). Banyak contoh kasus di Latin Amerika dan Afrika bagaimana obat IMF hanyalah obat generik yang tingkat efektivitasnya sangat rendah. Misalnya, Argentina yang telah menjadi pasien kambuhan IMF sejak tahun 1970-an kembali menghadapi krisis ekonomi. Besar kemungkinan Argentina akan melakukan default terhadap nilai utangnya sebesar US$130 miliar. Demikian juga halnya dengan Brazil, Paraguay, Turki, Rusia dan sebagainya. Mexico berhasil keluar dari siklus pasien kambuhan, bukan karena program IMF tetapi karena integrasi ekonomi dengan Amerika dalam konteks NAFTA.

Tetapi kekhawatiran ECONIT tersebut samasekali diabaikan. Pemerintah, yang diwakili Menteri Keuangan Marie Muhammad dan Gubernur BI Sudradjad Djiwandono tetap ngotot menandatangani Letter of Intent (LoI) yang pertama dengan IMF pada tanggal 31 Oktober 1997. Bahkan atas saran Mafia Berkeley yang dipimpin Widjojo Nitisastro, pada bulan Januari 1998 Presiden Soeharto menandatangani sendiri Letter of Intent (LoI), disaksikan Managing Director IMF, Michel Camdessus (lihat Gambar-2). Padahal, penandatangan perjanjian dengan IMF oleh Presiden nyaris tidak pernah terjadi. Sebab, biasanya yang menandatangani cukup Menteri Keuangan dan/atau Gubernur Bank Sentral. Tetapi Mafia Berkeley sengaja membujuk Presiden Soeharto yang menandatangani agar mereka di kemudian hari bisa “cuci tangan”.

Keterlibatan IMF kemudian membuat krisis ekonomi di Indonesia semakin parah dan mendalam. Akibat salah diagnosis dan salah obat, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 1998 minus 12,8 persen. Memang tanpa keterlibatan IMF, krisis ekonomi akan tetap terjadi. Tapi dengan skalanya yang relatif lebih kecil (pertumbuhan ekonomi antara minus 2 persen sampai 0 persen) pada tahun 1998.

Kebijakan yang disarankan IMF juga menjerumuskan Indonesia ke krisis yang lebih parah, seperti kasus likuidasi 16 bank pada bulan November 1997, yang memicu rush terhadap puluhan bank besar Indonesia seperti Bank BCA dan Bank Danamon, membuat kolaps sistem perbankan nasional, dan kian menenggelamkan nilai tukar rupiah.

Biaya sosial ekonomis dari krisis tersebut adalah kerusuhan sosial Mei 1998 (IMF-provoked riots). Dalam banyak kasus keterlibatan IMF di Amerika Latin dan Afrika, saran-saran IMF sering memicu demonstrasi besar-besaran, kerusuhan massal yang memakan korban jiwa, dan kejatuhan pemerintahan. Di samping itu, dalam kasus Indonesia, keterlibatan IMF meningkatkan puluhan juta pengangguran, kebangkrutan ekonomi nasional dan swasta, biaya rekapitalisasi bank lebih dari Rp 600 triliun, serta tambahan beban utang puluhan miliar dolar yang masih terasa hingga saat ini.

IMF juga memicu kerusuhan sosial melalui saran yang diberikan. Atas saran IMF, untuk memangkas subsidi BBM dan listrik, pemerintah menaikkan harga BBM antara 25 persen (minyak tanah) sampai 71 persen (premium) pada tanggal 4 Mei 1998. Selang sehari kemudian, ribuan mahasiswa di Makasar turun ke jalan dan terjadi bakar-bakaran untuk memprotes kenaikan harga BBM. Pada hari-hari berikutnya, aksi tersebut meluas ke Medan, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan puncaknya berakhir di Jakarta 12 Mei 1998. Akibat saran IMF tersebut, ratusan orang meninggal di seluruh Indonesia, ribuan luka-luka, ratusan gedung dan ribuan kendaraan hancur dan terbakar. Inilah contoh kesekian kalinya di negara berkembang: terjadi kerusuhan sosial akibat saran IMF (IMF provoked riots).

Ironisnya, Marie Muhammad yang merupakan salah satu tokoh kunci yang telah mengundang IMF ke Indonesia dan bahkan penuh semangat melaksanakan kebijakan IMF, belakangan justru menunjukkan sikap yang seakan-akan menghindar dari tanggung jawab. Dalam wawancara dengan di Majalah Tempo (Juli 2007), Marie Muhammad menyatakan bahwa “resep-resep yang diberikan IMF memang banyak yang kurang tepat karena IMF menyamakan permasalahan di semua negara” (lihat box). Pernyataan tersebut sungguh merupakan pernyataan yang sangat mengagetkan dan kontradiktif karena faktanya Marie Muhammad merupakan rekan kerja utama IMF yang sangat bersemangat dalam penentuan dan implementasi kebijakan ekonomi yang telah mengantarkan Indonesia masuk ke jurang krisis yang lebih dalam sepuluh tahun lalu.


PROSES RECOVERY SANGAT LAMBAN

Seperti disebutkan sebelumnya, Indonesia merupakan negara yang mengalami kontraksi ekonomi paling buruk pada saat krisis dibanding negara Asia lainnya. Namun dalam perjalanannya, Indonesia ternyata juga merupakan negara yang paling lambat dalam proses recovery ekonomi. Dibandingkan dengan Malaysia, Thailand dan Korea, kemajuan ekonomi pasca krisis yang dicapai Indonesia relatif paling lambat. Setahun setelah krisis, Korea langsung mencatat pertumbuhan ekonomi sekitar 9.5 persen Sementara Thailand dan Malaysia masing-masing mencatat pertumbuhan ekonomi 4.4 persen dan 6.6 persen pada tahun 1999. Pada tahun yang sama, ekonomi Indonesia justru mengalami stagnasi dan hanya tumbuh di bawah 1 persen.

Pemulihan cepat yang dicapai Korea tidak lepas dari langkah pemerintah Korea yang segera melakukan roll-over utang luar negeri bank-bank Korea dengan meminta bantuan Nouriel Roubini (Menteri Keuangan Amerika Serikat) dan Alan Greenspan (Gubernur Bank Sentral Amerika Serikat). Upaya tersebut telah menurunkan tekanan utang luar negeri Korea dan mengembalikan kepercayaan publik dan investor terhadap kredibilitas pengambil kebijakan. Dalam kasus Malaysia dan Thailand, segera setelah krisis ekonomi, kedua negara tersebut melakukan ekspansi moneter dan fiskal ala Keynesian seperti pembangunan infrastruktur, dsbnya untuk memompa peningkatan permintaan domestik (domestic demand).

Namun kebijakan yang diambil pemerintah Indonesia sangat bertolak belakang dengan berbagai langkah kebijakan yang diambil ketiga negara tersebut. Atas saran IMF, Indonesia justru melakukan transformasi utang swasta menjadi utang publik yang telah mendorong peningkatan drastis beban anggaran negara. Pemerintah juga melakukan pengetatan moneter dan fiskal hanya untuk menjamin tersedianya anggaran untuk membayar cicilan utang kepada kreditor termasuk IMF. Padahal ketika ekonomi sedang sekarat, pemerintah seharusnya mencari berbagai cara untuk memompa ekonomi, bukan malah memperlambatnya dengan mengetatkan kebijakan moneter dan fiskal. Tidak aneh jika Indonesia akhirnya mengalami pemulihan yang paling lambat di banding negara Asia lainnya.

Memang harus diakui, instabilitas politik dan keamanan yang terjadi pada tahun 1999-2000 turut memberikan andil dalam kelambanan proses pemulihan ekonomi tersebut. Namun salah obat dari IMF yang didukung oleh Mafia Ekonom Orde Baru[9] merupakan penyebab utama dari lambannya proses pemulihan tersebut. Salah obat IMF tersebut dapat dilihat dalam tiga tahap kebijakan sejak Oktober 1997, antara lain:

Pada tahap pertama, kebijakan yang disarankan IMF justru telah menciptakan ketidakstabilan finansial dan kebangkrutan. Ketidakstabilan tersebut terutama dipicu oleh kebijakan moneter super-ketat, ketika tingkat bunga antarbank meroket dari 20 persen menjadi sekitar 300 persen sejak kuartal ketiga 1997. Kebijakan moneter super-ketat tersebut menciptakan liquidity crunch dalam perbankan Indonesia karena banyak Bank mengandalkan sebagian likuditasnya dari pasar uang antar Bank. Kemudian saran IMF untuk menutup 16 bank tanpa persiapan yang memadai pada November 1997 justru telah membuat runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan domestik. Langkah ini segera memicu capital outflow sekitar US$5 miliar yang semakin menghancurkan nilai rupiah. Depresiasi rupiah yang tak terkendali tersebut dimungkinkan setelah sebelumnya kurs Rupiah diambangkan (free float) pada 14 Agustus 1997. Dalam suasana tidak stabil, sistem nilai tukar Rupiah free float justru semakin memicu capital outflow yang mendorong nilai tukar Rupiah semakin melemah. Akibatnya, dunia usaha menerima pukulan ganda, yang berasal dari depresiasi Rupiah dan tingkat bunga super tinggi tersebut. Buntutnya, perusahan-perusahan mengalami kesulitan likuiditas, yang diikuti oleh kebangkrutan masal dan terjadi belasan juta PHK .

Dalam kasus perbankan, IMF yang diundang untuk melakukan stabilisasi ternyata justru melakukan destabilisasi di sektor perbankan. Berbagai salah diagnosa dan salah obat IMF tersebut telah mendorong ekonomi Indonesia mengalami hard landing. Pada tahun 1998, ekonomi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 12,8 persen, terburuk sepanjang sejarah ekonomi Indonesia.

Tahap kedua adalah transformasi utang swasta menjadi utang publik. Saran IMF telah menciptakan kenaikan utang Pemerintah yang luar biasa besar, khususnya utang domestik yang sebelum krisis belum ada sama sekali. Sebelum krisis 1997, total utang Indonesia mencapai sebesar US$136 miliar, yang terdiri dari utang pemerintah sebesar US$54 miliar dan utang swasta sebesar US$82 miliar. Namun pada tahun 2001, utang luar negeri pemerintah meningkat menjadi US$74 miliar, ditambah utang domestik sebesar Rp647 triliun (sekitar US$65 miliar). Sedangkan utang swasta setelah krisis berkurang menjadi US$67 miliar karena percepatan pembayaran maupun restrukturisasi. Jumlah utang Indonesia saat itu sudah melebihi besarnya PDB Indonesia yang hanya sekitar US$150 miliar. Sebagai akibat dari krisis finansial dan salah obat IMF, utang Indonesia bertambah dua kali lipat selama empat tahun setelah krisis.

Pada tahap ketiga, berbagai akibat dari salah obat IMF mulai berdampak luas pada APBN. Untuk tahun APBN 2002 misalnya, pembayaran utang dalam APBN mencapai sekitar US$13 miliar (Rp 130 triliun) baik untuk pembayaran utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Anggaran untuk pembayaran utang tersebut lebih dari tiga kali gaji seluruh pegawai negeri dan TNI, dan lebih dari 8 kali anggaran pendidikan. Besarnya utang dalam negeri sangat terkait dengan kebijakan moneter yang dianut oleh Bank Indonesia. Atas petunjuk IMF, BI terlalu yakin bahwa pengendalian inflasi hanya bisa dilakukan melalui pengetatan moneter dengan menaikkan tingkat suku bunga SBI. Padahal sebagian besar kenaikan inflasi terjadi karena kenaikan harga yang dilakukan oleh pemerintah. Karena itu inflasi tidak sepenuhnya akibat faktor moneter. Tetapi di pihak lain, kebijakan pengetatan moneter yang diyakini BI tersebut menyebabkan beban APBN semakin membengkak. Saat itu, setiap kenaikan suku bunga SBI sebesar 1 persen telah menaikkan defisit APBN sebesar Rp2,3 triliun.

Dengan beban APBN sangat besar tersebut, Pemerintah dihadapkan pada pilihan sulit. Untuk menurunkan defisit terpaksa diambil berbagai kebijakan yang tidak populer, bahkan sangat membebani publik. Selain kenaikan pajak, tarif listrik dan harga BBM, pemerintah juga mendapatkan tekanan untuk menjual secepatnya aset BPPN dan BUMN dengan harga murah. Kasus BCA pada tahun 2002 merupakan contoh menarik, dimana dengan target harga penjualan sekitar Rp 5 triliun, APBN tetap akan menanggung beban bunga rekapitalisasi BCA antara Rp7-8 triliun dari tahun ke tahun jika obligasi rekapnya tidak ditarik.

Kebijakan mafia ekonom Orde Baru yang didukung IMF, dengan mengandalkan utang ketimbang investasi dalam pembangunan telah menjerat ekonomi Indonesia ke jebakan utang (debt trap) yang lebih dalam. Akibat resep-resep IMF yang salah dan dipaksakan kepada Indonesia, negara mengambil alih sebagian besar utang tambahan, termasuk mengambil alih beban yang semestinya dipikul sektor swasta akibat kebijakan BLBI (Rp. 144 triliun) maupun rekapitalisasi perbankan. Bahkan kasus BLBI tercatat sebagai skandal keuangan terbesar dalam sejarah ekonomi Indonesia.

<<>>

No comments: