Mengenal bermacam-macam akad pembiayaan sesuai dengan syariah Islam
Ada bermacam-macam jenis transaksi dalam sistem syariah. Umumnya akad syariah terbagi dua: bersifat tetap dan tidak tetap. Nasabah bisa memilih jenis akad yang cocok berikut segala konsekuensi kewajibannya.
Pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia begitu subur. Selain bank, beberapa perusahaan keuangan lain, seperti asuransi dan lembaga pembiayaan (multifinance), juga mulai menggunakan sistem syariah dalam mengoperasikan bisnis mereka. Semua itu menandakan bahwa nasabah yang kesengsem dengan sistem islami semakin banyak. Bahkan, konon, sebagian nasabah adalah nonmuslim.
Memang, tak ada batasan nasabah dalam perbankan syariah. Yang penting, kalau menyangkut pembiayaan atawa kredit, nasabah berjanji tidak menggunakan dana untuk membiayai hal-hal yang dilarang tuntunan Islam. Membangun pabrik minuman keras, membuka hotel jam-jaman, atau membuka arena judi adalah contohnya.
Meski nasabah pembiayaan syariah semakin banyak, tentu saja, tak semua paham benar mengenai akad-akad pembiayaan syariah yang mereka sepakati. Nasabah acap cuma menanyakan hal-hal yang dianggap perlu mereka ketahui. "Biasanya mereka hanya menanyakan akad ini dalam sistem bank konvensional disebut apa?" tutur N.R.S. Mila Garmila, Pemimpin Cabang Syariah Bank Bukopin. Atau, bila berurusan dengan imbal hasil, nasabah sekadar mencari tahu besarnya angka nisbah lalu membandingkannya dengan bunga yang ditawarkan bank konvensional.
Padahal, mestinya, nasabah bisa lebih selektif dalam menyepakati sebuah akad pembiayaan. Soalnya, belum tentu produk pembiayaan syariah tertentu sesuai dengan kebutuhan dia. Mungkin satu akad lebih menguntungkan bagi seorang nasabah ketimbang akad yang lain. Dengan mengetahui seluk-beluk akad syariah, nasabah juga bisa membanding-bandingkan dengan produk bank atau lembaga keuangan syariah yang lain. Dengan begitu, sebelum menyepakati sebuah akad berikut segala konsekuensinya, nasabah bisa menimbang-nimbang kemungkinan untuk menyepakati akad lain yang lebih yahud.
Nah, untuk itu, kembali KONTAN mengajak Anda untuk berkenalan dengan berbagai macam akad yang lazim dipakai dalam industri keuangan syariah tersebut. Sebagian akad lebih populer ketimbang yang lain. Boleh jadi, ada akad syariah yang jarang atau malah belum pernah dipakai di Indonesia. Tak apalah, hitung-hitung kita memperluas wawasan seputar akad-akad syariah.
Menurut Adiwarman Karim, pakar syariah dan pendiri Karim Bussines Consulting, secara umum transaksi atau akad di bank syariah terbagi menjadi dua: akad yang sifatnya pasti karena cicilannya tetap dan ditentukan di muka (natural certainty contract); serta akad yang sifatnya tidak pasti (natural uncertainty contract) karena keuntungan bagi bank dan nasabah tergantung hasil akhir usaha. Mari kita simak pengertiannya satu per satu.
Akad yang sifatnya pasti
~ Murabahah
Secara gampang akad ini bisa disebut sebagai akad jual beli. Di bank konvensional ini dikenal dengan sebutan fixed rate lending atau trading cost-plus financing. Dalam akad murabahah, bank bertindak selaku penjual dan nasabah selaku pembeli. "Berarti bank memberikan pembiayaan ke nasabah untuk memiliki barang yang ia inginkan dengan cara mencicil kepada bank," ujar Adiwarman.
Contohnya begini. Anda hendak membeli mobil baru "secara kredit", maka bank akan kulak mobil itu dari dealer, lalu pada gilirannya ganti menjualnya kepada Anda. Jadi, Anda membeli mobil itu dari bank, bukan dari dealer langsung. Caranya juga mencicil. Taruh kata bank membeli mobil itu dari dealer seharga Rp 100 juta. Dia bisa menetapkan laba yang dia kehendaki dari transaksi ini, misalnya, Rp 20 juta, sehingga bank itu menjual mobil kepada Anda seharga Rp 120 juta.
Harga jual kepada Anda ini tak bisa berubah sampai akhir masa cicilan. Harga barang yang dijual bank sudah dipatok di depan sehingga tak terpengaruh naik turunnya bunga. Walhasil, walaupun kondisi moneter gonjang-ganjing, Anda bisa tidur nyenyak di rumah tanpa diganggu mimpi buruk tentang bunga. Namun, konsekuensinya, kalau kebetulan Anda mendapat rezeki berlebih dan mempersingkat "masa cicilan", tetap harus membayar dalam nilai yang sama.
Dengan kata lain, tak ada penghematan bunga, persis seperti kebanyakan kredit berbunga tetap yang biasa dipatok perusahaan finance dalam menyalurkan kredit kendaraan bermotor. Bedanya, sebelum akad ditandatangani oleh nasabah dan bank, nasabah harus tahu berapa harga beli mobil itu dari dealer dan berapa besar keuntungan yang dikutip bank. Maklum, ini meniru cara Nabi Muhammad S.A.W. ketika memperdagangkan barang-barang milik Siti Khadijah, saudagar kaya di Mekkah yang kemudian menjadi istri Nabi. "Akad syariah tidak sah kalau salah satu pihak merasa belum jelas dan belum mengerti konsekuensinya," kata Mila Garmila.
Oh, iya, harap diingat, apabila di tengah jalan nasabah tak lagi mampu membayar cicilan, bank bisa menarik kembali barang yang dibeli nasabah lalu menjualnya. Bila hasil penjualan itu melebihi jumlah kewajiban nasabah, sisanya dikembalikan.
~ Salam dan Istisna
Di bank konvensional, akad ini dikenal dengan istilah bridging financing. Kalau dalam murabahah barang yang hendak diperjualbelikan ada wujudnya, dalam akad salam ini barangnya belum ada wujudnya. Jadi, akad terjadi sekarang tapi penyerahannya kemudian.
Akad ini dipakai kalau Anda membeli mobil secara inden, misalnya. Bank akan mengeluarkan uangnya terlebih dulu untuk memesan mobil ke pabrik. Lalu, apa yang dijual bank kepada nasabah? Tak lain tak bukan adalah "hak memiliki" mobil tersebut kalau nanti sudah keluar dari pabrik dan dealer. Tentu saja bank tetap menetapkan harga baru yang lebih tinggi dari harga pabrik agar dia mendapat untung. Oh, ya, nasabah tetap bisa membeli "hak" itu dengan cara mencicil. Cuma, biasanya akad salam ini hanya berlaku untuk masa pembiayaan yang berkisar antara 3 bulan sampai 5 bulan.
Akad salam juga cocok untuk keperluan pre-export financing. Misalnya, ada orang dari luar negeri memesan bola dari salah seorang pengusaha di Tasikmalaya. Nah, bisa jadi pengusaha bola butuh dana untuk pengapalan. Maka, bank bisa mengeluarkan dana untuk membeli bola dari pengusaha Tasik. Ketika bank mengeluarkan uang, bolanya belum berwujud dan sedang dikerjakan. Nah, kemudian bank menjual kembali hak untuk memiliki bola itu kepada pemesan di luar negeri dengan harga, cicilan, dan jangka waktu yang disepakati. "Ini beda dengan future trading yang enggak jelas siapa yang punya barang. Kalau ini jelas siapa yang punya, berapa beratnya, berapa kadarnya, spesifikasinya jelas. Jadi, tidak beli kucing dalam karung," ujar Suhaji Lestiadi, salah seorang bankir syariah kawakan.
Mirip dengan akad salam, ada akad istisna. Di bank konvensional, akad jenis ini dikenal dengan project financing. Bedanya, akad yang satu ini khusus berkait dengan pendanaan proyek. Pembayaran pun dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan proyek. "Akad ini teman dekatnya salam," kata Adiwarman. Istisna biasa dipakai untuk pembiayaan proyek yang waktu konstruksinya lebih lama ketimbang akad salam.
~ Ijarah
Akad ini di bank konvensional dikenal dengan istilah operating lease. Objek pembiayaan dengan akad ijarah bukan barang, melainkan jasa. Mekanismenya, bank akan menyewa suatu jasa dari pihak ketiga dengan membayar ongkosnya secara tunai, lalu menjual jasa itu kepada nasabah secara cicilan. Contohnya begini. Anda butuh dana untuk membiayai kelahiran anak melalui operasi caesar. Kalau Anda mendatangi bank syariah, si bank akan menyewa jasa dokter bedah caesar secara tunai. Maksudnya, dia akan membayar jasa si dokter dengan tunai. Lalu, dia akan menjual jasa itu kepada Anda sebagai nasabah secara cicilan. Tentu saja bank akan mena-ikkan tarif jasa dokter untuk mengambil laba.
Akad ini tepat digunakan untuk sewa-menyewa rumah, pabrik, ruko, dan seterusnya yang membutuhkan pembayaran di depan. Akad ijarah juga cocok untuk membiayai pendidikan, pembiayaan untuk umrah, biaya perawatan rumah sakit, dan semacamnya.
~ Ijarah Muntahiah bit Tamlik
Bank konvensional mengenalnya sebagai financial leasing. Ini gabungan antara ijarah dan murabahah. Secara fikih ijarah muntahiah bit tamlik berarti menyewa suatu barang dalam periode tertentu dan memilikinya pada akhir periode. Artinya, bank membiayai nasabah untuk mendapatkan jasa atau barang pada periode tertentu dan nasabah kemudian memilikinya pada akhir periode.
Akad yang sering disingkat jadi IMBT ini biasanya digunakan dalam pembiayaan pembelian rumah (semacam KPR). Jadi, bank akan membeli rumah dari developer secara tunai. Lalu, dia menyewakan rumah itu kepada nasabah selama sekian tahun dengan tarif sewa per bulan yang sudah ditetapkan sebelumnya. Pada masa akhir sewa-menyewa, rumah itu "dihadiahkan" kepada penyewa. "Akad ini lebih cocok untuk membeli alat-alat berat atau KPR yang jangka waktu sewanya panjang misalnya 5 tahun ke atas," kata Adiwarman.
Akad yang tidak Pasti
~ Musyarakah
Akad ini di bank biasa dikenal sebagai participative financing. Kedua pihak, nasabah dan bank, lebih dulu bersepakat untuk melakukan suatu kegiatan bisnis. "Disebut musyarakah kalau yang dicampur itu uang dengan uang," kata Adiwarman. Bank dan nasabah sama-sama menyumbang modal dan sama-sama terlibat dalam manajemen. Tidak ada porsi penyetoran modal yang baku, semua tergantung dari kebutuhan. Bisa saja porsi modal dari bank lebih besar, bisa pula porsi nasabah yang lebih gede.
Keuntungan usaha akan dibagi sesuai dengan nisbah atau bagi hasil yang disepakati. Dalam menerapkan nisbah, baik bank maupun nasabah menilai rata-rata penjualan dan pendapatan usaha kemudian saling menegosiasikannya.
Pembagian keuntungan dan kerugian dalam akad musyarakah ini menarik. Seandainya porsi modal dari nasabah sebesar 10% dan bank 90%, dalam pembagian keuntungan nasabah bisa saja memperoleh 30% dari keuntungan karena nasabah telah mengeluarkan tenaga di samping mengeluarkan modal. Tapi, kalau terjadi kerugian, porsi pembagian kerugian buat nasabah tetap 10% atau setara dengan porsi modal. "Kalau ternyata hasil penju-alannya lebih rendah, pendapatan bank ya turun. Di situlah seninya," kata Suhaji.
~ Mudharabah
Akad ini mirip dengan profit sharing atau trust financing. Mudharabah digunakan jika salah satu pihak memberikan modal, sementara pihak lain memberikan tenaga. Dalam skema bagi hasil nanti, bank akan memberikan pinjaman modal sebesar 100% atau kurang, sedangkan nasabah bertugas mengelola usaha. Keuntungan usaha itu akan dibagi sesuai dengan nisbah alias persentase pembagian keuntungan yang sudah disepakati sebelumnya. Proses menentukan nisbah sama halnya dengan akad musyarakah. Risiko usaha sepenuhnya ditanggung bank, kecuali kerugian akibat kelalaian dan penyimpangan si nasabah.
Sebagian besar bank syariah masih enggan menyalurkan pinjaman mudharabah dalam jumlah besar karena risikonya terlalu tinggi. Bank syariah yang banyak menyalurkan pinjaman dengan skema ini adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Dari portofolio BMI yang berjumlah Rp 2,3 triliun, sekitar 30%-35% adalah pembiayaan dengan sistem mudharabah.
Akad untuk simpanan
~ Mudharabah
Dalam akad mudharabah, bank akan menyisihkan sebagian keuntungan yang mereka peroleh untuk para nasabah yang menitipkan uang lewat produk-produk simpanan. Itu sebabnya hampir semua produk tabungan dan deposito berlandaskan prinsip ini. Berhubung pendapatan bank tidak menentu dari waktu ke waktu, maka besarnya bagi hasil yang diterima nasabah produk mudharabah juga tidak tetap. Kalau pada suatu saat pendapatan bank naik, keuntungan nasabah juga ikut naik. Sebaliknya, kalau pada suatu ketika bank mengalami penurunan keuntungan, bagi hasil yang diterima nasabah juga ikut menyusut.
~ Wadiah
Dengan akad ini, nasabah benar-benar murni menitipkan dananya kepada bank syariah, tanpa ada perjanjian bagi hasil sama sekali. Jadi, mestinya, nasabah yang menyimpan uang di bank syariah dengan berdasar akad ini benar-benar berniat menitipkan uang tanpa mengharap imbalan. Biasanya, nasabah yang tertarik menyimpan uang dalam wadah wadiah ini adalah mereka yang menganggap uang bukan sebagai komoditas, melainkan benar-benar alat tukar.
Baru Setingkat Iqra Satu
Sebenarnya, jenis-jenis akad pembiayaan syariah masih banyak lagi. Cuma, di Indonesia belum semuanya dikenal dan diterapkan. Menurut catatan Bank Indonesia, sampai November 2004 sekitar 67% akad bank syariah berbentuk murabahah. Kini, menurut Adiwarman, akad murabahah mencapai 70%.
No comments:
Post a Comment