Wednesday, March 12, 2008

Reorganisasi dan Mismanajemen PLN


Effnu Subiyanto
Mahasiswa Magister Manajemen UGM Yogjakarta Staf PT Semen Gresik Tbk

Terhitung sejak 10 Maret 2008, BUMN PLN dinakhodai oleh tokoh-tokoh top negeri ini. Direktur utama dipegang Fachmi Mochtar, pelaksana tugas direktur Pembangkitan dan Energi Primer. Wakil direktur utama oleh Rudiantara, masih menjabat wadirut di BUMN PT Semen Gresik. Setyo Anggoro Dewo (FE UI menjadi direktur keuangan), Agung Nugroho (GM Proyek Induk Pembangkit dan Jaringan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara menjadi direktur Pembangunan Strategis). Ada Murtaqi Syamsuddin (GM Distribusi Jabar dan Banten menjadi direktur Jawa Bali), Haryadi (GM Distribusi Jatim menjadi direktur Luar Jawa Bali). Supriyadi (deputi direktur Pengembangan Organisasi menjadi direktur SDM, dan Bambang Praptono (dirut rekadaya menjadi direktur perencanaan).

Tugas utama delapan pendekar itu terdiri dari tiga key indicator. Mereka harus menekan susut daya (losses), mengurangi subsidi, dan mencegah pemadaman. Susut daya PLN telah menjadi cerita lama dan tampaknya sudah menjadi warisan turun-temurun.

Pada 2006 susut daya mencapai 11,45 persen dan tidak beranjak menurun tahun 2007 dengan 11,4 persen. Nilai satu persen susut daya PLN adalah kerugian lebih kurang satu triliun rupiah.

Total daya yang dikelola PLN sekarang adalah 29.080 MW terdiri dari produksi swasta/IPP (Independent Power Producer) 3.450 MW, listrik integrasi 743 MW dan produksi PLN sendiri 24.887 MW. Dengan losses 11,4 persen maka sama artinya dengan kehilangan 2.837 MW per tahun. Jumlah ini tentu saja sangat serius karena setara dengan produksi 25 PLTU yang kebutuhan batu baranya 11 juta ton per tahun. Dengan harga batu bara medium calory 52 dolar AS per ton sekarang, maka dapat dengan mudah dibayangkan berapa kira-kira subsidi APBN yang terbakar sia-sia setiap tahun.

Permasalahan PLN lainnya jika dicermati adalah disparitas antara kapasitas terpasang dan daya yang dihasilkan. Total kapasitas generator-generator di pembangkit sebetulnya cukup untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional. Namun, ternyata tidak mampu mengikuti kebutuhan konsumen.

Masih ingat PLN secara implisit pernah menolak kenaikan beban 300 MW di DKI dengan mengancam pemadaman bergilir? Konsumen memilih mundur, kemudian menggunakan pembangkit sendiri.

Tidak efisiennya PLN terjadi misalnya saat musim contingency ketika badai tidak menentu Desember 2007 hingga Februari 2008. Efisiensi daya bahkan luar biasa buruk, padahal sesi tersebut adalah ujian sesungguhnya apakah PLN benar-benar andal atau tidak.

Kepercayaan publik akan meningkat karena dalam situasi buruk kestabilan daya terjaga, apalagi dalam situasi normal. Sayangnya PLN tidak berhasil membuktikannya.

Kapasitas yang idle tersebut terjadi di PLTU Tanjung Jati B, dari total kapasitas 2x660 MW hanya bisa memproduksi listrik 250 MW. Realisasi ini adalah 18,9 persen. PLTU Cilacap kapasitas 600 MW, hanya menghasilkan listrik 160 MW atau 26,7 persen.

PLTGU Muara Karang kapasitas 1.208 MW ternyata bisa 475 MW atau 39,3 persen. Total rata-rata utilitas pembangkit PLN dari ketiga sampling data di atas hanya 28,3 persen atau 71,7 persen kapasitas dalam kondisi menganggur.

Katakanlah efisiensi di-challenge dengan pencapaian 50 persen (agar tidak buruk-buruk amat), maka total daya menganggur selama musim badai mencapai 12.443 MW dari total 24.887 MW yang dimiliki PLN. Jumlah ini luar biasa besar karena hampir setara dengan konsumsi Pulau Jawa setiap harinya, bahkan melebih proyek 10 ribu MW yang hanya ramai di media massa, tetapi tidak kunjung segera dimulai.

Kinerja yang buruk ini membawa dampak. Karena itu, sangat wajar jika PLN terus-menerus memproklamasikan rugi pada laporan keuangannya. Tahun 2007 PLN melaporkan rugi Rp 1,3 triliun, padahal tahun 2006 juga rugi Rp 1,032 triliun.

Uniknya eksekutif PLN tanpa malu-malu meneruskan tradisi menerima tantiem setiap tahun sebagai penghargaan rugi. Padahal, uang tersebut berasal dari subsidi APBN. Tahun ini saja PLN akan menerima subsidi dari RAPBNP 2008 sebesar Rp 55 triliun, jauh di atas target APBN yang seharusnya Rp 29,8 triliun.

Energi alternatif
Tidak kurang-kurang berbagai pihak menunggu realisasi pemanfaatan energi alternatif sebagai pembangkit energi listrik. Namun, hingga kini tidak juga menarik perhatian PLN. Berdasarkan data DESDM, potensi tenaga air jika dikelola dengan baik akan menghasilkan 75.670 MW, tetapi belum optimal sampai 10 persen. Panas bumi menyimpan 27 ribu MW baru dipakai 800 MW. Mikrohidro mampu sampai dengan 450 MW baru dimanfaatkan 84 MW. Biomassa potensial sampai 49.820 MW (terpakai 300 MW) dan angin 9.300 MW (terpakai 0,5 MW).

Pembangkit konvensional dengan PLTD dan PLTU memang bisa secara cepat dibangun. Namun, eksesnya juga sepadan karena akan menambah pelepasan karbon dari hasil pembakaran bahan bakar fosil sehingga berkontribusi terhadap pemanasan global. Tentu saja ini akan kontraproduktif dengan semangat konferensi UNFCCC Bali 3-15 Desember 2007, padahal Presiden SBY meratifikasinya.

Proyek PLTU seluruh dunia saat ini dalam posisi waswas karena Cina, India, Amerika Serikat dituduh oleh aktivis lingkungan dengan melepas 40 persen karbondioksida ke atmosfer setiap tahun dan menyumbang 80 persen emisi GHG. Ke depan proyek PLTU mungkin akan bernasib tidak beda dengan nasib PLTN, ditolak di mana-mana. Sebaiknya PLN harus bersiap dari sekarang, terutama manajemen barunya. Selamat bekerja.

No comments: