Babak Baru Krisis Finansial Global
Jumat, 28 Maret 2008 | 00:59 WIB
Hari-hari ini dunia dibuat terus berdebar menyaksikan perkembangan di Amerika Serikat (AS). Semua menunggu langkah apa lagi yang akan ditempuh Pemerintah maupun Bank Sentral AS (Fed) atau bank-bank sentral negara maju lain, untuk mencegah kian meluasnya gejala krisis finansial global yang bermula dari krisis kredit macet perumahan (sub-prime mortgage) di AS.
Sejak krisis kredit macet perumahan merebak pada Juli 2007, sudah banyak langkah ditempuh The Fed dan pemerintahan Presiden George W Bush untuk mencegah resesi ekonomi AS dan meredam kepanikan di pasar finansial. Termasuk serangkaian pemotongan suku bunga secara maraton, peluncuran paket stimulus ekonomi senilai 163 miliar dollar AS, dan injeksi likuiditas ke sistem finansial.
Dampak krisis kredit perumahan bukannya mereda, justru meluas dari pasar kredit ke sistem perbankan dan keuangan secara keseluruhan. Bahkan ke seluruh sektor perekonomian, dan berpotensi memicu resesi ekonomi dan krisis finansial global yang lebih luas.
Berbagai statistik seperti pertumbuhan industri dan angka pengangguran, menunjukkan resesi di AS sudah terjadi. Beberapa kalangan, termasuk mantan Menteri Keuangan AS Robert Rubin, mantan pimpinan Fed Alan Greenspan dan Dana Moneter Internasioanl (IMF) sudah mengingatkan kemungkinan situasi lebih buruk ke depan. Presiden Federal Reserve New York Tim Geithner bahkan terus terang mengakui Amerika mengalami financial meltdown.
Padahal, pada Agustus 2007 mereka masih meyakinkan bahwa krisis perumahan tidak akan menyebar ke sektor pasar uang lainnya atau perekonomian secara keseluruhan. Faktanya, sejak itu kepanikan melanda seluruh pasar finansial. Investor berebut hengkang dari pasar. Aksi rush (bank run) ini membuat seluruh sistem finansial tak berfungsi. Krisis likuiditas juga membuat perekonomian lumpuh. Sejumlah bank besar atau hedge fund yang bermain sekuritas berbasis sub-prime mortgage (mortgage-backed securities/MBS) yang macet, kolaps atau dalam kesulitan keuangan.
Langkah Fed menginjeksikan likuiditas 200 miliar dollar AS melalui fasilitas Term Auction Facility (TAF) ke pasar uang dan menyelamatkan bank investasi raksasa Bear Stearns (lewat akuisisi oleh JP Morgan Chase yang didukung pendanaan dari Fed) Maret lalu, semakin membuktikan sistem perbankan AS memang sudah bangkrut. Bahkan ada yang mengibaratkan institusi finansial AS saat ini sebagai zombie, secara teknis sudah mati, tetapi masih beroperasi.
Lewat skema itu, Fed juga mensinyalkan pihaknya tak akan segan intervensi langsung di pasar modal untuk mencegah terus bergugurannya harga saham. Padahal jelas, intervensi di pasar modal bukan mandat bank sentral. Secara tak langsung, langkah itu juga menunjukkan kepanikan bank sentral dari perekonomian terbesar di dunia itu. Indikasi lain kepanikan Fed adalah penurunan suku bunga hari Minggu (23/3) saat semua libur.
Kehabisan amunisi
Berbagai langkah pemerintah AS dan Fed untuk sesaat memang menenangkan pasar dan indeks saham sempat rebound, meski tak bertahan lama. Ini menunjukkan pemotongan suku bunga saja tak cukup.
Demikian pula, beberapa kebijakan menginjeksikan likuiditas ke sistem finansial dan perbankan yang mengalami krisis likuiditas melalui sejumlah instrumen. Beberapa ekonom melihat ini sebagai bentuk bailout de facto oleh Fed dan membuat Fed berubah menjadi semacam tempat penggadaian MBS.
Langkah itu pun takkan banyak menolong, mengingat outstanding sub-prime mortgage mencapai 11 triliun dollar AS.
Krisis yang melanda perbankan, pasar saham dan pasar uang AS menandai babak baru krisis finansial global. Sejumlah analis mengatakan ini menunjukkan sistem finansial global telah gagal. Dampak krisis di AS juga berimbas ke perbankan dan lembaga investasi di negara lain.
Sejumlah bank investasi lain diprediksikan akan menyusul Bear masuk dalam ruang perawatan Fed. Bear juga bukan bank pertama yang kesulitan keuangan. Sebelumnya Citigroup Inc, Merril Lynch dan Morgan Stanley juga dipaksa meminta bailout dari investor luar, termasuk lembaga investasi milik pemerintah asing.
Too big to fail?
Untuk menyelamatkan Bear Stearns, Fed menyediakan dana 30 miliar dollar untuk mendukung akuisisi Bear oleh JP Morgan Chase. Nilai akuisisi itu hanya 1 persen dari nilai Bear tiga pekan sebelumnya, atau diskon 93,3 persen dari nilai kapitalisasi Bear per 14 Maret dan 98,8 persen dari nilai buku per 29 Februari. Harga saham Bear yang pernah mencapai level tertinggi 159,36 dollar, 14 Maret lalu hanya ditutup pada 30 dollar.
Kenapa Fed harus menyelamatkan Bear? Ambruknya Bear bisa memicu krisis kepercayaan yang lebih besar, karena memiliki keterkaitan dengan sejumlah lembaga keuangan lain.
Kolapsnya Bear berpotensi memicu krisis kepercayaan yang lebih besar dibandingkan saat terjadinya krisis Long Term Capital Management (LTCM--hedge fund raksasa yang ambruk karena transaksi derivatif tahun 1998). Krisis LTCM waktu itu juga nyaris merontokkan sistem perbankan global dan memaksa Fed melakukan bailout. Nilai pokok kredit macet di Bear ini mencapai 900 miliar dollar AS atau tujuh kali lipat LTCM.
Apalagi, makroekonomi AS kini jauh lebih rentan dibandingkan saat krisis LTCM. Sebagai perbandingan, defisit transaksi berjalan yang dulu 2 persen, sekarang 8 persen. Rasio utang pasar kredit terhadap PDB dulu sekitar 250 persen, sekarang 330 persen. Rasio utang rumah tangga dulu 65 persen terhadap PDB, sekarang 100 persen. Utang kartu kredit rumah tangga saja menurut The Center for American Progress sudah mencapai 790 miliar dollar AS, empat kali lipat dalam satu dekade.
Yang pasti, sejak krisis sub-prime merebak Juli 2007, indeks harga saham global sudah jatuh lebih dari 10 persen. Kerugian akumulatif 5 triliun dollar lebih. Bank dan lembaga keuangan kian pelit menyalurkan kredit. Terjadi pula krisis likuiditas yang luar biasa di seluruh sistem finansial.
Monday, March 31, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment