Vincentia Hanni S dan Dewi Indriastuti
Setelah penyelidikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI dihentikan, kejaksaan sekarang jadi sasaran kritik masyarakat, seperti yang diberitakan media- media.
Disebut-sebut bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memiliki rekaman percakapan telepon antara Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman dan Artalyta Suryani, kerabat pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim, se- hari sebelum jaksa Urip Tri Gunawan ditangkap KPK, 2 Maret 2008, di sekitar rumah Sjamsul.
Namun, Kemas Yahya seusai pemeriksaan di KPK, Rabu pekan lalu, tidak mau menjawab pertanyaan wartawan soal percakapan telepon itu. Ia hanya mengatakan semua keterangan sudah disampaikan kepada KPK. ”No comment,” responsnya saat ditanya hubungannya dengan Artalyta.
Penasihat hukum Artalyta, OC Kaligis, mengakui bahwa ia mendengar berbagai rumor terkait dengan kliennya yang kini ditahan KPK karena dituduh menyuap Urip terkait kasus korupsi BLBI yang diterima BDNI itu.
”Saya tidak mau membicarakan rumor. Acuan saya itu berita acara pemeriksaan (BAP). Dalam BAP, tidak ada percakapan itu,” kata Kaligis.
Percakapan telepon itu, menjadi bukti KPK atau tidak pada akhirnya, menjadi semacam jawaban dugaan publik bahwa pemberian uang yang terjadi antara Artalyta dan Urip bukan jual-beli permata, melainkan terkait perkara BLBI. Namun, Kaligis dan kuasa hukum Urip, Albab Setiawan, tetap bersikeras, uang 660.000 dollar Amerika Serikat atau Rp 6,1 miliar, yang diamankan bersamaan dengan penangkapan Urip, merupakan uang bisnis permata.
Ketua KPK Antasari Azhar menegaskan, KPK tidak akan terpengaruh dengan isu jual- beli permata yang diembuskan Artalyta dan Urip. ”KPK tidak mengejar pengakuan. Mau mereka jujur, bohong, berikan alibi apa pun tidak akan memberikan pengaruh karena yang pen- ting bagi kami adalah bukti,” ujarnya.
Hal itu diperkuat dengan penggeledahan yang dilakukan KPK di rumah Sjamsul, Jalan Hang Lekir II, Kavling WG 9 RT 06 RW 09, Grogol Selatan, Jakarta Selatan. Di rumah ini tak sebutir permata pun ditemukan.
Artalyta dan Gedung Bundar
Secara terpisah, pegawai Tata Usaha Bagian Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung, Sugiyo, saat diperiksa KPK pada 12 Maret lalu ditanyai seputar kedatangan Artalyta ke Gedung Bundar pada 15 Februari 2008. Namun, ketika wartawan mengonfirmasi hal itu, Sugiyo hanya menjawab, ”Gak ngerti saya.”
Tanggal 15 Februari lalu merupakan tanggal penting bagi Kemas karena itulah hari ulang tahunnya. Namun, keha- diran Artalyta dibantah jaksa-jaksa.
Rupanya masalah kedatangan Artalyta di Gedung Bundar juga menjadi perhatian Jaksa Agung Hendarman Supandji. Tanggal 6 Maret lalu ia mengatakan, ”Saya dengar juga begitu. Saya justru bilang sama Kemas, hati-hati kamu. Dalam kasus BLBI jangan sampai ada pendekatan. Jangan ada perantara. Markus (makelar kasus) itu dijauhi.”
Tim yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pengawasan MS Rahardjo juga menanyakan soal Artalyta kepada jaksa yang diperiksa Tim Pengawasan. Salah seorang jaksa yang diperiksa kepada Kompas mengakui, ia ditanya Tim Pengawasan tentang Artalyta Suryani.
Informasi yang beredar, Artalyta mengenal Urip dan Kemas melalui Djoko Widodo. Djoko adalah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur. Sebelumnya, ia menduduki jabatan setingkat dengan Urip di Gedung Bundar, hingga 9 Desember 2007.
Djoko pernah dua kali diperiksa KPK dan satu kali diperiksa Bagian Pengawasan Kejagung. Djoko yang dihubungi Kompas, Sabtu (15/3) petang, menolak berkomentar. ”Tanya Kapuspenkum (Kepala Pusat Penerangan Hukum) saja,” katanya.
Kemas Yahya juga ditengarai bepergian beberapa kali ke Singapura. Berdasarkan catatan imigrasi, ia pergi ke Singapura pada 2 September 2007 dan 9 Desember 2007. Ia berangkat melalui Batam, bukan melalui Bandara Soekarno-Hatta.
Kejagung menargetkan penyelidikan kasus BLBI selesai pada 30 Oktober 2007, tetapi ternyata meleset. Kejagung memperpanjang penyelidikan selama dua bulan, atau berakhir 31 Desember 2007, dengan alasan kesulitan memperoleh dokumen.
Lalu, Kejagung kembali memperpanjang hingga 29 Februari 2008. Pada tanggal itulah Kemas mengumumkan, penyelidikan kasus BLBI, terkait BDNI dan Bank Central Asia (BCA), tidak menemukan perbuatan melawan hukum sehingga harus dihentikan. Padahal, hingga penyelidikan berakhir, Sjamsul belum pernah sekali pun dimintai keterangan.
Sjamsul memang dikirimi surat panggilan, tetapi tak per- nah datang. Berbeda dengan Anthony Salim, mantan pemi- lik BCA, yang beberapa kali datang ke Gedung Bundar Kejagung untuk dimintai kete- rangan.
Uang tahap akhir
Dua hari setelah penghentian penyelidikan itu, Urip yang memimpin Tim Jaksa Pemeriksa Kasus BLBI terkait BDNI ditangkap KPK karena menerima uang dari Artalyta. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai perpanjangan waktu penyelidikan. Apakah benar semata karena jaksa kesulitan mem- peroleh dokumen atau ada hal lain?
Berdasarkan penelusuran Kompas, uang yang diserahkan mungkin lebih besar daripada 660.000 dollar AS yang ada di mobil Urip. Dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ditemukan bukti penarikan uang yang jauh lebih besar daripada 660.000 dollar AS itu. Uang itu diambil dari sebuah bank swasta asing serta sebagian kecil lainnya dari Singapura.
Benarkah Urip ”bermain” sendirian? Hendarman mengatakan, ”Uang Rp 6 miliar itu terlalu besar untuk seorang jaksa.” Gaji Urip sebagai jaksa adalah Rp 3,5 juta per bulan.
Reaksi Kejaksaan atas penangkapan Urip juga mengundang tanya tanya. Malam hari pascatertangkapnya Urip, beberapa jaksa datang ke Gedung Bundar Kejagung, termasuk Direktur Penyidikan M Salim.
Terungkap, Salim malam itu membuat surat penangkapan terhadap Artalyta. Surat itu dibuat sekitar dua jam setelah Urip ditangkap. Namun, pe- nangkapan Artalyta batal karena KPK menangkapnya lebih dulu.
Chairul Imam, mantan Direktur Tindak Pidana Korupsi Kejagung, menilai penerbitan surat perintah penangkapan bagi Artalyta itu aneh. Mustahil diterbitkan surat penangkapan mendahului surat perintah penyidikan. ”Untuk Artalyta ini, apa kasusnya?” tanyanya. Jadi? (tra)
No comments:
Post a Comment