Monday, March 10, 2008

Budaya Suap dan Amplop



Judul di atas kita tangkap dari pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Birokrat bukan malaikat, dalam Forum CEO Kompas100, Rabu (5/3).

Pertama diucapkan oleh seorang pejabat yang sehari-hari bergelut dengan bidang fiskal. Kedua, sosok dan kinerjanya menampilkan kerja keras, lugas, tegas, dan bersih.

Menkeu mengambil inisiatif lembaga yang dipimpinnya sebagai perintis reformasi birokrasi, di antaranya dengan gaji dan insentif yang memadai sehingga tidak ada alasan pegawainya korup. Kalaupun masih terjadi, kebangetan, birokrasi pemerintah barangkali tidak cocok bagi pegawai bersangkutan.

Tidak mengacu pada kasus jaksa Urip Tri Gunawan, tidak berlatar belakang disiplin hukum tetapi intensitas pengalamannya, ia memberikan saran. Para pelaku usaha jangan memanjakan dan merusak birokrasi. Jika terus digoda, seberapa baiknya birokrat lama-lama akan hancur.

Kasus suap, amplop, atau lebih tepatnya nomor rekening, melibatkan setidaknya dua pihak. Yang menyuap dan yang mau dan akan disuap. Meminjam istilah Menkeu, praktik suap dilegitimasi budaya kita.

Pepatah do ut des (saya beri supaya engkau beri) tepat kita kutip. Setiap pemberian memuat pamrih. Mulai dari tanda terima kasih, kadeudeuh, hingga bayar budi atau uang sogok. Apa petunjuk praktisnya? Kita kutip lagi saran Menkeu, ”benahi secara fundamental attitude, mindset, dan kultur semua pihak”.

Saran itu mungkin tidak baru. Namun, mewacanakan korupsi berikut kaitan-kaitannya perlu, tetapi lebih perlu penegakan hukum dan menjauhkan iming-iming suap. Zaman edan dan zaman kalabendu Ronggowarsito yang diingatkan Dr Kehormatan WS Rendra masih berlanjut sekarang. Harapan terciptanya zaman kalasuba (kemakmuran untuk rakyat) harus dan bisa dipercepat.

Terkikisnya budaya korup, suap, dan amplop-amplopan bisa dilakukan serentak: penegakan hukum, dukungan kepada lembaga peradilan secara khusus Komisi Pemberantasan Korupsi, dan mengembangkan kebiasaan jauh dari semangat sekaligus praktik do ut des. Kebiasaan menerima hasil sebagai buah kerja keras secara jujur tidak kalah penting dari penegakan hukum tidak tebang pilih atau pandang bulu.

Dekonstruksi mental perlu dilakukan, dan jangan direcoki pernyataan-pernyataan menghibur, seperti berkurangnya praktik korupsi. Zaman kalasuba perlu kita rebut, tidak sekadar ditunggu sambil dininabobokan dengan praktik dan korupsi lewat tangan-tangan tersembunyi.

No comments: