Saturday, March 15, 2008

Meski Samar, Harapan Itu Masih Ada


Jumat, 14 Maret 2008 | 02:07 WIB

Oleh ELLY ROOSITA

Antrean panjang warga Kelurahan Ulujami, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, untuk mendapatkan minyak tanah terjadi Senin (10/3). Antrean itu bukan yang pertama kali terjadi. Peristiwa serupa terjadi berulang kali di beberapa wilayah di negeri ini.

Antrean telah menjadi pemandangan yang lazim terjadi akhir- akhir ini. Untuk mendapatkan minyak tanah, rakyat harus antre. Demi minyak goreng bersubsidi, beras murah raskin (beras untuk rakyat miskin) rakyat juga harus antre. Belum lagi antrean untuk mendapat bahan bakar minyak (BBM), yang beberapa kali pernah menjadi barang langka di sebagian kota di Indonesia.

Meski Wakil Presiden Jusuf Kalla menanggapi kejadian itu sebagai sebuah peristiwa yang sudah selayaknya terjadi, karena katanya, untuk nonton di bioskop pun rakyat harus antre membeli tiket.

Namun, tidak demikian yang dirasakan rakyat yang harus antre itu. Jumini (34), warga Pondok Kacang, Kabupaten Tangerang, misalnya. Janda beranak dua ini harus antre lebih dari empat jam demi lima liter minyak tanah.

”Punya uang untuk beli aja susah, harus antre. Apalagi kalau enggak punya uang. Kemarin saya antre buat dapat minyak goreng yang katanya dapat bantuan pemerintah. Sekarang beli minyak tanah antre. Bayar listrik juga antre. Hidup saya abis buat antre aja,” tutur penjual gado-gado yang terpaksa menutup warungnya selama dua hari ini karena harus antre.

Libur berjualan dua hari bukanlah soal sederhana buat Jumini. Itu berarti kehilangan sumber pendapatan satu-satunya yang ia miliki. ”Besok harus jualan. Kalau enggak, habis modal buat makan. Bisa-bisa enggak bisa jualan seterusnya,” ujarnya.

Keluhan Jumini bisa jadi mewakili jutaan atau bahkan puluhan juta rakyat Indonesia yang harus berjuang hari demi hari untuk sekadar dapat bertahan hidup di tengah melonjaknya harga komoditas, terutama bahan pangan.

Kenyataan yang dihadapi Jumini seolah menjadi sebuah keniscayaan jika melihat angka- angka statistik, yang menggambarkan indikator perekonomian negeri ini. Data yang dipaparkan Menteri Koordinator Perekonomian Boediono saat acara CEO Forum Kompas100 pada awal Maret menunjukkan, pertumbuhan ekonomi terus meningkat dalam tujuh tahun terakhir.

Pada tahun 2001 pertumbuhan ekonomi 3,6 persen, tahun 2002 menjadi 4,5 persen, dan terus meningkat hingga tahun 2007 telah mencapai 6,3 persen. Sementara inflasi cenderung turun jika tahun 2005 sebesar 17,1 persen, 2007 hanya 6,7 persen.

Tingkat pengangguran terbuka pun turun, jika tahun 2005 sebesar 11,2 persen, tahun 2006 menjadi 10,3 persen, dan 2007 tinggal 9,1 persen. Namun, bila dibandingkan dengan 2001, tingkat pengangguran terbuka 2007 lebih tinggi.

Tahun 2001 tingkat pengangguran terbuka 8,1 persen. Adapun tingkat kemiskinan berfluktuasi. Jika tahun 2004 tingkat kemiskinan 16,7 persen, tahun 2005 turun menjadi 16,0 persen, dan tahun 2006 naik menjadi 17,8 persen, namun turun lagi pada 2006 menjadi 16,6 persen.

Cadangan devisa negara pun terus meningkat, jika tahun 2001 hanya 28 miliar dollar AS, tahun 2007 telah lebih dari dua kali lipatnya, yaitu 56,9 miliar dollar AS.

Suku bunga pun cenderung semakin turun, nilai tukar rupiah relatif stabil, dan perkembangan produk domestik bruto per kapita pun meningkat tajam, dari sekitar 500 dollar AS tahun 1998, tahun 2007 telah sekitar 1,800 dollar AS. APBN 2008 mencapai nilai tertinggi sepanjang lebih dari 60 tahun usia Republik ini, yaitu lebih dari Rp 800 triliun.

Saling mendukung

Dengan melihat indikator-indikator itu, seharusnya keluhan rakyat akan sulitnya menyiasati hidup tidak lagi senyaring masa lalu. Setidaknya kalaupun terdengar keluhan, suaranya samara-samar karena jumlah yang berteriak tak lagi sebanyak masa lalu. Dan teriakannya tak terlalu kencang karena ”penderitaan” tidak seperih masa lalu.

Seperti kata Wakil Presiden Jusuf Kalla, ketika membuka CEO Forum Kompas100, seharusnya indikator ekonomi makro yang baik berbanding lurus dengan semakin membaiknya kesejahteraan masyarakat. Seperti halnya bila situasi pasar modal membaik, seharusnya juga berkorelasi positif terhadap pasar riil.

”Apabila pasar modal baik, seharusnya efek ini juga ke Pasar Senen, Pasar Tanah Abang. Jangan sebaliknya. Apabila tidak saling mendukung, berarti kita tidak menghasilkan suatu produk yang baik,” kata Wapres.

Korelasi itu, menurut Wapres, seharusnya terjadi karena pada dasarnya bila berbicara pasar modal, sebenarnya kita membicarakan prospek dan harapan.

”Sebab, di pasar saham, sebenarnya orang membeli harapan dan prospek. Kalau situasi pasar modal membaik, itu artinya orang masih menganggap prospeknya bagus. Nah, prospek ini yang juga harus terjadi di Pasar Tanah Abang, Pasar Kliwon, Pasar Turi, dan sebagainya. Jangan sebaliknya,” tutur Jusuf Kalla.

Prospek dan harapan itu pula yang seyogianya mewarnai kehidupan negeri ini saat harga-harga komoditas naik, karena negeri ini menjadi produsen bagi komoditas-komoditas itu. Mulai dari minyak, gas, batu bara, minyak sawit, hingga karet.

Saat harga batu bara di pasar dunia melambung, PLN justru memadamkan listrik secara bergiliran karena alasan kekurangan stok batu bara untuk pembangkitnya akibat gangguan distribusi dan kelebihan beban.

Ketika panen padi tiba, petani sulit menjual dengan harga layak karena kualitas berasnya rendah akibat ketidakmampuan melakukan proses pascapanen secara baik. Padahal, harga beras dunia sedang melambung.

Bukan saatnya lagi saling menyalahkan, tetapi bagaimana mengurai benang kusut itu bersama- sama, dengan komitmen yang kuat untuk kepentingan bangsa, bukan kepentingan politik sesaat.

Tinggal bagaimana bangsa ini memaknai segenap potensi sumber daya alam, manusia, dan kesempatan yang dimiliknya. Harapan itu tetap ada, meski kini samara-samar tertutup berbagai ”kabut” ketidakpastian.

Sebab, seperti kata Boediono, momentum yang sudah tercipta tahun 2007 untuk akselerasi pertumbuhan ekonomi, stabilitas ekonomi, dan pengurangan kemiskinan dan pengangguran yang ditunjukkan melalui indikator- indikator makro itu tidak akan punya arti jika gonjang-ganjing politik menjelang Pemilu 2009 membelokkan semua ”logika sehat”.

Seharusnya pada tahun 2008 dan tahun-tahun mendatang momentum untuk semakin memantapkan pertumbuhan semakin ditingkatkan, dengan memperbaiki kebijakan dan kredibilitas kebijakan agar memperkuat kepercayaan pelaku ekonomi dan kepercayaan rakyat.

”Mudah-mudahan tim ekonomi tidak terlalu partisan sehingga tidak mudah ditarik atau tertarik pada gonjang-ganjing politik menjelang tahun 2009. Terlalu besar yang dipertaruhkan jika gonjang-ganjing politik memengaruhi kerja tim ekonomi,” kata Boediono.

No comments: