Saturday, March 22, 2008

BI Waspadai Harga Komoditas

Ada Dua Kekuatan yang Tarik-Menarik
Sabtu, 22 Maret 2008 | 01:12 WIB

Jakarta, Kompas - Bank Indonesia menilai kenaikan harga komoditas yang terjadi saat ini bila berlangsung terus-menerus berpotensi menimbulkan gelembung atau bubble ekonomi. Kenaikan harga komoditas juga cenderung mendorong pelemahan nilai tukar rupiah.

”Kami terus memonitor perkembangan harga-harga komoditas. Secara teoretis harus ada keseimbangan pasokan dan permintaan agar harga tidak naik terus,” kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A Sarwono, Jumat (21/3) di Jakarta.

Menurut Hartadi, selama tidak ada tambahan suplai, harga komoditas akan terus naik. ”Kalau ini terus berlangsung, itu berarti tidak sustain dan bisa menyebabkan bubble,” ujarnya.

Gelembung ekonomi itu, lanjut Hartadi, amat berbahaya karena risikonya sangat besar jika terjadi koreksi. Pecahnya gelembung ekonomi sulit diantisipasi dan biasanya akan membuat perusahaan merugi besar-besaran. Gelembung ekonomi ini berpotensi menimbulkan krisis.

Meroketnya harga komoditas membuat banyak investor cenderung memindahkan asetnya, yaitu dari surat berharga ke komoditas pangan dan migas, seiring tingginya harga komoditas bersangkutan.

Dampak dari sikap para investor ini, kata Hartadi, membuat harga komoditas primer menjadi sangat tinggi, bahkan akan semakin tinggi sehingga melebihi harga yang seharusnya.

Beberapa komoditas pangan yang juga diolah menjadi biofuel, yang menjadi alternatif bahan bakar minyak, melambung sangat tinggi seiring dengan naiknya harga minyak dunia. Komoditas itu antara lain kelapa sawit, jagung, gandum, dan kedelai.

Tingkatkan pasokan

Hartadi mengatakan, salah satu cara untuk meminimalkan potensi pecahnya gelembung ekonomi adalah dengan meningkatkan pasokan komoditas tersebut.

”Sejumlah negara mulai meningkatkan produksi komoditas pangan. Indonesia seharusnya juga melakukan hal yang sama. Bahkan bukan hanya komoditas pangan, tetapi juga minyak, gas, panas bumi, dan sebagainya,” ujar Hartadi menyarankan.

Potensi sumber daya alam yang dimiliki, menurut Hartadi, seharusnya kenaikan harga komoditas tidak menjadi kendala bagi perekonomian Indonesia. ”Namun justru menjadi manfaat untuk perekonomian dalam negeri,” katanya.

Menanggapi terjadinya gelembung ekonomi akibat kenaikan harga komoditas dan sikap para investor yang mengalihkan investasinya ke komoditas, pengamat perbankan Dradjad Wibowo mengingatkan agar perbankan mulai berhati-hati menyalurkan kredit ke sektor perkebunan dan pertambangan. Sepanjang tahun 2007 kredit untuk kedua sektor tersebut tumbuh paling pesat.

Adapun mengenai nilai tukar rupiah, Hartadi berpendapat bahwa ada dua kekuatan yang tarik-menarik, memengaruhi nilai tukar. Dua kekuatan tersebut adalah resesi ekonomi Amerika Serikat dan tingginya harga komoditas.

Resesi AS, kata Hartadi, telah mendorong penguatan mata uang negara lain, termasuk Indonesia. Sementara tingginya harga komoditas membuat investor asing mengalihkan aset rupiahnya ke aset komoditas di pasar internasional.

”Pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2008 juga menambah ketidakpastian. Dampaknya rupiah tertekan,” tutur Hartadi.

Kendati demikian, Hartadi meyakini kondisi tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia sebab nilai cadangan devisa terus membesar. Membesarnya nilai cadangan devisa merupakan dampak dari meningkatnya pendapatan dari ekspor minyak. Cadangan devisa ini digunakan untuk menstabilkan nilai tukar rupiah.

”Jadi upaya menstabilkan nilai tukar rupiah tidak terlalu memakan ongkos besar. Bahkan manfaat yang dirasakan jauh lebih besar,” kata Hartadi.

Kestabilan nilai tukar rupiah, menurut Hartadi, berguna untuk meredam inflasi yang berasal dari impor (imported inflation).

Selain itu, stabilnya nilai tukar rupiah membuat BI tidak perlu lagi menerbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk menarik likuiditas rupiah dari pasar.

”Kami melakukan kontraksi rupiah dengan melepas valuta asing ke pasar,” kata Hartadi. (FAJ)

No comments: