Jakarta, Kompas - Tingginya harga komoditas pertambangan dan perkebunan belakangan ini berpotensi menciptakan buih ekonomi atau economy bubble.
Perbankan yang banyak menyalurkan kredit pertambangan dan perkebunan sebaiknya mewaspai hal tersebut. Pengamat ekonomi dan perbankan Dradjad Wibowo, Jumat (14/3) di Jakarta, menjelaskan, bubble harga komoditas memicu distorsi pada harga antarkomoditas.
”Dana kredit perbankan dan pembiayaan bisa saja terkecoh dialirkan ke komoditas. Padahal tingginya harga tersebut lebih merupakan bubble,” ujar Dradjad Wibowo.
Lebih berisiko lagi karena kredit untuk komoditas perkebunan dan pertambangan umumnya berjangka panjang. ”Jika pada masa produksi ternyata harga-harga anjlok karena bubble-nya pecah, over-investasi ini akan menimbulkan kredit macet dan krisis keuangan lanjutan. Perbankan perlu waspada terhadap hal ini,” ujar Dradjad.
Menurut Dradjad, bubble harga komoditas terjadi karena investor pasar keuangan mengalihkan uang panas (hot money) dari aset keuangan ke komoditas. Langkah tersebut dimotivasi oleh kombinasi dari upaya diversifikasi risiko investasi dan kompensasi kerugian di pasar keuangan.
Melonjaknya harga komoditas pertambangan dan energi, seperti minyak, gas, batu bara, nikel, kelapa sawit, dan karet, di pasar internasional membuat laba perusahaan yang bergerak di sektor-sektor tersebut meningkat tajam.
Dampaknya, sektor pertambangan dan energi dalam setahun terakhir ini menjadi primadona perbankan.
Berdasarkan data Bank Indonesia, kredit yang mengalir ke sektor pertambangan selama periode September 2006-September 2007 tumbuh 74,2 persen dari Rp 9,95 triliun menjadi Rp 17,34 triliun.
Pertumbuhan tersebut merupakan yang tertinggi di antara sektor lain. Pertumbuhan kredit sektor pertambangan juga jauh melampaui rata-rata pertumbuhan kredit di semua sektor sebesar 21 persen.
Direktur Utama Bank Mandiri Agus Martowardojo mengatakan, sampai saat ini belum terlihat tanda-tanda meningkatnya kredit bermasalah (non performing loan/NPL) di Bank Mandiri akibat kondisi tersebut.
Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia Miranda S Goeltom juga mengingatkan terjadinya krisis energi listrik di daerah Jawa-Madura-Bali yang menghambat jadwal produksi dan pemenuhan pesanan oleh pelaku usaha yang berpotensi meningkatkan NPL. (FAJ)
No comments:
Post a Comment