Friday, March 14, 2008

Cina Sebagai Model Keberhasilan

Ian Buruma

04 Pebruari 2008

Tahun 2008 ini bakal menjadi Tahun Cina. Pesta Olimpiade--yang direncanakan nyaris sempurna, tanpa pengunjuk rasa, tanpa tunawisma, tanpa pembangkang agama atau perusak suasana macam apa pun lainnya--bakal makin meningkatkan prestise global Cina. Sementara ekonomi Amerika makin terpuruk ke dalam rawa-rawa kredit macet di bidang properti, Cina terus mengalami booming. Gedung-gedung baru yang menjulang tinggi, yang dirancang arsitek-arsitek paling kesohor di dunia, membuat Beijing dan Shanghai menjadi contoh modernitas abad ke-21. Makin banyak warga Cina yang masuk daftar tahunan orang-orang paling kaya di dunia. Dan makin banyak perupa Cina yang karya-karyanya berkibar di balai-balai lelang seni internasional yang membuat iri rekan-rekannya di bagian dunia lainnya.

Berubah totalnya Cina hanya dalam satu generasi dari negara yang nyaris jatuh dalam jurang kemelaratan dan dalam cengkeraman tirani yang berdarah merupakan prestasi yang luar biasa, dan Cina pantas diberi salut. Tapi kisah keberhasilan Cina ini juga merupakan tantangan paling serius yang dihadapi demokrasi liberal sejak era fasisme pada 1930-an.

Bukan karena Cina merupakan ancaman militer yang besar--perang dengan Amerika Serikat, atau bahkan dengan Jepang, yang cuma khayalan dalam otak segelintir ultranasionalis yang kecewa dan sinting. Di dalam kerangka pertarungan gagasan inilah model politik dan ekonomi yang ditawarkan Cina, tanpa mempersoalkan konsekuensinya terhadap lingkungan, telah mencatat kemenangan dan menjadi alternatif yang menarik ketimbang kapitalisme liberal demokratis.

Dan alternatif yang riil. Tidak seperti yang dikatakan sementara pakar, kapitalisme Cina tidak seperti kapitalisme Eropa abad ke-19. Benar bahwa 200 tahun yang silam kelas pekerja Eropa, apalagi kaum wanitanya, tidak punya hak memilih. Tapi bahkan dalam fase paling kejamnya kapitalisme Eropa, masyarakat madani di Eropa dan Amerika Serikat itu terdiri atas organisasi-organisasi yang bebas dari campur tangan negara--gereja, klub, partai, perkumpulan, dan perhimpunan yang terbuka bagi semua kelas masyarakat.

Di Cina, sebaliknya, walaupun individu sudah memperoleh kebebasan pribadi sejak berakhirnya Maoisme, mereka tidak bebas bergabung dalam organisasi yang tidak dikendalikan Partai Komunis. Walaupun ideologi komunis sudah bangkrut, Cina tidak berubah dalam hal ini.

Model keberhasilan Cina kadang-kadang digambarkan dalam bahasa tradisional, seolah-olah dunia perpolitikan Cina itu merupakan versi Konfusianisme yang diperbaharui. Namun, suatu masyarakat di mana pengejaran kekayaan materi oleh elite diletakkan di atas segala upaya manusia sama sekali bertolak belakang dengan Konfusianisme yang mungkin pernah berkembang di Cina di masa lalu.

Meskipun demikian, memang sulit berargumentasi dengan keberhasilan. Jika ada sesuatu yang telah terkubur dengan semakin kayanya Cina, itu adalah pandangan yang mengatakan bahwa kapitalisme, dan tumbuhnya kelas menengah yang makmur, pasti akan melahirkan demokrasi liberal. Sebaliknya, justru kelas menengah, yang telah dibeli dengan janji perolehan materi yang semakin besar, itulah yang berharap mempertahankan pranata politik yang ada sekarang. Ia mungkin menjadi semacam perjanjian dengan setan dalam Opera Faust--kemakmuran dibayar dengan kepatuhan politik--tapi yang sejauh ini terbukti berhasil.


Model keberhasilan Cina menarik bukan hanya bagi elite baru yang hidup di kota-kota pantai Cina, tapi juga punya daya tarik global. Diktator-diktator Afrika--sesungguhnya, diktator-diktator lainnya juga di dunia--yang disambut dengan hamparan karpet merah saat menginjakkan kakinya di Beijing, menyukainya. Karena model keberhasilan Cina ini bukan datang dari Barat, dan Cina tidak mengkuliahi negara-negara lainnya untuk menganut demokrasi, Cina juga merupakan sumber keuangan yang melimpah, yang banyak di antaranya akhirnya masuk ke kantong-kantong tiran. Dengan membuktikan bahwa rezim yang otoriter bisa berhasil, Cina menjadikan dirinya contoh bagi otokrat di mana-mana, dari Moskow sampai Dubai, dari Islamabad sampai Khartoum.

Daya tarik Cina bergema juga di dunia Barat. Para pengusaha, raja-raja media, dan arsitek-arsitek semua berlomba-lomba datang ke Cina. Apakah ada negara yang lebih memikat untuk berbisnis, membangun stadion dan pencakar langit, atau menjual teknologi informasi serta jejaring media, daripada suatu negara tanpa serikat buruh yang bebas atau bentuk protes apa pun yang dapat mengurangi laba usaha? Sementara itu, kepedulian akan hak asasi manusia diturunkan derajatnya semata-mata sebagai ekspresi imperialisme Barat yang arogan atau yang sudah ketinggalan zaman.

Namun, tidak ada gading yang tidak retak. Tidak ada ekonomi yang tumbuh selamanya dengan kecepatan yang sama. Krisis bisa terjadi. Bagaimana jika perjanjian yang dibuat antara kelas menengah dan negara satu partai di Cina itu berantakan, karena terjadinya jeda atau bahkan kemunduran dalam perlombaan mengejar kekaryaan materi ini?

Contohnya ada. Contoh paling dekat, dalam beberapa aspek, dengan model keberhasilan Cina ini adalah Jerman pada abad ke-19. Dengan kekuatan industrinya, dengan kelas menengahnya yang mandul secara politis, dan dengan kecenderungannya ke arah nasionalisme yang agresif, menjadi sesuatu yang mematikan ketika ekonomi ambruk dan keresahan masyarakat mengancam pranata politik.

Hal yang sama bisa terjadi di Cina di mana kebanggaan nasional tidak henti-hentinya mendorong negeri itu ke arah permusuhan terhadap Jepang, Taiwan, dan ujung-ujungnya juga terhadap Barat. Nasionalisme Cina yang agresif bisa mengancam juga jika laju pertumbuhan ekonominya tersendat.

Situasi seperti ini tidak menguntungkan siapa pun. Karena itu, kita harus berharap Cina terus mengalami pertumbuhan pada 2008 ini, seraya memberikan perhatian kepada para pembangkang, jiwa-jiwa merdeka yang sekarang masih meringkuk dalam penjara dan kamp kerja paksa. Kita berharap mereka dapat menyaksikan hari ketika rakyat Cina, juga, menikmati kebebasan. Semua ini mungkin masih merupakan mimpi yang jauh, tapi mimpi itulah yang dijanjikan tahun baru ini.


Ian Buruma, profesor hak asasi manusia pada Bard College. Hak cipta: Project Syndicate, 2008.



















 

No comments: