GELEMBUNG FINANSIAL (FINANCIAL BUBBLES)
Pada bulan Januari dan Mei 2006, kami bersama sejumlah ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit (TIB) menyatakan bahwa kontradiksi kinerja indikator finansial dengan sektor riil tersebut merupakan situasi yang perlu diwaspadai[10]. Perbaikan kinerja indikator finansial sangat vulnerable jika tidak didukung oleh perbaikan fundamental ekonomi, karena yang terbentuk akhirnya hanya gelembung finansial (financial bubbles) yang hanya terlihat besar tetapi kosong isinya.
Penyebab utama kontradiksi sektor finansial dan sektor riil adalah derasnya aliran modal global dalam bentuk hot money ke negara-negara berkembang Asia termasuk Indonesia. Sampai akhir Juni 2007, jumlah dana asing yang ada di instrumen finansial Indonesia mencapai sekitar Rp 797 triliun, dan sekitar Rp 797 triliun (84 persen) di antaranya ditempatkan di instrumen saham di Bursa Efek Jakarta (lihat tabel).
Aliran masuk hot money tersebut telah memberikan dampak ganda pada perbaikan indikator finansial yaitu kenaikan nilai aset dan penguatan mata uang rupiah. Indeks harga saham di BEJ misalnya, sejak awal 2006 meningkat dramatis sekitar 107 persen dari 1.600 menjadi 2.400 pada pertengahan Juli 2007. Demikian juga nilai tukar rupiah yang cenderung menguat hingga sempat menyentuh Rp 8.600 per US$ pada pertengahan Mei 2007.
Gelembung finansial akibat hot money tersebut sangat berbahaya karena karakteristik hot money yang seperti pisau bermata dua. Selain dapat menggelembungkan nilai aset finansial dan menguatkan mata uang rupiah, hot money pada gilirannya juga dapat menjadi malapetaka bagi sektor finansial Indonesia ketika terjadi arus balik. Apalagi saat ini sekitar 65-70 persen transaksi saham di BEJ dikuasai oleh investor asing. Praktis naik turunnya harga saham berada di bawah kendali investor asing yang tidak lain merupakan hedge funds besar di tingkat global.
Sedikit goncangan (shock) baik karena faktor domestik maupun eksternal dapat berakibat pada terjadinya arus balik hot money dan terkoreksinya gelembung finansial, yang bisa mengarah kepada krisis ekonomi Jilid II. Indonesia sangat rentan terhadap dampak krisis, karena beberapa hal sebagai berikut:
1) Peningkatan ekspor dan cadangan devisa hanya ditopang kenaikan harga komoditi internasional dan aliran hot money
Selama dua tahun terakhir, cadangan devisa Indonesia meningkat dramatis dari dari sekitar US$ 35 miliar pada tahun 2005 menjadi sekitar US$ 51 miliar dolar. Namun peningkatan cadangan devisa tersebut ternyata tidak didukung oleh peningkatan daya saing ekspor (export competitiveness) atau peningkatan aliran investasi langsung, tetapi hanya diakibatkan oleh faktor situsional seperti melambungnya harga komoditi internasional dan derasnya aliran hot money.
Sejak tahun 2004, harga sejumlah komoditi di pasar internasional mengalami peningkatan fantastis (lihat Grafik-6). Kenaikan harga komoditi tersebut telah mendorong peningkatan nilai ekspor Indonesia (price driven export growth), yang juga meningkatkan cadangan devisa dan membantu kestabilan nilai tukar rupiah. Bahkan pada tahun 2006, ekspor Indonesia menembus angka US$ 100 miliar. Namun jika dilihat dari komposisi ekspor menurut kode SITC, jelas terlihat bahwa produk-produk ekspor yang tumbuh tinggi adalah produk-produk berbasis komoditi seperti karet, logam, minyak nabati, rempah-rempah, dll.
Faktor lain yang ikut membantu peningkatan cadangan devisa dan menjaga kestabilan nilai tukar rupiah adalah derasnya aliran hot money ke Indonesia yang dipicu oleh selisih tingkat suku bunga domestik dan luar negeri yang semakin tinggi. Sejak pertengahan 2005, jumlah hot money yang mengalir ke Indonesia diperkirakan telah mencapai lebih dari US$ 20 miliar.
Kenaikan cadangan devisa dan ekspor yang mendukung stabilitas nilai tukar rupiah tersebut seringkali dijadikan alasan oleh berbagai kalangan, terutama pemerintah untuk bersikap over-confidence. Padahal pencapaian tersebut hanya disebabkan oleh membaiknya faktor eksternal yang sifatnya situsional dan tidak sustainable. Tanpa upaya untuk memperbaiki daya saing industri domestik, ekspor dan cadangan devisa pada gilirannya akan mengalami penurunan mengikuti siklus pergerakan harga komoditi internasional.
2) Pertumbuhan semu sektor perbankan
Setahun terakhir, industri perbankan Indonesia mencatat keuntungan yang terus meningkat. Net Interest Margin (NIM) perbankan pada Januari 2007 mencapai 6.6 persen dan merupakan yang tertinggi di dunia. Akibat kenaikan keuntungan dari selisih bunga tersebut, saham-saham perbankan Indonesia yang sangat diminati oleh investor dan ikut mendorong kenaikan indeks harga saham di BEJ.
Namun peningkatan potret sektor perbankan tersebut ternyata tidak didukung oleh perbaikan kinerja fundamental seperti peningkatan penyaluran kredit. Selama dua tahun terakhir, pertumbuhan kredit perbankan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Pada tahun 2006, kredit perbankan hanya tumbuh sekitar 14 persen, sementara pada Mei 2007, pertumbuhan kredit hanya sekitar 17 persen, jauh lebih rendah dari pertumbuhan historisnya yang berkisar antara 25-30 persen per tahun.
Dengan kata lain, peningkatan keuntungan yang dicapai sektor perbankan akhir-akhir ini merupakan perbaikan semu karena bukan berasal dari sumber keuntungan yang sustainable seperti penyaluran kredit ke sektor riil. Tanpa upaya untuk melakukan ekspansi kredit ke sektor riil, cepat atau lambat keuntungan perbankan akan berkurang seiring dengan penurunan suku bunga SBI.
3) Over-supply sektor properti
Fenomena lain yang terjadi selama lima tahun terakhir adalah peningkatan besar-besaran di sektor properti, baik untuk kebutuhan residensial, perdagangan maupun bisnis. Antara tahun 2002 – 2006, nilai kapitalisasi bisnis properti meningkat rata-rata sekitar 45 persen per tahun.
Namun kemajuan pesat yang dicapai sektor properti tersebut ternyata tidak diikuti dengan kenaikan permintaan (over-supply). Pasokan properti untuk bisnis terus meningkat, tetapi aliran investasi langsung beberapa tahun terakhir tidak tumbuh signifikan. Pada tahun 2006, investasi bruto dalam GDP hanya tumbuh sekitar 3 persen. Demikian juga pasokan properti untuk perumahan dan pusat perbelanjaan terus meningkat, tetapi daya beli masyarakat belum menunjukkan adanya perbaikan sejak inflasi tinggi 17 persen pada Oktober 2005.
Tidak aneh jika tingkat hunian di hampir semua sektor mengalami penurunan drastis. Menurut data Bank Indonesia, tingkat hunian perkantoran sewa di Jakarta menurun 9 persen dari sekitar 89 persen pada tahun 2005 menjadi hanya sekitar 80 persen pada kuartal pertama 2007. Demikian juga tingkat hunian pusat perbelanjaan di Jabodetabek yang biasanya mencapai sekitar 94-95 persen, tetapi pada kuartal pertama 2007 telah menurun antara 6-7 persen menjadi hanya sekitar 88 persen. Akhir-akhir ini bahkan ada upaya menaikkan harga sewa dan maintenance cost untuk menutup biaya operasional.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah sebagian besar pembiayaan untuk membangun properti berasal dari kredit bank, terutama kredit kepada pembeli properti. Tanpa adanya perbaikan di sektor riil, NPL perbankan berpotensi meningkat tajam. Di Amerika, salah satu yang bisa dianggap pemicu krisis adalah subprime lending, artinya orang yang tidak pantas mendapat pinjaman dipaksakan untuk diberi pinjaman. Konsekuensinya, begitu terjadi sedikit kenaikan tingkat bunga atau penurunan pendapatan, maka si kreditor akan masuk kategori NPL. Dengan kata lain, gelembung sektor properti menyimpan resiko kredit macet yang belum terefleksikan dalam NPL saat ini.
4) Harga saham overvalued
Indeks Harga Saham di Bursa Efek Jakarta telah meningkat dramatis selama dua tahun terakhir. Pada tahun 2006, kenaikannya mencapai 55 persen, sementara pada periode Januari – Juli 2007, indeks harga saham meningkat sekitar 32 persen. Peningkatan Indeks harga saham memang sebagian disebabkan oleh tingginya harga komoditi internasional yang mendorong peningkatan keuntungan pada emiten perkebunan dan pertambangan. Namun penyebab utamanya adalah derasnya aliran dana jangka pendek (hot money) ke negara-negara Asia termasuk Indonesia.
Berdasarkan data Departemen Keuangan, jumlah hot money yang mengalir ke pasar saham Indonesia pada periode Jan-Jun 2007 mencapai sekitar US$ 1.6 miliar. Saking derasnya aliran hot money, investor bahkan tidak lagi mengindahkan kondisi fundamental dari emiten-emiten yang ada di BEJ. Ini dibuktikan dengan banyaknya emiten yang Price to Earning Ratio (PER) nya telah luar biasa tinggi. Pada bulan Juli 2007, jumlah emiten yang mencatat PER di atas 50 kali mencapai 49 emiten, 25 emiten di antaranya memiliki PER di atas 100 kali dan bahkan 8 emiten diantaranya memiliki PER lebih dari 400 kali.
Peningkatan harga saham yang jauh melebihi kinerja fundamentalnya merupakan gelembung yang sangat berbahaya, terutama jika terjadi arus balik dari dana-dana jangka pendek tersebut. Fenomena seperti ini merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi pada tahun 1997.
5) Track record pemerintah yang buruk dalam meredam gejolak
Sampai saat ini, track record pemerintah dalam meredam gejolak ekonomi, terutama gejolak harga kebutuhan pokok sangat buruk. Setahun terakhir, setiap kali terjadi kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, gula, dll, berbagai upaya pemerintah kerap tidak efektif untuk meredam gejolak tersebut, terutama akibat rendahnya kemampuan anggota kabinet ekonomi dalam penyelesaian masalah di lapangan.
Kemampuan anggota kabinet ekonomi yang rendah dalam menangani gejolak tersebut pada gilirannya dapat memicu instabilitas sosial, karena bagaimanapun harga kebutuhan pokok terkait langsung dengan nasib rakyat banyak. Situasinya bisa menjadi lebih berbahaya, jika gejolak harga terjadi akibat koreksi gelembung finansial yang sangat dikhawatirkan akhir-akhir ini.
6) Dinamika politik domestik yang dimulai lebih awal dari dugaan semula
Awalnya banyak kalangan menduga bahwa dinamika politik menjelang Pemilu 2009 baru akan dimulai pada pertengahan tahun 2008. Namun dengan fakta kondisi ekonomi riil yang tidak banyak mengalami kemajuan, seperti masih tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, dinamika politik mengalami percepatan dan dimulai lebih awal pada tahun 2007. Salah satu konsekuensi utama dari percepatan dinamika politik tersebut adalah terpecahnya konsentrasi pemerintah dalam mengantisipasi dan menyelesaikan berbagai permasalahan di bidang ekonomi. Selain itu jika terjadi gejolak finansial, faktor politik dipastikan dapat semakin memperkeruh situasi seperti yang terjadi sepuluh tahun lalu.
Tidak berbeda dengan kondisi sebelum krisis 1997/1998, berbagai resiko di atas merupakan “awan mendung” bagi ekonomi Indonesia. Jika terjadi guncangan (shock) baik domestik maupun eksternal, awan mendung tersebut bisa terakumulasi menghasilkan “hujan batu” yang sangat berbahaya.
Salah satu faktor eksternal yang banyak dikhawatirkan berbagai kalangan akhir-akhir ini adalah fenomena kredit subprime (subprime loan) perumahan di Amerika Serikat. Subprime loan adalah kredit kepemilikan rumah yang diberikan kepada nasabah yang sebenarnya tidak layak memperoleh kredit, tetapi dipaksa untuk diberikan dengan kompensasi bunga yang lebih tinggi dari bunga pasar. Yang sangat mengkhawatirkan adalah banyak hedge fund yang melakukan investasi di instrumen subprime loan perumahan tersebut dalam bentuk mortgage back securities, karena memang karakteristik hedge fund yang mencari return yang lebih tinggi dari return pasar. Akibatnya, ketika terjadi peningkatan jumlah gagal bayar pada subprime loan, banyak Hedge Fund yang juga mengalami kerugian dan penurunan earning. Bahkan pada akhir bulan Juli lalu, Investment Bank terbesar kelima di Amerika Serikat, Bear Stearns, mengumumkan ditutupnya dua Hedge Fund mereka yang terkait dengan subprime loan. Pengumuman ini langsung mendorong koreksi hampir seluruh bursa di dunia termasuk Indonesia.
Kebangkrutan dua Hedge Fund milik Bear Stearns tersebut diprediksi hanya merupakan dampak awal dari krisis subprime loan di Amerika Serikat. Kebangkrutan juga terjadi pada hedge fund milik BNP Paribas. Berdasarkan berbagai perkiraan, krisis subprime loan masih akan terus terjadi setidaknya dalam jangka waktu tiga tahun ke depan, dengan total potensi kerugian yang mencapai US$ 100 – 150 miliar. Analis dari TCW Group menyatakan kemungkinan ekonomi dunia mengalami resesi akibat persoalan subprime loan di Amerika Serikat sekitar 60 persen pada tahun 2007.
Jika koreksi tersebut terjadi, hal yang pertama kali akan dilakukan Hedge Fund adalah melakukan penarikan modal dari negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk menutup kerugian di pasar Amerika Serikat atau permintaan redemption dari pemilik modal. Dampak langsungnya bagi Indonesia sangat jelas yaitu pengempesan tiba-tiba bubble aset finansial dan depresiasi yang tajam pada mata uang rupiah. Keduanya dapat memicu kepanikan publik, krisis kepercayaan serta pengetatan moneter yang merembet pada peningkatan NPL perbankan di sektor properti.
<<>>
No comments:
Post a Comment