Monday, March 24, 2008

Semua Sukuk Korporasi Indonesia Sesuai Syariah

Sukuk Indonesia tidak termasuk dalam daftar
sukuk bermasalah yang ditunjuk AAOIFI


JAKARTA -- Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) menyatakan seluruh obligasi syariah (sukuk) korporasi di Indonesia sejalan prinsip syariah. DSN meminta masyarakat tidak mengkuatirkan keberadaan berbagai sukuk korporasi tersebut.

Pernyataan otoritas fatwa Indonesia tersebut diungkapkan DSN, menanggapi pernyataan dewan syariah Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), bulan lalu. Saat itu AAOIFI menyatakan, 85 persen sukuk yang beredar di dunia tidak sesuai prinsp syariah. Padahal hingga akhir tahun lalu, jumlah penerbit obligasi korporasi syariah di Indonesia tercatat 21 korporasi, dengan total dana investasi mencapai Rp 3,23 triliun.

Menurut Ketua Umum DSN MUI, KH Maruf Amin, seluruh sukuk korporasi di Indonesia telah menjalani proses verifikasi syariah sebelum diterbitkan. Berdasarkan proses verifikasi tersebut, seluruh sukuk korporasi dinyatakan sejalan dengan prinsip syariah. Karena itulah DSN memberikan rekomendasi syariah bagi penerbitan seluruh sukuk tersebut.

''Menurut kami, seluruh sukuk di Indonesia sudah sesuai dengan prinsip syariah karena telah diverifikasi,'' kata Ma'ruf kepada Republika, Ahad, (23/3).

Ma'ruf menyatakan, dalam proses verifikasi, sebagian besar sukuk korporasi di Indonesia menggunakan akad ijarah (sewa) dengan skim transaksi lease and sub lease. Dengan skim tersebut, perusahaan penerbit sukuk menjaring dana investasi syariah untuk membeli hak manfaat atas suatu proyek atau barang dalam kurun tertentu. Selanjutnya, penerbit menyewakan kembali barang tersebut kepada penyewa lain.

''Jadi, sukuk jenis ini sudah sesuai syariah dan tidak terjadi perpindahan kepemilikan,'' kata Ma'ruf.

Mengenai rencana pemerintah menerbitkan sukuk ijarah dengan transaksi sales and lease back, Ma'ruf mengakui perpindahan kepemilikan dari penerbit kepada investor sukuk perlu terjadi. Hal itu juga berdasarkan prinsip syariah. ''Perlu ada pihak ketiga supaya tidak terjadi baiul inah atau transaksi semu,'' kata dia. Pihak ketiga itu bisa saja berupa lembaga yang ditunjuk pemerintah.

Aset BMN dijual
Sementara Direktur Kebijakan Pembiayaan Syariah Departemen Keuangan (Depkeu), Dahlan Siamat, mengakui, dalam rencana penerbitan sukuk pemerintah dengan menggunaan akad ijarah berskim sales and lease back, transaksi penjualan barang milik negara (BMN) sebagai underlying asset memang terjadi. Namun, transaksi tersebut dilakukan untuk mendukung penerbitan sukuk untuk menjaring dana investasi syariah.

Menurut Dahlan, penjualan BMN tersebut dilakukan antara pemerintah kepada badan hukum terpisah yang berperan sebagai special purpose vehicle (SPV). SPV tersebut merupakan badan hukum yang dibentuk dan dimiliki penuh oleh pemerintah. Selanjutnya, berdasarkan aset yang dimiliki, SPV kemudian menerbitkan sukuk untuk menjaring dana investasi. ''Dalam hal ini, SPV mengajak investor melakukan penyertaan dana investasi dengan membeli sukuk pemerintah,'' kata Dahlan.

Meskipun sukuk dibeli investor, kepemilikan atas BMN tetap berada pada SPV. Hal itu karena selain dimiliki pemerintah, SPV mewakili kepentingan investor sebagai wali amanat. Selain itu, saat sukuk jatuh tempo atau default, SPV berkewajiban menjual kembali kepada pemerintah. Hal itu karena saat transaksi penjualan BMN oleh pemerintah kepada SPV, SPV berkewajiban membuat pernyataan sepihak yang menyatakan akan menjual kembali kepada pemerintah saat sukuk jatuh tempo (sale and purchase undertaking, SPU). ''Pernyataan serupa wajib dibuat pemerintah dimana pemerintah wajib membeli kembali BMN saat sukuk jatuh tempo,'' kata dia.

Sementara, nilai penjualan dan pembelian kembali BMN saat sukuk jatuh tempo akan sama dengan nilai BMN tersebut saat sukuk pertama kali diterbitkan. Hal tersebut meski BMN mengalami apresiasi atau depresiasi nilai saat jatuh tempo. "Selain itu, dalam penerbitan, kita juga akan minta rekomendasi syariah dari DSN untuk memperkuat kesesuaian syariah sukuk kita,'' kata Dahlan.

Sebelumnya, AAOIFI menyatakan bahwa sebagian besar penerbitan sukuk hanya mensyaratkan terjadinya perpindahan aliran kas tanpa perpindahan aset dari penerbit sukuk kepada investor.

(aru )

No comments: