Suksesi BUMN dan Aborsi Perubahan
Senin, 10 Maret 2008 | 02:40 WIB
Oleh Rhenald Kasali
Setiap menghadapi suksesi, perubahan di badan usaha milik negara selalu menimbulkan ketidakpastian. Semua ini terjadi di era keterbukaan, diwarnai ”percobaan” campur tangan yang mengakibatkan suksesi tidak berpola, bak bola liar yang diikuti perubahan komposisi, strategi, kebijakan, dan kebingungan. Inisiatif perubahan bisa mengalami aborsi, tamat sebelum berkembang.
Perubahan seperti itu sangat tidak menguntungkan bagi bangsa ini. Menimbulkan perpecahan luar-dalam, merembet pada kinerja dan disiplin, memusnahkan harapan menjadikan badan usaha milik negara (BUMN) lokomotif ekonomi nasional, penarik gerbong-gerbong kesejahteraan.
Saat berbulan madu dengan usaha kecil menengah (UKM) hendaknya Indonesia tidak terlena, sebab bangsa besar juga memerlukan powerhouse (sosok korporasi besar, yang menimbulkan impak ekonomi luar biasa dan iconic). Di belakang lokomotif itu berjajar ribuan UKM yang mengisi mata rantai usaha, mulai dari pasokan suku cadang hingga catering.
Maka, setiap kali berbicara tentang Malaysia, kita tidak bisa lepas dari Petronas, Arab Saudi dengan Aramco, China dengan Sinopec, CNP (keduanya di bidang migas) dan State Grid (listrik), Korea Selatan dengan Samsung, dan seterusnya.
Bagaimana Indonesia? PT PLN (47.500 karyawan) dan Pertamina (18.500 karyawan) adalah contoh bakal powerhouse. PLN mempunyai basis pelanggan sebesar 33,4 juta, sedangkan Pertamina memiliki lebih dari 3.000 stasiun pompa bensin dengan omzet mendekati Rp 1 triliun setiap harinya dan pada tahun 2006 labanya Rp 19 triliun. Wilayah operasi keduanya hingga ke daerah-daerah yang sulit dijangkau dan secara ekonomi kurang diminati para kapitalis.
Keduanya juga tengah bergulat dengan perubahan. PLN didorong UU No 20/2002, sedangkan Pertamina dipicu oleh UU No 22/2001, yang memaksa beralih dari monopoli kepada persaingan. Resistensi pun bergema di mana-mana. Rasa takut, cemas, tidak senang, menyangkal, selalu muncul.
Geliat kecemasan itu bermuara setiap kali terjadi suksesi. Minggu-minggu ini kita menyaksikan suksesi di kedua powerhouse itu, dan geliat ”percobaan” campur tangan pun tak dapat dihindari, dengan potensi: aborsi.
Resistensi dan ”politics”
Dalam setiap perubahan, resistensi ibarat membangunkan orang lebih pagi dengan memasang alarm. Namun, begitu berbunyi, orang tidak segera bangun, melainkan mematikan alarm dan kembali tidur. Pikiran sadar dan bawah sadar belum sejalan. Apalagi jika alarm itu dinyalakan orang lain, dan yang dibangunkan tidak mengerti mengapa itu terjadi.
Demikianlah perubahan BUMN bukanlah hal mudah. Semua orang merasa dirinya looser karena dituntut lebih, sementara kenikmatan lamanya harus dibuang.
Di Pertamina sendiri pergulatan perubahan terjadi pasang surut. Dulu Ibnu Sutowo bisa berkuasa 19 tahun (1957-1976), Faisal Abdaoe 10 tahun (19881998). Namun, sejak 1998, pergantian direksi terjadi enam kali. Soegijanto (9 bulan), Martiono Hadianto (1 tahun 2 bulan), Baihaki Hakim (3 tahun 6 bulan), Ariffi Nawawi (10 bulan), Widya Purnama (1 tahun 7 bulan), dan kini Ari Sumarno (sejak 2006).
Bisa dibayangkan apa jadinya kalau pemegang saham aktif bongkar pasang, sementara medannya berubah begitu cepat. Di dalam negeri dicaci maki bangsa sendiri, dari luar negeri dijadikan sasaran akuisisi. Aborsi perubahan bukan hanya karena kebingungan, melainkan memudarnya disiplin. Di setiap titik BUMN yang tengah berubah selalu ditemui komentar, ”buat apa susah-susah berubah, toh sebentar lagi direksinya diganti”.
Karakter perubahan BUMN
Jika rata-rata perubahan di korporasi swasta dipacu lapisan kedua atau ketiga, maka di BUMN motornya selalu berada di puncak. Segala sesuatu diatur dari atas, bahkan harga pasar ditetapkan dengan SK Dirut. Semua orang menghendaki kepastian, dan semuanya harus patuh pada prosedur, padahal perubahan terjadi sepanjang hari.
Aset negara dan aset perusahaan sulit dipisahkan sehingga sarat dengan pemeriksaan dan campur tangan hukum. Yang merepotkan lagi, pada masa lalu terdapat tradisi masing-masing direksi belum saling mengenal sebelum pelantikan sehingga sulit mengharapkan dukungan penuh dari tim.
Dengan karakter yang demikian, perubahan yang dicanangkan seorang pemimpin BUMN rawan aborsi. Di awal tulisan ini saya menyebut suksesinya rawan ”percobaan” campur tangan karena kepemimpinannya punya ”multi-stakeholders” yang harus melayani pesanan berbagai pihak. Berbagai kekuatan politik mencari hubungan koneksi dengan perusahaan, atau sebaliknya, orang-orang yang mau menjadi direksi membangun koneksi politik. Akibatnya, perubahan dapat menjadi mission impossible.
Momentum perubahan
Perubahan di Pertamina minggu-minggu ini seperti menemukan kembali momentumnya saat Ari H Sumarno yang menunjukkan kinerja terpilih kembali. Ari memperoleh pendidikan internasional dengan kepercayaan diri kuat, berkarier di dalam dengan eksposur jaringan internasional sehingga tahu bisnis luar-dalam. Kepemimpinan perubahannya tidak perlu diragukan.
Kisah sukses dari para pendahulu Ari di BUMN menyebutkan pentingnya positive alignment antara kementerian dan BUMN. Saat diangkat dua tahun lalu, Ari Sumarno cuma minta syarat agar diizinkan melakukan perubahan mendasar, tetapi itu hanya bisa dilakukan kalau ia memiliki tim sejalan.
Dua tahun lalu kesempatan itu belum ada. Tetapi, di era Sofyan A Djalil, mulai ada kebijakan direksi harus satu tim. Secara manajerial, syarat full alignment, vertikal (dari visi ke operasional) maupun horizontal (dari proses yang melewati sejumlah direksi ke stakeholder, pemangku kepentingan) terpenuhi. Kebijakan ”satu tim” ini sekaligus mengakhiri kepercayaan menjadi direksi di Pertamina harus punya koneksi politik, bukan kinerja. ”Percobaan” aborsi berupa campur tangan yang dikhawatirkan tak mendapat tempat dan selamatlah janin perubahan yang dikandung.
Kalau semua tangan gatal menahan diri, bukan mustahil Indonesia punya lokomotif ekonomi besar yang powerful. Syaratnya: pilih yang terbaik, beri kepercayaan, tuntaskanlah perubahan dengan positive alignment.
No comments:
Post a Comment