Thursday, March 6, 2008

Kenaikan Harga BBM dan Peta Energi


Wahyudin Munawir
Anggota Komisi VII DPR RI

Kenaikan harga BBM yang sudah menyentuh angka psikologis, 100 dolar AS per barel, benar-benar amat merisaukan dunia, tak terkecuali Indonesia. Akibatnya, pemerintah menghitung ulang APBN 2008.

Ada banyak anggaran departemen harus dipotong, termasuk untuk departemen strategis, seperti Dephan dan Depdiknas. Pemotongan ini tak terhindarkan karena Indonesia bukan lagi negeri pengekspor minyak. Sebaliknya, Indonesia menjadi pengimpor BBM (400 ribu ribu barel per hari).

Sebagai penghasil BBM ukuran kecil, Indonesia tidak akan mampu mengatasi kenaikan harga minyak. Dengan hasil minyak 0,9 juta per hari dengan kebutuhan 1,3 juta barel per hari, Indonesia tak dapat berbuat banyak. Indonesia tidak seperti negara Teluk, sulit meningkatkan produksi minyaknya dalam waktu dekat.

Sebetulnya Indonesia punya banyak sumber energi selain minyak, seperti panas bumi, angin, sinar matahari, gelombang laut, dan biofuel yang berasal dari tumbuh-tumbuhan. Yang terakhir ini jenisnya banyak sekali karena seluruh tumbuhan yang menghasilkan minyak dan karbohidrat bisa dipakai untuk sumber energi.

Jagung, singkong, uwi, gembili, tebu, sagu, dan lain-lainnya pada dasarnya bisa dipakai untuk bahan baku energi pengganti BBM. Brasil, misalnya, sejak 1980-an memilih tebu untuk produksi etanol (alkohol) sebagai pengganti BBM. Mereka cepat merespons krisis minyak tahun 1980-an (akibat Perang Irak-Iran) dan bersumpah tidak mau tergantung dari BBM.

Sejak itu semua daya upaya dikerahkan untuk memproduksi etanol sebagai pengganti BBM. Semua kendaraan bermotor yang masuk Brasil harus dimodifikasi sehingga bisa memakai etanol. Hasilnya, luar biasa, Brasil termasuk pelopor pemakaian biofuel dan 50 persen kebutuhan energinya dipasok kebun-kebun tebu tadi.

Lantas, bagaimana Indonesia? Jika Brasil memilih bahan baku energinya dari tebu, apakah Indonesia juga akan memilh tebu? Inilah yang perlu kita diskusikan bersama.

Soalnya, tidak semua tanah di Indonesia cocok dengan tebu. Tanaman tebu perlu perawatan yang baik, irigasi yang baik, pupuk yang baik, dan lain-lain. Brasil sebagai sebuah negeri berbentuk kontinen, memungkinkan mobilitas dan sosialisasi yang cepat dan terpadu kepada rakyat untuk menanam tebu secara besar-besaran.

Indonesia? Sebagai negeri kepulauan, agak sulit melakukan mobilisasi dan sosialisasi pembangunan kebun energi itu secara cepat dan terpadu. Tapi, itu tak berarti Indonesia tidak mempunyai cara efektif dan efisien dalam menciptakan kecukupan energi non-BBM.

Wilayah Indonesia mempunyai variasi geografi dan jenis tanah yang sangat beragam. Jenis tanah di Pulau Jawa, misalnya, sangat berbeda dengan di Kalimantan. Di Sumatra, misalnya, berbeda pula dengan di Nusa Tenggara Timur (NTT). Begitu juga dengan iklim, kelembaban, dan suhu udara.

Semua itu memengaruhi jenis tumbuhan yang baik untuk ditanam di wilayah-wilayah bersangkutan. Jarak dan jagung, misalnya, bagus untuk ditanam di wilayah NTT. Kelapa sawit sangat bagus di Riau dan sebagian di Kalimantan. Singkong bagus ditanam di Lampung. Itu sudah terbukti. Lampung dikenal sebagai provinsi penghasil singkong terbesar di Indonesia.

Dari situlah kita bisa membuat peta produksi energi di seluruh wilayah Indonesia untuk menghadapi kemahalan dan kelangkaan BBM. BBM (fossil fuel) bisa digantikan dengan biofuel. Biofuel ini bisa berupa minyak (dari jarak dan sawit) maupun alkohol (fermentasi dari karbohidrat, seperti tebu, singkong, dan ubi).

Dari perpektif inilah kita bisa melihat di mana saja seharusnya pemerintah mengembangkan biofuel dan daerah yang baik untuk pengembangan biofuel jenis tertentu. Dengan demikian, setiap daerah mempunyai spesifikasi biofuel sesuai dengan karakteristik tanah dan iklim wilayahnya. Pemerintah bisa diversifikasi energi.

Di NTT jika dikembangkan pohon jarak untuk sumber energi, daerah ini tidak akan tergantung pada BBM lagi. Begitu pula di Lampung bila dikembangkan tanaman singkong untuk energi, niscaya daerah tersebut bisa swembada bahan bakar (etanol).

Perusahaan dari Timur Tengah sudah mulai investasi pengembangan biofuel minyak jarak di NTT. Beberapa perusahaan nasional sudah mulai membangun pabrik pengolahan singkong menjadi etanol di Lampung. Jika penelitian terus dilakukan dengan intensif, niscaya ditemukan lagi jenis tanaman lain yang bagus untuk menghasilkan biofuel tadi.

Di samping pemetaan wilayah sumber bahan baku energi, pemerintah juga seharusnya mulai memikirkan pemetaan kecanggihan teknologi dalam pemakaian bahan bakar. Kompor masak dan lampu teplok yang memakai bahan bakar minyak tanah, jelas sangat tidak efisien. Kenapa? Karena minyak tanah itu spesifikasinya adalah untuk bahan bakar pesawat terbang yang menggunakan teknologi tinggi. Kerosin harganya amat mahal lantaran bisa untuk menggantikan avtur.

Sebagai ganti kerosin, mereka bisa memakai minyak jarak kualitas tertentu (grade rendah yang bisa dipres langsung dari biji jarak dengan teknologi sederhana) yang masih kasar yang bisa dibuat oleh penduduk. Juga bisa menggunakan batu bara atau bahan bakar cair yang berasal dari batu bara.

Beberapa perguruan tinggi berhasil membuat bahan bakar cair dari sampah organik. Seterusnya harus dipilah bahan bakar untuk tungku, pabrik, mobil, pesawat, dan lain-lain.

Sebagai negeri yang paling banyak mempunyai gunung berapi, Indonesia sangat kaya energi panas bumi. Sekitar 40-an persen potensi energi panas bumi di seluruh dunia ada di di Indonesia. Potensi energi panas bumi ini mencapai 2700 giga watt. Luar biasa! Belum termasuk energi matahari, angin, dan gelombang laut.

Semua ini kalau dikelola dengan baik akan menjadikan Indonesia makmur energi. Dari perspektif ini, pemerintah bisa memetakan kebutuhan energi nasional berdasarkan data-data mapping energi dan teknologi proses pembuatan bahan baku energi tersebut. Dari mapping itu akan bisa dibuat grafik, simulasi kebutuhan energi, dan tingkat harganya.

Saat ini BBM impor dari Timur Tengah harus didistribusikan ke Papua, NTT, dan daerah pedalaman. Ini menyebabkan harganya tinggi karena ongkos transportasi dan distribusinya mahal. Seandainya untuk daerah-daerah pedalaman masyarakat bisa membuat bahan bakar sendiri dari tanaman yang ada di sekitarnya, minimal untuk memenuhi kebutuhan mesin-mesin tingkat bawah (kompor dan lampu teplok), akan banyak sekali penghematan pemakaian kerosin.

Di pihak lain, pemakai mesin canggih, seperti mobil mewah yang jumlahnya sedikit, bisa membeli avtur atau biofuel tingkat tinggi yang lebih mahal. Pemerintah tak perlu menyubisidi mereka. Jika itu terjadi, akan banyak BBM yang bisa dihemat. Pemerintah tidak perlu pusing memikirkan kenaikan harga BBM dan rakyat yang sudah terbiasa dengan diversifikasi energi akan menerima semua itu.

Dengan demikian, kenaikan harga BBM itu tak cukup untuk menjadi alasan Indonesia harus mengurangi dana pembangunannya untuk menyubsidi kenaikan harga minyak. Jika itu terjadi, Indonesia akan selamat dari krisis multidimensi yang dipicu kenaikan harga BBM dunia itu.

ikhtisar:
- Indonesia punya banyak sumber energi selain minyak.
- Penentuan komoditas penghasil minyak alternatif harus disesuaikan dengan kondisi wilayah masing-masing.

No comments: