Monday, March 17, 2008

ANALISIS EKONOMI


Bank Indonesia Bukan Induk dari Bank-bank Komersial
Senin, 17 Maret 2008 | 02:32 WIB

FAISAL BASRI

Kontroversi proses pemilihan Gubernur Bank Indonesia terus berlanjut. Kalangan DPR yang menolak dan pihak Istana saling bersahutan.

Sumber kontroversi adalah karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjagokan Agus Martowardojo (AM). Indikasi kuatnya terlihat dari dukungan penuh Fraksi Partai Golkar dan Fraksi Partai Demokrat kepada AM, sementara tak satu suara pun memilih Raden Pardede (RP).

Jadi, sangat jelas RP dipasang semata-mata sebagai calon pendamping atau pelengkap penderita untuk memuluskan AM. Pengajuan AM memunculkan pertanyaan besar, apakah Presiden memahami sepenuhnya tantangan yang sedang dihadapi perekonomian Indonesia dan di mana peran Bank Indonesia (BI) untuk menjawab tantangan tersebut?

Jika Presiden berpandangan bahwa seorang bankir andal dan sukses otomatis akan berhasil pula memimpin BI, Presiden jelas salah.

BI bukanlah induk dari bank-bank komersial. Hanya kebetulan saja aturan yang berlaku di Indonesia masih menempatkan BI sebagai regulator dan pengawas bank-bank komersial. Idealnya, BI hanya mengurusi kebijakan moneter.

Bankir tidak cocok

Undang-undang pun menegaskan, tugas utama BI ialah menjaga kestabilan harga. Untuk melaksanakan tugasnya, BI mengelola kebijakan moneter dengan segala perangkat yang dimilikinya, seperti suku bunga dan nilai tukar.

BI bahu-membahu dengan pemerintah yang bertanggung jawab mendesain kebijakan fiskal untuk menjamin agar perekonomian tumbuh dan berkembang di jalur yang optimal (full employment).

Maka, jelas kiranya, figur seorang bankir ”murni” yang sukses sekalipun sangatlah tidak cocok untuk memimpin bank sentral. Harus diingat bahwa gubernur bank sentral bukan sekadar pemimpin dewan gubernur dan eksekutif puncak yang mengurungi internal BI, tetapi juga sebagai simbol dalam mengomunikasikan langkah strategis terkait dengan pengelolaan kebijakan moneter ke seluruh stakeholder, baik pelaku di dalam maupun luar negeri.

Bakal jadi apa kebijakan moneter kita seandainya sang gubernur tak fasih menjelaskan dinamika perekonomian kepada pelaku pasar dengan bahasa yang membumi.

Apakah sang gubernur melulu akan menyerahkan kepada deputi gubernur senior untuk menjawab liku-liku persoalan moneter yang diajukan pelaku pasar dan para anggota DPR dalam setiap acara dengar pendapat?

Bagi seorang gubernur bank sentral, kompetensi pengetahuan makroekonomi dan moneter hampir menjadi persyaratan mutlak. Berbekal pengetahuan yang mendalam tentang makroekonomi dan moneter inilah, akan mengalir hujah-hujah yang meyakinkan dari setiap kata yang terlontar untuk meyakinkan publik. Kemampuan itu tak bisa terbentuk dalam sekejap lewat proses pembelajaran sambil bekerja, melainkan harus sudah terakumulasi dan terinternalisasikan dalam sosok dan pemikiran sang gubernur.

Penolakan sudah tepat

Sudah barang tentu kompetensi pengetahuan saja tak cukup, baru sebagai syarat perlu (necessary condition). Agar mencapai syarat cukup (sufficient condition), seorang calon harus memiliki rekam jejak yang terpuji serta berkepribadian kuat sehingga tak mudah goyah dan terombang-ambing oleh berbagai kelompok kepentingan.

Yang juga tak kalah penting sebagai bahan pertimbangan utama ialah nilai-nilai yang dianut oleh calon gubernur. Penolakan oleh Komisi XI DPR sudah tepat. Jangan lagi ada manuver untuk menganulir keputusan ini di sidang paripurna karena akibatnya akan sangat fatal.

Presiden harus lebih saksama mendengar masukan dari para penasihat dan pembantunya. Ada Emil Salim dan Sjahrir di Badan Penasihat Presiden serta Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri Keuangan di jajaran pembantu utama. Hampir mustahil muncul sosok tak kompeten dari mereka.

Sungguh sangat ironis ketika BI dan pemerintah mencanangkan tahun edukasi perbankan agar rakyat lebih gandrung menabung, justru para penabung kecil dikenakan ”penalti” sehingga uang tabungan mereka di bank tergerus sepanjang waktu dan akhirnya habis. Bukankah praktik demikian justru memperlemah kedaulatan keuangan kita?

Betapa berat dan sekaligus mulia tugas yang diemban Gubernur BI. Presiden harus mengenyahkan pertimbangan-pertimbangan subyektif yang tidak relevan dengan tantangan perekonomian yang kita hadapi.

Kita berharap DPR pun tidak aneh-aneh, misalnya, dengan mendikotomikan calon internal BI versus eksternal BI, calon independen versus calon dari kalangan pemerintahan, dan mengintrodusir kriteria memiliki pengalaman internasional dalam kebanksentralan.

Pasti ada dan tidak sulit menjaring sekadar dua sampai tiga calon terbaik untuk mengisi posisi Gubernur BI. Semoga.

No comments: