Monday, March 3, 2008

APBN Dipaksa untuk Defensif Total

 
 
A TONY PRASETIANTONO

Senin, 3 Maret 2008 | 02:04 WIB

Harga minyak dunia pekan lalu menembus 103 dollar AS per barrel. Meski tidak terlalu mengejutkan karena belakangan ini sudah banyak analisis yang mengarah ke sana, tetap saja hal ini menebarkan kekhawatiran. Dapatkah perekonomian dunia menghindari resesi? Selamatkah perekonomian Indonesia? Bagaimana strategi APBN 2008 meminimalkan kerusakan ekonomi?

Di Amerika Serikat (AS), misalnya, dalam dua pekan terakhir digelar dua kali dengar pendapat dengan tiga petinggi otoritas finansial, yaitu Ben Bernanke (Kepala The Fed), Henry Paulson (Menteri Keuangan), dan Christopher Cox (Kepala Pengawas Pasar Modal atau Securities Exchange Committee). Ini menunjukkan bahwa AS pun kini mulai nervous.

Laporan resmi kerugian bank-bank investasi top sudah mencapai 160 miliar dollar AS. Itu pun mungkin masih terus berlanjut hingga 300 miliar dollar AS. Data mikro ini konsisten dengan data makro yang sama suramnya: pertumbuhan ekonomi triwulanan hanya 0,6 persen (nyaris mendekati definisi ’resesi’), pengangguran 4,9 persen (mestinya cuma 3 persen), dan inflasi 4,3 persen (tahun sebelumnya 2,1 persen). AS cenderung mengalami stagflasi.

Efektivitas ”policy mix”

Apa solusinya? Menkeu Paulson masih mencoba menenangkan para senator dengan mengatakan, ”Let the market work.” Biarkan pasar bekerja. Artinya, ia masih berharap mekanisme pasar akan merespons positif policy mix (kombinasi kebijakan moneter dan fiskal) yang kini ditempuhnya. Kedua kebijakan tersebut bersifat ekspansif. Suku bunga diturunkan (Fed Rate 3 persen) dan anggaran pemerintah diperlonggar. Masyarakat akan menerima pengembalian pajak (tax refund) sebesar 800 dollar AS per orang atau 1.600 dollar AS per keluarga. Dalam setahun jumlahnya mencapai 157 miliar dollar AS.

Kedua kebijakan ini diharapkan dapat mendorong konsumsi masyarakat sehingga menjadi stimulus pertumbuhan ekonomi. Namun, apakah ini akan efektif? Sulit menilainya sekarang karena masih perlu waktu. Pemerintah AS masih diharapkan lebih agresif lagi untuk memberikan stimulus.

APBN defensif

Bagaimana dengan Indonesia? Yang harus kita lakukan adalah menyesuaikan diri dengan dinamika global yang sedemikian hebat, terutama harga minyak. Harga minyak yang kini dinamis antara 98 dan 103 dollar AS per barrel jauh di atas asumsi 83 dollar AS per barrel pada APBN-P 2008. Memang ada hipotesis yang meyakini bahwa harga minyak akan terkoreksi ke bawah karena mekanisme penyesuaian perlambatan ekonomi dunia.

Perekonomian China mungkin ”hanya” tumbuh 9,5 persen, jauh dari 11,4 persen tahun lalu. India juga melambat menjadi 8,4 persen. AS cuma tumbuh 1,6 persen, tahun sebelumnya 2,5 persen. Perlambatan ini memang akan menekan demand. Tapi, masalahnya, suplai juga lambat di level 84 juta barrel sehari. OPEC bahkan tidak mau menambah produksinya.

Sementara itu, Indonesia dalam beberapa tahun terakhir produksinya benar-benar jebol. Tahun 2005 cuma bisa memproduksi 999 ribu barrel per hari (padahal target 1,075 juta barrel), tahun 2006 hanya 959.000 barrel per hari (target 1 juta barrel), dan tahun 2007 cuma 899.000 barrel (target 950.000 barrel). Tahun 2008 lifting cuma 920.000 barrel sehari.

Sudah lama diprediksi

Seretnya produksi minyak Indonesia ini sesungguhnya sudah lama diprediksikan. Data Comité Professionnel du Pétrole Reports (CPDP), yang dikutip pakar ekonomi minyak Perancis, Jean Masseron (Petroleum Economics, 1990: 75), menunjukkan bahwa cadangan minyak Indonesia diperkirakan hanya bisa bertahan 17 tahun ke depan (dihitung dari 1989), yang berarti hingga tahun 2006 atau 2007. Cadangan minyak Indonesia yang waktu itu diketahui (proven) adalah 1.119 Metrik ton, di mana 1 Mt ekuivalen dengan 7,3 miliar barrel.

Sebagai perbandingan, cadangan minyak Iran bisa bertahan 87 tahun; Irak 99 tahun; Uni Emirat Arab dan Arab Saudi sama-sama 136 tahun; dan yang paling top adalah Kuwait, yang cadangannya bisa diambil hingga 141 tahun!

Sederet data tersebut hendaknya menginspirasi kita semua, bahwa masalah minyak benar-benar telah menjadi batu sandungan yang teramat terjal bagi perekonomian Indonesia. Karena itu, solusi-solusi yang mungkin ditempuh bagi APBN-P 2008 pasti cenderung pahit. Mana ada orang sakit obatnya enak?

Pangkas anggaran

Langkah memangkas anggaran departemen teknis, menurut saya, masuk akal. Secara riil kita sudah cukup sulit untuk mencari ruang agar APBN 2008 tidak direvisi. Dengan anggaran pemerintah Rp 925,13 triliun, pemangkasan 15 persen di departemen-departemen akan bisa menghemat Rp 43,77 triliun. Konsekuensinya, APBN-P akan lebih bersifat defensif dan tidak memiliki karakter ekspansif. Memang patut disayangkan, tetapi ini tidak bisa dielakkan.

Memang akan ada resistensi dari sebagian departemen-departemen. Itu wajar. Yang penting, pemerintah dan DPR bisa mengomunikasikannya dengan baik, yang didukung oleh sejumlah data yang valid dan mutakhir. Harus pula disadari bahwa bukan cuma kita saja yang terpaksa harus berhemat. Praktis semua negara (kecuali produsen minyak besar) harus berhemat, prihatin, dan mengubah paradigma agar perekonomian dunia terselamatkan dari resesi.

Harga BBM naik

Sementara itu, ide untuk menaikkan harga BBM sebesar Rp 500 per liter juga logis karena bisa menghemat subsidi Rp 10 triliun. Dari perspektif ekonomi, rasanya hal ini bakal dapat diakomodasikan. Namun, silakan pemerintah mengalkulasinya secara politik karena hasilnya bisa berbeda.

Ide lain yang juga masuk akal adalah pemilik mobil pribadi 1.800 cc ke atas harus membeli BBM nonsubsidi. Di luar negeri, mobil sejenis itu biasanya juga wajib menggunakan BBM jenis unleaded—semacam pertamax di Indonesia.

Pendeknya, daripada kita semua terjerumus ke jurang resesi yang dalam, semua pemangku kepentingan (stakeholders) harus ekstra berhemat.

Pemerintah, DPR, dan masyarakat dipaksa berhemat tanpa perkecualian karena ini memang bukan business as usual. Bukan zamannya lagi.

A Tony Prasetiantono Peneliti Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

 

No comments: