Tuesday, March 18, 2008

Laju Kredit Menurun

Properti dan Tekstil Dihindari Bank
Selasa, 18 Maret 2008 | 00:51 WIB

Jakarta, Kompas - Laju penyaluran kredit pada triwulan I-2008 diperkirakan menurun akibat faktor musiman dan meningkatnya ketidakpastian dalam berusaha. Pembahasan APBN Perubahan 2008 yang masih alot dan ketidakpastian harga energi di dalam negeri membuat pelaku usaha wait and see.

Prediksi turunnya laju penyaluran kredit pada triwulan I-2008 tergambar pada hasil survei perbankan Bank Indonesia dan realisasi kredit pada Januari 2008.

Hasil survei menunjukkan, sebagian besar responden optimistis penyaluran kredit baru tetap tumbuh pada triwulan I-2008. Namun, laju pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan dengan triwulan IV-2007.

Rata-rata target pertumbuhan pemberian kredit baru pada triwulan I-2008 diperkirakan sebesar 7,4 persen (kuartal per kuartal), lebih rendah dibandingkan target pada triwulan IV-2007 yang sebesar 9,5 persen.

Survei juga menunjukkan, secara sektoral, prioritas utama penyaluran kredit pada triwulan I-2008 diperkirakan masih pada sektor perdagangan, hotel, dan restoran diikuti dengan sektor jasa dunia usaha.

Sektor properti, terutama pembiayaan untuk mal dan apartemen, serta industri pengolahan tekstil/garmen diperkirakan masih akan menjadi sektor yang dihindari oleh bank dalam menyalurkan kreditnya.

Data Statistik Perbankan Indonesia juga menunjukkan, posisi kredit per Januari 2008 sebesar Rp 987,4 triliun, turun dibandingkan posisi Desember 2007 yang senilai Rp 1.002 triliun. Ini berarti nominal penyaluran kredit baru lebih rendah dibandingkan dengan pelunasan.

Daya beli masyarakat

Ekonom BNI, Tony Prasetiantono, menjelaskan, kepercayaan diri pengusaha turun karena inflasi dan harga minyak yang tinggi akan menyebabkan daya beli masyarakat merosot sehingga prospek usaha terganggu.

”Solusinya adalah menurunkan suku bunga. Namun dalam keadaan inflasi tinggi, apakah bisa menurunkan BI Rate?” katanya.

Pengamat perbankan Ryan Kiryanto menjelaskan, laju penyaluran kredit turun karena saat ini pengusaha cenderung mengambil sikap wait and see.

Menurut Ryan, ada beberapa faktor yang mendorong hal tersebut, yakni ketidakpastian asumsi dalam APBN-P 2008, harga bahan bakar minyak (BBM), dan subsidi listrik.

”Asumsi dalam APBN-P 2008 sangat penting karena menjadi patokan pengusaha dalam merencanakan bisnisnya ke depan. Pengusaha juga masih diliputi ketidakpastian apakah BBM akan dinaikkan atau tidak,” ujar Ryan. (FAJ)

No comments: