Jumat, 14 Maret 2008 | 02:05 WIB
Oleh M Fajar Marta
Kinerja bank yang masuk dalam emiten Kompas100 menunjukkan kondisi yang bagus. Itu seiring dengan perkembangan industri perbankan yang juga mencatat pertumbuhan signifikan selama tahun 2007. Namun, ke depan, industri perbankan dihadapkan tantangan meningkatnya kredit bermasalah dan gelembung harga komoditas.
Berdasarkan data yang dikutip dari Bank Indonesia, total laba 10 bank yang masuk sebagai emiten Kompas100 mencapai Rp 17 triliun per September 2007. Pangsa laba 10 bank tersebut mencapai sekitar 60 persen dari total laba perbankan nasional,
Sepuluh bank yang masuk sebagai emiten Kompas100 adalah Bank Bukopin, BCA, Bank Century, Bank Danamon, BII, Bank Mandiri, BNI, Bank Niaga, Bank Panin, dan BRI. Adapun total bank yang beroperasi di Indonesia mencapai 128 bank umum.
Laba yang dihimpun oleh bank emiten Kompas100 tersebut tumbuh sekitar 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Adapun pajak penghasilan yang telah disumbangkan kepada negara dalam sembilan bulan selama 2007 mencapai Rp 3,8 triliun.
Total aset sepuluh perbankan tersebut mencapai Rp 1.115 triliun atau sekitar 60 persen dari total aset perbankan yang mencapai Rp 1.800 triliun.
Pertumbuhan yang signifikan dari emiten bank Kompas100 tak terlepas dari majunya industri perbankan secara keseluruhan.
Terbukti, laba bersih perbankan nasional tahun 2007 mencatat rekor baru, mencapai Rp 35 triliun, tumbuh 23 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pencapaian itu salah satunya dipicu oleh membaiknya tingkat efisiensi bank.
Berdasarkan data Statistik Perbankan yang dirilis Bank Indonesia (BI), total pendapatan operasional perbankan nasional mencapai Rp 219,65 triliun, meningkat dibandingkan dengan tahun 2006 yang sebesar Rp 212,49 triliun. Di sisi lain, beban operasional perbankan nasional justru menurun dari Rp 184,83 triliun menjadi Rp 184,62 triliun. Ini mencerminkan tingkat efisiensi yang makin baik.
Pengamat perbankan Iman Sugema menjelaskan, laba yang cukup besar juga dipicu oleh melonjaknya pendapatan bunga bersih dan membaiknya kredit bermasalah.
Menurut Iman, pada masa tren penurunan suku bunga seperti sekarang, terdapat kecenderungan penurunan suku bunga dana lebih cepat dibandingkan suku bunga kredit. Kondisi ini tidak terlepas dari perilaku bankir yang ingin meraup untung besar.
Selain efisiensi, laba perbankan nasional yang cukup tinggi juga disumbangkan oleh penempatan bank pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Kendati suku bunga SBI cenderung menurun dan mencapai level 8 persen pada akhir 2007, volumenya cenderung meningkat. Per akhir Desember 2007, posisi SBI mencapai Rp 203,86 triliun, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp 179 triliun.
Salah satu bank yang masuk dalam Kompas100 adalah Bank Niaga yang mencatat laba bersih tahun 2007 sebesar Rp 770 miliar, meningkat 19 persen dibandingkan tahun 2006. Presdir Bank Niaga Hashemi Albakri mengatakan, peningkatan kinerja disebabkan membaiknya iklim investasi.
Sejumlah bank yang masuk Kompas100 seperti Bank Mandiri, Bank Central Asia, Bank Rakyat Indonesia, Bank Negara Indonesia, Danamon, Bank Internasional Indonesia, Bank Niaga, dan Bank Panin juga mendapat peningkatan peringkat dari Lembaga pemeringkat efek Fitch Ratings. Fitch menaikkan peringkat jangka panjang mata uang asing Issuer Default Ratings (IDR) bank tersebut.
Lembaga pemeringkat yang berkantor pusat di New York, AS, ini juga menaikkan peringkat jangka panjang mata uang lokal IDR Bank Mandiri dan Bank Negara Indonesia dari BB- ke BB.
Risiko
Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Miranda S Goeltom mengingatkan adanya tantangan yang berat bagi perbankan ke depan. Tantangan tersebut berupa kenaikan harga komoditas yang salah satu dampaknya akan memberatkan industri karena ongkos produksi meningkat.
Menurut Miranda, meningkatnya ongkos produksi berarti akan memperkecil kemampuan perusahaan membayar utang termasuk mencicil kredit ke bank. Kondisi ini sudah barang tentu berpotensi meningkatkan kredit bermasalah.
Karena itulah, Miranda mengingatkan agar bank mulai mengawasi debitor-debitor yang banyak menggunakan minyak dan komoditas yang harganya naik.
Sampai Januari 2008, stabilitas sistem keuangan relatif terjaga di tengah masih bergejolaknya pasar keuangan global dan kenaikan harga bahan pokok. Kinerja perbankan tetap baik meskipun terdapat penurunan kredit dan dana pihak ketiga (DPK). Kredit perbankan Januari 2008 turun Rp 14,6 triliun (1,4 persen) sehingga menjadi Rp 1.031,1 triliun, terutama pada kredit modal kerja dan sektor perdagangan.
DPK juga turun 2,6 persen dari Rp 1.510,7 triliun pada Desember 2007 menjadi Rp 1.471,2 triliun pada Januari 2008. Penurunan DPK yang lebih besar dibandingkan kredit tersebut menyebabkan rasio kredit terhadap dana pihak ketiga perbankan naik menjadi 70,1 persen.
Fenomena penurunan kredit di awal tahun terjadi setiap tahun dan diperkirakan akan meningkat kembali pada Februari. Sejalan peningkatan LDR, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) perbankan tetap pada level di bawah 5 persen, yaitu 4,82 (gross) dan 2,82 persen (net).
Sementara itu, pengamat ekonomi Dradjad Wibowo mengingatkan agar perbankan mewaspadai dampak inflasi dan over-investasi karena gelembung komoditas (commodities bubble).
”Indonesia harus benar-benar waspada dengan gejala commodities bubble yang muncul setelah krisis subprime. Bubble ini terjadi karena investor pasar keuangan mengalihkan hot money dari aset keuangan ke komoditas. Langkah ini dimotivasi oleh kombinasi dari upaya diversifikasi risiko investasi dan kompensasi kerugian di pasar keuangan sekaligus,” kata Dradjad.
Menurut Dradjad, selain tambahan beban yang sangat besar terhadap APBN, dampak negatifnya kepada Indonesia minimal tiga hal. Pertama, tingginya commodity-induced inflation atau inflasi yang dipicu kenaikan harga komoditas, baik produk primer, pangan, maupun migas.
Kedua, naiknya expected inflation yang bisa-bisa di luar kendali BI. Ketiga, memicu distorsi dalam harga relatif antarkomoditas. Ini bisa menimbulkan over-investasi pada proyek-proyek komoditas.
”Beberapa komoditas kelihatan seperti menguntungkan saat ini, seperti biji-bijian, minyak nabati, dan produk primer lain. Dana kredit perbankan dan pembiayaan bisa saja terkecoh dialirkan ke komoditas ini secara besar-besaran, padahal tingginya harga tersebut lebih merupakan bubble,” katanya.
”Padahal, komoditas perkebunan dan pertambangan mempunyai grace period lama dan risiko tinggi. Jika pada masa produksi ternyata harga-harga anjlok karena bubble-nya pecah, maka over-investasi ini akan timbulkan kredit macet dan krisis keuangan lanjutan. Perbankan perlu waspada terhadap hal ini karena berpotensi meningkatkan NPL,” kata Dradjad lagi.
Saturday, March 15, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment