Saturday, March 15, 2008

Ketika Pedagang Kehilangan Pasar...


Jumat, 29 Februari 2008 | 01:52 WIB

Inilah era ketika pedagang kehilangan akses terhadap pasar. Yaitu, ketika bangunan pasar diperjual-belikan dengan harga yang mencekik leher.

Bagi para pedagang pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, kemunduran ekonomi mereka dimulai sejak 19 Februari 2003, ketika kebakaran menghanguskan bangunan pasar yang pernah menjadi grosir tekstil terbesar di Asia Tenggara itu. Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan seorang peserta diskusi panel Kompas di Jakarta, pekan lalu, kehancuran total ekonomi mereka sesungguhnya justru terjadi ketika bangunan baru Pasar Tanah Abang mulai siap.

Harga jual lapak atau kapling baru yang melejit menjadi pangkal kebangkrutan para pedagang di sini. Menurut seorang pedagang, harga kapling di Blok A Pasar Tanah Abang ditawarkan kepada pedagang korban kebakaran mulai Rp 125 juta hingga Rp 350 juta per meter persegi. Memang ada yang ditawarkan Rp 20 juta per meter persegi, tetapi letaknya tidak strategis dan berada di lantai-lantai atas.

Di Blok B, C, D, E—yang saat ini sedang dibongkar—harga jual kios lebih gila lagi, yaitu Rp 200 juta hingga Rp 590 juta per meter persegi. Jika untuk satu kios dibutuhkan empat meter, harganya bisa mencapai Rp 800 juta hingga Rp 2,36 miliar. Dengan kata lain, uang pedagang pun dikeruk oleh para ”pedagang bangunan pasar”.

Anehnya, pengelola pasar yang ditemui para pedagang korban kebakaran Pasar Tanah Abang, justru mengaku tak berdaya karena harga jual kapling bukan di tangan mereka. ”Lantas pemilik pasar ini siapa?,” gugat para pedagang pasar.

Akibatnya, tak semua pedagang sanggup membeli lapak. Sebagian hanya menjadi pengontrak. Misalnya, di Blok A Pasar Tanah Abang kebanyakan di antara mereka hanya menyewa lapak. Itu pun dengan harga yang juga luar biasa mahal. Di area yang strategis harga sewanya mencapai Rp 200 juta per empat meter persegi per tahun.

Dengan harga sewa lapak semahal itu, pedagang terpaksa harus menaikkan harga jual barang. Misalnya, baju anak-anak yang harga kulakannya hanya Rp 10.000 per potong, terpaksa dijual dua hingga tiga kali lipatnya. Masyarakat kecil yang bergantung pada pasar tradisional pada akhirnya yang menanggung lonjakan harga ini.

Apa yang terjadi di Pasar Tanah Abang itu adalah fenomena gunung es. Pola yang sama terjadi pada hampir semua pasar tradisional lainnya setelah habis terbakar. Misalnya, Pasar Blok M, Pasar Pucang Anom di Surabaya, dan ribuan pasar lain yang telah terbakar atau dibakar itu.

Di Pasar Pucang Anom, bangunan pasar yang baru dibangun setelah pasar lama habis terbakar hanya berupa los. Namun, harga jual dengan ukuran 1 x 1 1/4 meter mencapai Rp 9 juta. Jika satu lapak seluas delapan meter, berarti harganya mencapai Rp 72 juta. Dalam satu los ada delapan lapak, sehingga harga jualnya mencapai hampir Rp 600 juta.

”Padahal biaya pembangunan Pasar Pucang Anom ditaksir tidak lebih dari Rp 40 juta. Ini adalah ekonomi biaya tinggi yang membangkrutkan ekonomi negara ini,” kata seorang peserta diskusi panel. (AIK)

 

No comments: