Saturday, March 15, 2008

Ekonomi Rakyat di Titik Nadir


Jumat, 29 Februari 2008 | 01:51 WIB

Oleh Ahmad Arif

Sektor usaha kecil dan menengah, yang menjadi penopang ekonomi lebih dari separuh penduduk negeri ini, tengah di ambang kebangkrutan. Dari industri tempe hingga pengecoran baja, semua tiarap. Usaha perdagangan di pasar-pasar tradisional juga hancur. Ekonomi rakyat menuju titik nadir.

itik nadir itu dirasa betul oleh para pengusaha pengecoran logam dari Ceper, Klaten, Jawa Tengah. Sudah hampir dua bulan, tungku pembakaran cor logam milik 370 dari 400 pengusaha kecil di sana tak lagi menyala. Dan kini jumlahya terus menyusut dari hari ke hari.

Jika rata-rata setiap pengusaha memiliki 15 karyawan, itu artinya tungku dapur lebih dari 5.500 keluarga tak lagi mengepul normal. Jumlah itu bisa lebih besar lagi karena ada juga pengusaha di Ceper yang memiliki lebih dari 250 karyawan.

Krisis kali ini merupakan yang terburuk sepanjang berdirinya usaha pengecoran logam di Ceper yang telah berlangsung sejak zaman Kerajaan Mataram. ”Usaha turun-temurun yang telah kami warisi selama empat generasi terancam gulung tikar. Kami kesulitan bahan baku dan bahan bakar,” kata seorang peserta diskusi panel tentang ”Hancurnya Ekonomi Rakyat” di Jakarta, pekan lalu.

Masalah utama yang menyebabkan tutupnya usaha pengecoran logam di Ceper ini adalah harga bahan baku berupa besi cor bekas (scrap) dan bahan bakar yang tak terjangkau. Harga scrap di pasaran terus naik, dari Rp 3.500 pada akhir 2007, kini sudah Rp 5.550 per kilogram.

Selain masalah bahan baku, bahan bakar ternyata menjadi kendala besar. Harga batu bara yang tak terjangkau membuat sebagian pengusaha pada tahun 2000 beralih menggunakan sistem induksi dengan sumber energi listrik. Akan tetapi, tarif listrik yang sangat tinggi dan pasokan yang seret akibat krisis listrik yang melanda negeri ini membuat pasokan energi ke pengusaha juga ikut tersendat.

Pajak pemakaian listrik untuk industri pengecoran logam ini dirasa sangat tinggi. Dipakai atau tidak paling tidak Rp 24 juta per bulan harus dikeluarkan. Jika sebelumnya ada sekitar 10 pengusaha yang memakai induksi, kini tinggal satu orang.

Kedua masalah mendasar tadi membuat produk industri logam dari Ceper dilindas oleh pengusaha sejenis dari China. Misalnya, produk pemberat lift buatan Ceper dijual Rp 6.500 per kg. Padahal, pengusaha China bisa menjual produk yang sama hanya dengan harga Rp 3.500. Itu pun sudah sampai di tempat pemesan.

Gagal berkembang

Seorang panelis mengatakan, kelompok usaha kecil menengah (UKM) tidak akan bisa mandiri jika terus diproteksi. Agar bisa berkelanjutan, mereka harus bisa besar sehingga sanggup bersaing dengan produsen dari luar. ”Yang harus kita lakukan adalah mendorong agar UKM ini menjadi modern dan berkembang sehingga bisa bersaing di pasar bebas,” kata dia.

Masalahnya, pemerintah ternyata gagal membesarkan UKM. Jangankan membesar, yang sudah ada pun terus tergerus dan menuju mati karena kebijakan pemerintah yang amburadul.

Kehancuran usaha pengecoran logam di Ceper adalah cermin amburadulnya kebijakan itu. Berbagai masalah klasik, mulai dari kelangkaan bahan baku dan bahan bakar, gagalnya modernisasi mesin industri, hingga lemahnya dukungan modal dari sektor perbankan hingga hari ini tak juga dicarikan jalan keluar.

Sejauh ini, hanya sekitar 25 persen UKM yang dilayani bank. Adapun usaha yang berada di tingkat akar rumput sama sekali belum terjamah oleh lembaga perbankan. Dari 25 persen kredit untuk UKM, lebih dari 50 persennya ternyata untuk kegiatan konsumen, bukan untuk produksi. Kredit UKM ternyata tidak menyentuh sektor riil yang selama ini justru menjadi harapan kita untuk segera pulih.

Ketersediaan bahan baku logam, sebagai contoh kasus, memang sejak lama menjadi masalah besar di sektor hulu. Tak hanya UKM di Ceper, perusahaan baja nasional terbesar seperti PT Krakatau Steel juga kesulitan bahan baku. Mereka juga harus memulung besi bekas.

Saat ini hampir 100 persen bahan baku baja dari PT Krakatau Steel diimpor. Hanya sebagian kecil yang bisa dipenuhi dalam negeri (sebagian dari besi bekas), yakni sekitar 5.000- 10.000 ton per bulan. Padahal, kebutuhan bahan baku PT Krakatau Steel setiap bulan mencapai 150.000 ton.

Namun, mengenai kesulitan batu bara sebagai bahan bakar jelas karena kesalahan perencanaan sistem industri nasional. Indonesia adalah produsen batu bara terbesar ketiga di dunia. Namun, menurut data di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, 81 persen dari 157 juta ton produksi batu bara Indonesia pada tahun 2007 diekspor.

Para pengusaha dari Ceper itu terpaksa harus membeli batu bara dari China, yang sebenarnya asalnya juga dari tambang-tambang dalam negeri ini. Barangkali memang benar kata sementara orang, sesungguhnya yang membunuh ekonomi rakyat adalah pemangku negeri ini yang lalai terhadap rakyatnya sendiri.

No comments: