Sunday, March 9, 2008

Dialog Kejagung


Kami Bertanggung Jawab Hentikan Penyelidikan BLBI

Kejaksaan Agung (Kejagung) menghentikan penyelidikan kasus yang terkait dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap dua obligor, Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim.

Keputusan itu mengundang reaksi pro dan kontra dari masyarakat. Sebab, jumlah uang yang terlibat dalam kasus ini sangat besar, yakni mencapai ratusan triliun rupiah. Belum lagi dampak pada masyarakat luas serta kepentingan politik yang menyertainya. Berikut wawancara dengan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kemas Yahya Rahman Sabtu pagi (1/3/2008):

Apa dasar Kejagung menghentikan penyelidikan kasus terkait BLBI pada Anthony Salim dan Sjamsul Nursalim?
Pertama yang harus dijelaskan di sini adalah Kejaksaan tidak menghentikan penyelidikan kasus BLBI, tetapi penyelidikan kasus yang terkait dengan BLBI terhadap Anthony Salim yang kita sebut untuk kemudahan saja sebagai BLBI I, dan terhadap Sjamsul Nursalim yang kita sebut BLBI II. Penyelidikan kasus ini bermula dari rapat dengar pendapat kita dengan Komisi III (hukum) DPR yang menyarankan kita untuk menyelidiki kasus ini. Lalu, kami bentuklah tim jaksa yang terdiri atas 35 orang. Jaksa ini merupakan jaksa terbaik yang kita ambil dari daerah. Kami bekerja melakukan penyelidikan ini selama hampir tujuh bulan. Pertama, kami targetkan 3 bulan, lalu diperpanjang 2 bulan, kemudian diperpanjang lagi 2 bulan. Pada titik ini, berdasar hasil penyelidikan, tidak ditemukan pelanggaran hukum yang mengarah pada korupsi. Kalau penyelidikan diperpanjang lagi, mau sampai kapan ada kepastian?

Apakah memang tidak ada pelanggaran hukum. Sebab, ada perbedaan selisih aset diberikan kedua obligor itu yang cukup besar saat dijual kembali oleh pemerintah?
Begini, dalam kasus BLBI itu kan dibagi dalam tiga tahap. Tahap penyaluran,penggunaan kredit, dan penyelesaian. Seperti yang saya selalu bilang, kami tidak menyelidiki soal kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan kasus ini. Pemerintah kan memang sudah memilih menyelesaikan kasus ini dengan mengeluarkan Undang- Undang (UU) Propenas, TAP MPR yang intinya akan memberikan kepastian hukum pada obligor yang kooperatif. Kami tidak mengurusi itu karena bukan wilayah kami. Lantas, dari mana masuknya? Kami masuk dari pelaksanaan tahap-tahap itu. Secara sederhananya, kami menduga ada pelanggaran hukum mengarah korupsi karena selisih nilai aset itu. Grup Salim yang menerima BLBI Rp52 triliun.Ternyata, Salim Grup ini punya dua utang.Pertama,BCA ke BI karena rush dan utang Salim sendiri pada BCA.

Untuk utang BCA, itu sudah diselesaikan dengan penjualan 98% saham BCA kepada pemerintah. Lalu, ada utang Salim ke BCA dibayar dengan menyerahkan 108 aset perusahaannya. Saat dihitung waktu itu,jumlahnya sesuai. Maka itulah, Salim diberi surat keterangan lunas (SKL). Ketika dijual lagi,asetnya hanya laku Rp19 triliun.Namun, dari hasil penyelidikan kami, tidak ada pelanggaran hukum dalam proses ini. Begitu juga dengan Sjamsul Nursalim. Bank-nya, BDNI, itu masuk bank beku operasi alias bank yang tidak sehat. Dana BLBI yang diterima adalah Rp47 triliun. Utang itu dibayar dengan menyerahkan aset 18 perusahaan. Masih ada kekurangan sekitar Rp27 triliun.

Itu dibayarkan dengan menyerahkan lagi aset tiga perusahaan dan uang tunai Rp1 triliun. Lalu, diberikan juga SKL. Aset itu lantas dijual.Penyerahan pertama hanya laku Rp1,8 triliun, sedangkan yang kedua hanya Rp640 miliar. Berdasar penyelidikan kami, semua proses itu juga dilakukan tanpa adanya pelanggaran hukum. Pertanyaannya kemudian, mengapa asetnya bisa turun? Itu disebabkan faktor luar, yaitu kondisi perekonomian, dankeduainiyangjadicatatan kritis kami. Penghitungan yang dilakukan oleh appraisal independen itu tidak optimal karenahanya diberikanwaktu pendek, sekitar sebulan. Sementaraitu, asetyangharusdihitung banyak. Jadi, mereka hanya melakukan pemeriksaan secara formal. Ini yang saya kira bisa masuk untuk jadi persoalan perdata.

Hasil kesimpulan itu akan dibawa ke mana?
Tentu akan kami laporkan kepada Jaksa Agung. Lalu, Jaksa Agung akan memberikan itu ke Departemen Keuangan (Depkeu) biar dipelajari. Kalau nanti Depkeu memutuskan untuk melakukan gugatan perdata karena minimnya waktu penghitungan aset karena hanya diperiksa secara formal, bisa diserahkan pada Kejaksaan untuk kemudian kami tindak lanjuti. Namun, untuk persoalan itu, bukan kewenangan saya. Sebab, saya hanya melakukan penyelidikan dugaan adanya pelanggaran hukum yang mengarah ke korupsi. Hasil penyelidikan berkesimpulan,itu tidak ada.

Kalau penyelidikan dihentikan, apakah ini berarti kerja Kejaksaan gagal dalam kasus ini?
Tidak bisa disebut demikian. Kerja hasil penyelidikan itu kan ada tiga. Ditemukan cukup bukti sehingga bisa diteruskan ke penyidikan untuk dibawa ke pengadilan, tidak ditemukan bukti dan dalam perkara pidana, ada bukti yang bisa dibawa ke persoalan perdata. Dalam kasus ini kan kita berkesimpulan bahwa tidak ada bukti pelanggaran hukum mengarah korupsi, tetapi ada peluang untuk dilakukan gugatan perdata. Jadi, itu juga merupakan hasil kerja penyelidikan.

Ada tudingan, sedari awal memang Kejaksaan tidak serius menyelidiki kasus ini. Bagaimana soal itu?

Saya kira, tuduhan itu tidak berdasar. Kalau memang fakta hukum menunjukkan bahwa tidak ada pelanggaran hukum, kami tidak bisa memaksakan. Kami siap bertanggung jawab atas kesimpulan ini. Sebab, kami membuat kesimpulan itu berdasarkan penyelidikan hukum yang dilakukan cermat dan hati-hati.

Kalau ada pihak yang tidak puas bagaimana?
Alasannya apa? Kalau mereka bisa memberikan bukti bukti bahwa ada pelanggaran hukum dalam kedua kasus itu, serahkan kepada kami. Kami akan senang sekali dan pasti akan kami tindak lanjuti. Sejak awal,kami tahu kalau putusan ini akan mengundang pro dan kontra. Itu wajar. Namun,kami harus membuat putusan itu karena memang demikian hasil penyelidikan kami. Sekali lagi, kami siap bertanggung jawab atas putusan itu. Keputusan itu kami buat demi kepastian dan penegakan hukum di Indonesia, bukan atas dasar hal-hal yang lain.

(Sindo Sore//sjn)

No comments: