Kamis, 6 Maret 2008 | 02:23 WIB
Jakarta, Kompas - Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI menyatakan, susut energi listrik yang dialami PT Perusahaan Listrik Negara Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang yang mencapai lebih dari 10 persen dari total produksi tahun 2007 itu terlalu tinggi. Idealnya, susut energi hanya 1 persen.
”Inefisiensi produksi dan distribusi listrik disebabkan tidak efisiennya kinerja PLN. Pada tahun 2007, kerugian akibat inefisiensi di Jakarta dan sekitarnya mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Inefisiensi ini juga terjadi di tingkat nasional yang mencapai 12 persen,” kata anggota YLKI, Tulus Abadi, Rabu (5/3).
Tanpa sadar, selama bertahun-tahun, kerugian dibebankan kepada rakyat melalui tagihan rutin per bulan. Rakyat, yaitu para pelanggan PLN, harus membayar tagihan rutin atau diputus layanan listriknya oleh PLN. Padahal, pemadaman terus terjadi dan tarif dasar listrik naik.
Tulus menambahkan, sebanyak 80 persen dari susut energi disebabkan faktor teknis, seperti jaringan listrik yang sudah tua, peralatan renta yang rawan rusak, serta mesin-mesin pembangkit tidak berfungsi. Kondisi tersebut semestinya bisa diperbaiki dengan penambahan investasi baru. Sebanyak 20 persen lainnya susut karena faktor nonteknis, seperti kesalahan administrasi pencatatan dan tagihan serta pencurian.
YLKI menegaskan, PLN harus memperbaiki kinerjanya dulu sebelum memutuskan kebijakan baru. Penerapan disinsentif dan insentif sangat tidak adil bagi rakyat.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Handaka mengatakan, pemerintah jangan terlalu reaktif, lalu membebankan kesalahannya kepada rakyat. Pemerintah harus memerhatikan industri kecil skala rumah tangga yang mungkin bakal terpuruk karena kebijakan baru PLN.
Jika kebijakan tersebut dilakukan, PLN telah melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan dan UU Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pelayanan Konsumen. (NEL/ARN)
No comments:
Post a Comment