Wednesday, March 19, 2008

Skandal BLBI (3-habis)

Sjamsul Nursalim, "Mata Air" bagi Semuanya...

Tri Agung Kristanto

Dibandingkan dengan penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI lainnya, Sjamsul Nursalim bukanlah yang terbesar. Kewajibannya dalam konteks BLBI ”hanya” Rp 28,1 triliun. Ada obligor BLBI lainnya yang memiliki kewajiban lebih besar dibandingkan dengan pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia atau BDNI itu.

Namun, dibandingkan dengan penerima BLBI lainnya, Sjamsul, yang utangnya kepada negara sempat mencapai Rp 28,408 triliun, paling sering diberitakan dan menimbulkan kontroversi. Sejak BDNI mengalami kesulitan likuiditas, dan diberikan dana BLBI pada pertengahan 1997, nama Sjamsul mulai menghiasi media massa.

Pusat Informasi Kompas (PIK) memunculkan 101 pemberitaan terkait atau yang dikaitkan dengan Sjamsul dan BLBI sejak 1998 hingga Maret 2008. Jumlah ini jauh lebih banyak dibandingkan dengan penerima BLBI terbesar, pemilik Bank Central Asia (BCA) Anthony Salim dan Sudono Salim, yang pada periode yang sama hanya 38 kali muncul dalam pemberitaan.

Nama Sjamsul sempat menghilang dari pemberitaan sejak pemerintah menerbitkan surat keterangan lunas (SKL) untuknya pada April 2004, dan kasus dugaan korupsi BLBI yang menjadikannya sebagai tersangka dihentikan pada Juli 2004 dengan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Jaksa Agung MA Rachman.

Namanya kembali mencuat setelah Jaksa Agung Hendarman Supandji pada Desember 2007 membuka kembali penyelidikan kasus BLBI, khususnya terkait BCA dan BDNI. Sjamsul yang dipanggil ke Gedung Bundar Kejaksaan Agung, akhir tahun lalu, tak datang. Sebaliknya, Anthony Salim memenuhi panggilan itu.

Sjamsul oleh sebagian kalangan memang dinilai sebagai obligor BLBI yang tidak kooperatif. Namanya semakin merebak di media massa saat dikaitkan dengan penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan di sekitar kediaman Sjamsul di Jakarta Selatan, 2 Maret 2008, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bersama dengan Urip, yang juga Koordinator Tim Jaksa Penyelidik Dugaan Korupsi BLBI Terkait BDNI, diamankan pula Artalyta Suryani alias Ayin. Ayin pun disebut-sebut sebagai kerabat Sjamsul.

Dugaan keterkaitan Ayin, sebagai ”wakil” Sjamsul, terhadap upaya penyelesaian kasus BLBI semakin menguat karena dua hari sebelum penangkapan itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kemas Yahya Rahman mengumumkan penghentian penyelidikan dugaan korupsi BLBI terkait BCA dan BDNI. Juga meski dibantah Kantor Pengacara Adnan Buyung Nasution, beredar pula rumor, pada saat penangkapan itu seorang pengacara Sjamsul berada di rumah itu. Sjamsul dulu merupakan klien Kantor Pengacara Adnan Buyung Nasution.

Urip dan Artalyta membantah adanya kaitan hubungan mereka dengan kasus BLBI. Mereka mengaku berbisnis permata. Tetapi, Hendarman mengakui, uang 660.000 dollar AS atau setara dengan Rp 6,1 miliar, yang diamankan KPK bersamaan dengan penangkapan itu, terlalu besar bagi seorang jaksa.

Walaupun demikian, sejumlah pengacara yang biasa menangani kasus korupsi tak terlalu yakin dana yang diberikan kepada Urip ”hanya” sebesar yang diamankan KPK. Uang 660.000 dollar AS itu diduga hanya ”pelunasan”. Komposisi pembayaran untuk ”penyelesaian” kasus korupsi biasanya adalah 40, 30, dan 30 persen. Artinya, 40 persen dari jumlah dana yang disepakati untuk ”penyelesaian” kasus itu dibayarkan di muka, 30 persen dibayarkan saat masa penanganan perkara, dan 30 persen sisanya diserahkan seusai perkara itu ditutup atau selesai disidangkan.

Selain itu, sejumlah pengacara juga tidak terlalu yakin Urip bekerja sendiri. Apa yang dilakukannya, termasuk menemui Artalyta di ”sekitar” rumah Sjamsul, diketahui atasannya. Karena itu, dalam rapat kerja Komisi III DPR dengan Jaksa Agung, pekan lalu, T Gayus Lumbuun dari Fraksi PDI-P meminta Hendarman memberhentikan Kemas dan Direktur Penyidikan M Salim sebagai atasan Urip. Hendarman menjanjikan, mereka akan diberhentikan jika ada indikasi terlibat dalam dugaan penyuapan itu. Senin lalu, Kemas dan Salim dibebastugaskan oleh Hendarman.

Dugaan keterkaitan Artalyta, Urip, dan kasus yang menjeratnya dengan Sjamsul semakin menguat ketika uang yang diterimakan itu ditelusuri asal muasalnya. Berdasarkan penelusuran Kompas, uang yang diserahkan ternyata jauh lebih besar dari 660.000 dollar AS. Dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ditemukan bukti uang itu diambil dari sebuah bank swasta asing serta sebagian lainnya dari Singapura, yang totalnya mencapai 2 juta dollar AS.

”Kerajaan” Sjamsul

Singapura memang tak dapat mengelak untuk tidak dikait-kaitkan dengan kasus BLBI. Sejumlah tersangka dan terpidana kasus BLBI kini bermukim atau kabur ke negeri itu. Sjamsul pun lebih sering bermukim di Singapura sejak tahun 2001. Media massa belum pernah melaporkan kepulangan Sjamsul ke Indonesia sejak berobat di negeri itu. Dalam berbagai upaya penyelesaian kasus BLBI, termasuk penandatanganan master of settlement and acquisition agreement (MSAA), ia diwakili kuasa hukumnya atau istrinya, Itjih Nursalim.

Sjamsul bisa menetap di Singapura setelah mengantongi izin berobat dari Kejagung, yang saat itu dipimpin Marzuki Darusman. Sjamsul meminta izin berobat ke Jepang pada Mei 2001, dengan alasan ada penyempitan pembuluh darah di jantung (Kompas, 31/5/2001). Ia bisa pergi karena ada jaminan tak akan melarikan diri dari penasihat hukum dan keluarganya. Bahkan, seorang penasihat hukumnya, Maqdir Ismail, menjamin kliennya itu tak akan menghindari proses hukumnya.

Ketika Marzuki digantikan Baharuddin Lopa sebagai Jaksa Agung, Juni 2001, Sjamsul yang pernah ditahan di rumah tahanan Kejagung diminta segera pulang ke Indonesia. Lopa khawatir izin berobat ke luar negeri itu disalahgunakan. Kekhawatiran itu mewujud karena Sjamsul memang tak kembali ke Indonesia setelah berobat di Jepang. Ia memilih ”melanjutkan” pengobatannya di Singapura pada Agustus 2001. Adnan Buyung Nasution saat itu mengaku belum tahu kondisi kesehatan kliennya itu.

Imbauan Marsillam Simandjuntak, yang menjabat Jaksa Agung setelah Lopa meninggal, tak pernah ditanggapi. Sjamsul selalu dikabarkan masih dirawat di Raffles Hospital. Namun, saat Maret 2002 Kompas mengunjungi rumah sakit itu, petugas rumah sakit hanya menyebutkan Sjamsul pernah dirawat di sana. Tidak ada penjelasan yang bisa diberikan lebih lengkap lagi.

Sjamsul memang aman di Singapura, yang belum memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Ia bukan hanya bermukim di negara itu, melainkan juga berusaha. Sjamsul dilaporkan sebagai pemegang saham terbesar perusahaan yang bergerak di bidang properti, teknologi, servis industri, ritel, dan perhotelan, yang bernama Tuan Sing Holding. Dalam situs web www.tuansing.com.sg, nama Itjih Nursalim sempat menjadi salah satu direktur. Tetapi, nama itu kemudian hilang ketika ramai kasus BLBI di Indonesia tahun 2000.

Saat Kompas menjenguk situs web itu, Selasa (18/3), anak lelaki Sjamsul, William Liem, sejak Januari 2008 menjadi chief executive officer (CEO). Selain itu, Michelle Liem Mei Fung, anak perempuan Sjamsul, juga menjabat salah satu anggota direksi. Tuan Sing Holding juga menguasai mayoritas saham Gul Technologies Limited sejak tahun 1995. Di perusahaan ini, sesuai www.wallstraits.com, William Liem alias Susanto Nursalim menjabat executive director.

Investigasi yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, menjelang BDNI menerima kucuran BLBI, Sjamsul Nursalim diduga berusaha mengosongkan kas BDNI dengan menyalurkan kredit pada sejumlah perusahaan di luar negeri, yang sebagian besar dipimpin oleh Liem Mei Fung dan Liem Min Lin (ayah Sjamsul). Perusahaan itu adalah Trandale Pte Ltd, Habitat Properties Pte Ltd, Grand Tour Tyre Pte Ltd, dan GT Asia Pacific Holding Pte Ltd di Singapura, Sino Great Ltd, Broad Bay Ltd, dan Team Good International Ltd di Hongkong, serta Globe Trading Company dan Seven Machinery Ltd di Taiwan. Dana yang disalurkan mencapai 607,95 juta dollar AS (Kompas, 27/5/2002).

Imperium bisnis keluarga Sjamsul di Singapura berpusat di Robinson Road. Sejumlah direksi Tuan Sing Holding tercatat pernah menjadi eksekutif di perusahaan Sjamsul lainnya, Nuri Holding Pte Ltd dan Habitat Properties Pte Ltd. Sebagai investor di Singapura, nama Sjamsul pun tercatat di Economic Development Board (EDB) dan International Enterprise Singapore sebagai Liem Tek Siong.

Di kalangan praktisi hukum, Sjamsul juga dikenal sebagai ”mata air” bagi semua orang. Ia dikenal ”murah hati”. Sejumlah pejabat dan penegak hukum disebut-sebut berhubungan dengan Sjamsul di Singapura. Dibuka kembalinya kasus BLBI diduga juga terkait dengan keinginan sejumlah pihak agar ”mata air” itu tidak ”kering”, bisa ditimba lagi.

Sepekan sebelum penyelidikan kasus BLBI dihentikan lagi, Kemas Yahya juga dikabarkan ke Singapura melalui Batam. Apakah ada kaitannya dengan ”mata air” itu? Hendarman tampaknya belum yakin dengan informasi yang beredar di publik itu. Kejaksaan memang harus membuktikannya.... (vin/idr)

No comments: